"Tentu saja setelah kami menikah. Ya 'kan, Sayang?" Adyatama merona menanggapi pelototan tajam kedua perisai tambahan Melody itu.
Melody terbengong menanggapi pertanyaan Adyatama. Tubuhnya sedikit menegang, dengan menelan salivanya kasar ia berbalik bertanya, "Mas Tama serius masih mau nikah sama Lody?"
"Lho iya dong. Kalau bisa saat ini juga kita menikah," ujar Adyatama dengan kesungguhan.
Dan Melody tahu itu, pria pujaan hatinya tidak pernah ingkar janji. Pria jujur dan penyayang, kekasihnya.
Kepercayaan diri Melody seolah melambung ke awang-awang dan doa dari semua yang ada di sana adalah menginginkan agar Melody segera pulih.
Kalvin tersenyum ramah dengan siapa saja yang berpapasan dengannya, wajah tampan dan pembawaannya yang ramah sangat mudah menarik perhatian. Bahkan para dokter dan perawat yang hanya melihat sosoknya saja merasa bahagia. Ya, Kalvin memang sepositif itu.
Kalvin berjalan dengan langkah lebar menuju kantin rumah sakit, tiga puluh menit telah berlalu dan ia akan menepati janjinya untuk bertemu dengan Siska.
Sampai di pintu penghubung lorong dengan kantin, Kalvin mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan mencari sosok Siska di sana. Ia tersenyum simpul mendapati sosok itu ternyata sudah duduk dan menatap keluar dengan pandangan kosong.
Kalvin mendesah, ia tahu sekali gadis itu memiliki beban berat sampai ia bisa berada di sini. Kalvin yang dulu saat masa remajanya pernah memiliki rasa terhadap Siska. Rasa yang menghangat seolah kembali hadir mengisi relung hatinya. Seolah-olah ia tak mau kalah dengan Melody adiknya. Toh ia juga sudah cukup umur.
Kalvin segera menuju meja Siska dan duduk berseberangan dengan Siska. Siska hanya mendongak sekilas memastikan siapa yang menghampirinya dan kemudian menunduk kembali. Dengan jarak sedekat ini Kalvin tahu Soal baru saja habis menangis dan wajahnya sedikit pucat. Tampak titik keringat menghiasi kening dan lehernya.
Kalvin semakin penasaran dan iba terhadap gadis cantik yang saat ini tampak kurus di hadapannya. Ia tiba-tiba teringat dengan Melody, keadaan Siska juga sepertinya tidak jauh berbeda.
Apakah Siska pernah diperkosa juga? Astaga! Jangan sampai itu terjadi Tuhan.
"Sudah pesan minuman dan makan?" tanya Kalvin dengan lembut.
Deg ...
Denyut jantung Siska mulai berdetak keras, ada rasa hangat yang membuat bahagia meresapi jiwanya yang hampa dan kosong. Tetapi seketika ia juga menekannya agar tak mudah berkembang. Rasa indah itu semu, rasa itu hanya akan menimbulkan sakit.
"Kamu kotor Siska! Kamu sampah! Kamu tidak akan bisa pergi dariku! Ha ha ha."
Ucapan Yoga dahulu kala seolah sudah terekam melekat kuat dalam otak kecilnya. Siska menarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan matanya, kedua bahunya mengkerut seiring rongga dadanya yang terasa semakin terhimpit perih dan rasa takut.
"Apa yang terjadi, denganmu?" tanya Kalvin.
"Ceritanya panjang," jawab Siska dengan setia masih menundukkan kepalanya.
Mereka saat ini sedang duduk di meja sudut kantin rumah sakit yang cukup ramai di saat waktu makan siang ini.
"Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritamu, jika kamu tidak keberatan," ujar Kalvin seraya menggapai tangan Siska seraya meremasnya lembut, tangan yang gemetar dan saling bertautan di atas meja itu.
"Kamu bisa berbagi denganku, kita masih berteman bukan?" tambah Kalvin.
Siska masih tetap bungkam tetapi kelopak matanya sudah penuh dengan air mata yang siap tumpah sewaktu- waktu. Perhatian yang ditunjukkan oleh Kalvin seolah siraman air segar yang mengguyur dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
Maafkan aku Tuhan dulu pernah dengan angkuhku menolak cinta pria baik ini.
Kalvin merasa tidak sabar, ia kemudian bangkit dan bersimpuh di sebelah Siska. Siska dengan rasa bersalah, malu dan rasa begitu dicintai oleh Kalvin, tak tahan ingin menyandarkan dirinya yang terasa rapuh dan tak berdaya itu.
Seketika Siska memberanikan dirinya mengalungkan kedua tangannya di leher Kalvin seraya menyembunyikan wajahnya di ceruk leher harum pria tampan itu. Isak tangis pun meledak dari dalam dirinya, ia juga sudah tidak peduli di mana dirinya saat ini yang ia ingat saat ini dirinya berada dalam pelukan tangan yang tepat.
Kalvin membalas pelukan Siska dan membiarkan gadis itu meluapkan segala beban yang gadis itu tanggung selama ini. Kalvin mengusap punggung rapuh Siska, hatinya berdenyut nyeri ketika jari jemarinya bahkan bisa merasakan tonjolan sepanjang tulang belakang gadis itu.
Kalvin bersumpah akan melindungi Siska dan kembali mendapatkan cinta wanita pujaannya ini. Ia sungguh tak bisa membayangkan apa yang menimpa Siska. Kalvin memalingkan wajahnya dan memanggil pelayan memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan Siska.
Siska sendiri tampak enggan melepaskan pelukannya pada leher Kalvin, rasanya sungguh nyaman dan membuatnya terbuai. Sungguh terasa seperti kembali ke rumah. Apakah Kalvin akan menjadi pelabuhan terakhir untuknya?
"Yuk, kita makan dulu. Kamu juga perlu banyak energi untuk menangis. Berhenti dulu ya nangisnya, nih dah datang makanan dan minumannya," bujuk Kalvin seraya sedikit demi sedikit melerai pelukan mereka.
Isak tangis masih terdengar dari bibir Siska tapi sudah tidak seperti tadi. Siska termasuk orang yang berisik saat menangis. Tetapi entah mengapa sat berada di dalam pelukan Kalvin tadi, ia merasa seperti kembali kepada Siska yang dulu. Ia ingin bermanja-manja bersama dengan Kalvin.
Siska menatap kemeja Kalvin yang sudah basah dengan perpaduan antara keringat, airmata dan juga ingusnya.
"Bajumu kotor," ujar Siska dengan suaranya yang bergetar.
Kalvin duduk kembali di tempatnya semula dan memandang wajah Siska yang saat ini sudah merona. Sudah pasti gadis itu merasa malu telah mengotori kemejanya.
"Emm ... boleh aku ke toilet sebentar? Aku mau cuci muka dulu," pinta Siska.
"Tentu saja boleh, asal jangan tinggalkan aku seperti dulu lagi ya," jawab Kalvin dengan senyum cerianya.
Hati Siska terasa dihantam rasa bersalah, Kalvin tidak menyindirnya tetapi ia masih mengingat dengan jelas dulu saat ia begitu saja meninggalkan acara makan malam yang dibuat oleh Kalvin demi mengejar Adyatama yang saat itu sedang berjalan keluar dari restoran yang sama dengan dirinya dan Kalvin. Ya, itu dahulu kala saat ia masih memiliki segalanya dan belum jatuh dalam pelukan kejam Yoga Tanwira.
Siska memandang sedih wajahnya yang tirus memerah dengan mata dan hidung membengkak. Masih syukur Kalvin yang tampan tadi tidak meninggalkan dirinya.
"Jelek sekali mukamu Siska," gerutunya kepada dirinya sendiri.
****
Adyatama sedang mengupas jeruk duduk bersandingan dengan Melody yang merasa tubuhnya sudah sehat. Ia tidak mau kembali berbaring di ranjang yang saat ini malah dipakai oleh Kevlan untuk tidur.
Melody tersenyum melihat bagaimana sang ayah mendengkur, rasa sedih merasuk dalam dirinya. Rasa kecewa dan rindu bahwa hampir seperempat abad hidupnya tidak bisa merasakan pelukan pria itu, ayah kandungnya.
Adyatama melihat mata Melody yang berkaca-kaca segera mengapit dagunya dan menarik menghadap ke arahnya.
"Kenapa sedih?" tanya Adyatama seraya memasukkan suapan jeruk ke mulut Melody.
"Mas, Lody kok sedih banget lihat Papa begitu ya."
"Semua sudah terjadi Sayang, yang terpenting sekarang kalian sudah berkumpul bersama lagi. Dan kita akan segera menikah," ujar Adyatama.
"Tapi Mas, gimana nanti kalau Lody nggak bisa melayani Mas Tama dengan baik."
"Dengar Sayang, kehidupan pernikahan tidak melulu berurusan dengan seks. Banyak hal lain yang harus kita sesuaikan, karena menyatukan dua isi kepala untuk saling melengkapi itu tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Semuanya memerlukan ketulusan dan kebesaran hati untuk saling menerima kekurangan satu sama lain."
Melody mengangguk menanggapi ucapan Adyatama. Usia Adyatama bisa saja lebih muda darinya tetapi sikap dan pemikirannya lebih dewasa dibanding dirinya. Melody bahagia dan sungguh bersyukur dicintai oleh pria seperti Adyatama.