Chereads / Wait for me to come back! / Chapter 41 - Panti Asuhan Cahaya Kasih

Chapter 41 - Panti Asuhan Cahaya Kasih

Seorang anak buah Greg masuk ke ruang tamu rumah Jinah dan melaporkan bahwa Hendi sudah terbujur kaku di ruang kerjanya. Greg tampak tercengang dibuatnya, pasalnya dirinya sendiri belum berbuat sesuatu terhadap pria itu.

"Kamu yakin dia sudah benar-benar mati?"

"Lihat Yoga, Bos kebanggaanmu saat ini sudah terbujur kaku di ruang kerjanya. Kau sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang," ujar Kevlan.

"Perbuatanmu dengan menodai anakku tidak ada artinya Yoga. Kau saat ini mandul bukan?" tambah Kevlan dengan suaranya yang bergetar. Ia tadinya sempat merasakan kecemasan jika sampai Melody mengandung anak bajing** tengik yang saat ini meringkuk bagai korban perang tersebut.

"Apa sebenarnya maksudmu, Yoga?" tanya Harsa membuka mulutnya kali ini.

Yoga mendongak menatap sang ayah dan semua orang di sana dengan mulutnya terbuka, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang terlontar. Otaknya terasa kosong, ia sama sekali tak bisa berpikir. Tujuan dan maksud hidupnya yang sudah ia rancang semua menghilang. Satu yang masih tersisa dibenaknya adalah melihat buah hatinya saja, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sejak kekacauan yang dibuatnya baru kali ini ia kembali merasa malu. Rasa iri, dengki dan kecemburuan yang ia rasakan pada kedua pemuda yang berada di depannya seketika menguap, pandangannya seketika kosong.

Yoga kemudian bangkit berdiri dan membenturkan kepalanya ke tembok yang ada di sebelahnya. Jeritan kekagetan paling nyaring terlontar dari mulut Juleha yang seketika maju dan memeluk sang buah hati.

"Jangan Yoga hentikan, jangan hancurkan dirimu, Nak." Semua orang yang mendengar pasti merasakan kepiluan seorang ibu yang dirasakan oleh Juleha.

Harsa sendiri turut bangkit dan dengan kemejanya menekan kepala Yoga yang robek dan mengeluarkan banyak darah.

"Saya sudah menelpon ambulance. Sebentar lagi sudah akan tiba. Bawa anak kalian untuk ditangani terlebih dahulu," ujar Davka seraya mengembalikan ponsel ke saku celananya.

Mereka kemudian membantu keluarga Tanwira untuk membereskan kekacauan di ruang tamu tersebut dan ambulance yang tiba juga diiringi oleh dua mobil polisi yang sudah di hubungi Davka sekalian.

Seketika rumah kediaman Jinah tampak sedikit sunyi, walaupun masih banyak pria berbadan kekar yang berjaga-jaga. Mereka memang masih di tempatkan di sana guna berjaga-jaga dari serangan. Siapa tahu orang yang sudah menghabisi nyawa Hendi akan muncul di desa ini dan mencari keberadaan Yoga.

"Tuh bener to Mas, si Yoga memang sutris. Mesum akut gitu, eh akut apa kronis ya Mas?" tanya Tina yang saat ini mulai berani duduk di gazebo dengan bersama dengan Yono.

"Apa bedanya akut sama kronis?" tanya Yono.

"Ya jelas beda lah Mas. Tulisannya aja hurufnya lain," timpal Tina seraya menggigit pisang goreng yang sejatinya ia bawa untuk para penjaga tersebut.

"Akut Dek pan mendadak gila dia," jawab Yono sok tahu.

"Ah, masa sih. Mas yakin? kayaknya dah kronis Mas, PK-nya udah dari dulu kayaknya tuh," ujar Tina.

Yono yang sedang mengelap sepeda motornya setelah dicuci tadi kemudian menghentikan kegiatannya dan menatap sang adik bungsu dengan mengerutkan dahinya. "PK apaan tuh? Obat kulit?" tanya Yono.

Tina melempar Yono dengan pisang goreng yang tersisa setengah ditangannya dan ditangkap dengan sigap oleh Yono. "PK itu penjahat kelamin. maksudnya kayak playboy gitu."

Yono dibuat melongo oleh jawaban adik bungsunya itu, ia tidak menyangka adiknya yang sangat polos dan jarang keluar rumah bisa paham dengan istilah-istilah seperti itu.

Panti asuhan Cahaya Kasih, Tampak banyak anak berlarian ke sana-kemari di taman bermain yang berada di bagian kanan halaman depan yang luas. Beberapa anak berseragam merah putih dan TK tampak sedang turun dari sebuah mobil. Salah satunya adalah anak laki-laki tampan bernama Virgo.

"Kak Vir, katanya Siwi Mama kamu udah jarang datang lagi. Katanya lagi kalau udah jarang di tengok nanti kita dicarikan orang tua asuh lho," kata Emma bocah TK berusia empat tahun. Emma sendiri suka jika ibu Virgo datang karena mereka semua pasti dibawakan kue buatan ibu Virgo. Hanya Virgo satu-satunya anak yang memiliki orangtua kandung dan suka menjenguknya di sini.

Virgo yang berjalan berdampingan dengan Emma menuju lantai dua kamar mereka menunduk lesu. Virgo sedih, sejak ia lulus sekolah TK dan masuk SD sang bunda memang belum menengok dirinya lagi. Tetapi dirinya percaya jika sang bunda pasti akan datang dan menjemputnya.

"Mama Virgo pasti jemput kok, sekarang Mama baru kumpulin duit supaya bisa tinggal ditempat yang lebih bagus. Biar bisa sama-sama dengan Virgo selamanya."

Emma menghentikan langkahnya dan berbalik berhadapan dengan Virgo. "Emma boleh minta sesuatu nggak Kak?"

"Minta Apa?"

"Kalau uang Mama Virgo banyak banget, boleh nggak Emma ikut tinggal sama Mama Virgo. Emma janji nggak akan nakal. Emma akan nurut deh, nanti Emma bantu bersih-bersih rumah biar Mama kalau pulang kerja nggak capek harus beresin rumah lagi," ujar Emma penuh harap.

"Emma mau jadi Virgo?"

Emma menganggukkan kepalanya berkali-kali dengan antusias. "Mau banget, boleh ya Kak?"

"Nanti Virgo tanya Mama dulu ya? Kalau dompet Mama ada duit warna merah berarti Mama udah punya duit banyak bisa jemput Virgo. Tapi kalau duit Mama banyak warna hijau dan ungu berarti Virgo harus tinggal di sini terus."

"Janji ya Kak? Jangan lupa," kata Emma seraya mengulurkan jari kelingkingnya tanda perjanjian.

Virgo menyambut kelingking Emma dan saling menautkan kelingking mereka.

Di kediaman Perkasa. Siska berdiri di depan cermin panjang yang berada di lemarinya. Tangannya terulur mengusap bekas operasi Caesar di bawah pusarnya itu. Siska mendesah berharap beban yang menumpuk di bahunya segera bisa terurai.

Karena keasikan melamun dan pandangannya menerawang membayangkan wajah tampan putra semata wayangnya, Virgo. Dirinya tidak mendengar dan menyadari jika sedari tadi ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. Tangannya terulur meraih baju di dalam lemari. Di saat yang bersamaan pintu kamarnya terbuka dan Kalvin masuk begitu saja.

"Ka Vin!" seru Siska.

Kalvin yang sempat terkejut segera menutup pintu kamar di belakangnya dan menatap perut Siska yang saat ini tertutup gaun yang didekap oleh Siska. Siska sendiri bersandar pada lemari yang pintunya belum ditutup. Kalvin sudah melihat bekas luka operasi itu karena rendahnya tepi celana dalam Siska tak bisa menutupinya.

"Katakan padaku, di mana anakmu?" tanya Kalvin tanpa basa-basi. Rencana Kalvin adalah menjemput putra Siska kemudian menghubungi orangtua Siska bahwa dirinya terlebih dulu sudah menemukan gadis itu.

"Apa Kak, anakku?" kata Siska dengan terbata-bata.

"Iya, aku tahu bekas di perutmu itu. Bekas melahirkan bukan?"

Siska yang merasa sudah tertangkap basah akhirnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan yang ada.

"Iya Kak," jawabnya lirih. Ia malu dan sungkan mengakui jika memiliki anak tetapi tidak bisa merawat anak tersebut. Ia takut jika Kalvin akan menganggapnya sebagai seorang ibu yang buruk kemudian kecewa dan mungkin mengusirnya.

Siska ketakutan membayangkan itu semua. Diusir oleh Kalvin dan bertemu dengan Yoga lagi, itu adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Kalvin mendekat dan meraih pergelangan tangan Siska, membimbing wanita itu ke arah ranjang. Mereka berdua duduk di tepinya.

"Katakan di mana anakmu? Kita bisa menjemputnya jika kamu mau," ujar Kalvin dengan lembut.

Siska mendongak dan tercengang dengan apa Ia yang dikatakan oleh Kalvin. "Kakak serius?" tanya Siska menyakinkan bahwa apa yang dirinya dengar tidaklah salah.

"Betul." Kalvin mengangguk.

Siska melupakan bahwa dirinya hanya memakai pakaian dalam saja, segera memeluk Kalvin dengan erat bersamaan dengan airmata yang telah berderai.

"Makasih Kak, tapi bagaimana dengan orangtua Kakak?" tanya Siska yang menyandarkan kepalanya di bahu Kalvin.

"Tidak masalah dengan orangtuaku," jawab Kalvin seraya mengusap punggung Siska menenangkan tubuh bergetar wanita yang dicintainya tersebut.

"Kalau kamu mau kita bisa menjemputnya setelah makan siang ini, apakah kamu mau menghubunginya dulu?" tanya Kalvin.

"Mau Kak, mau banget," kata Siska dengan masih berlinang air mata.

"Bersiaplah aku tunggu di bawah," ujar Kalvin seraya melerai pelukan kemudian bangkit.

"Aku mau membersihkan diri dulu ya," pamit Kalvin.