Sedangkan situasi di rumah Tarmin menegangkan pastinya. Ada sekitar sepuluh orang berbadan besar berkeliaran di sekitar rumah Tarmin. Greg, sang kakek yang dimaksud oleh Adyatama sedang bersantai di gazebo yang berada persis di bawah pohon jambu sisi samping halaman depan rumah tersebut bersama dengan Davka dan Almira. Hanya mereka berdua yang menemani karena tuan rumah tidak ada satupun yang bisa berbahasa asing.
"Paman bagaimana selanjutnya?" tanya Davka.
"Kita tunggu cecunguk itu datang. Paman sudah mengirim orang untuk memancingnya ke mari," jawab Greg santai seraya menikmati cerutu Kuba miliknya.
Terdengar suara teriakan dan bentakan dari dalam rumah. Ketiga orang yang berada di gazebo itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Yoga sudah seperti orang gila sejak dibawa ke rumah ini dan terlebih bertemu dengan orangtuanya, sehingga mereka semua terpaksa mengikatnya agar pria muda itu tidak kembali berusaha melarikan diri.
Diikatnya Yoga adalah inisiatif dari kedua orangtuanya tentu dengan pertimbangan mereka tidak ingin putra mereka mati tertembak oleh para anak buah Greg Alsaki. Yoga saja yang bertemu dengan Greg tadi ibarat seperti tikus terkena perangkap, ia tahu pasti hidupnya sudah berada diujung tanduk. Cinta tak dapat malapetaka sudah di depan mata.
"Buk ... kok bule doyan singkong rebus ya Buk?" tanya Tina seraya melihat pada tiga orang anak buah Greg yang duduk di tangga teras samping dekat dapur dengan dagunya yang tertopang pada kusen jendela.
"Wong masih manusia ya doyan to Nduk, kamu aja doyan roti kok," jawab Jinah.
"Ibu sih, kok nggak bikin roti,"
"Walah ... mana sempat Ibu bikin sih? Emang mau hajatan."
"Eh Buk, mereka ganteng-ganteng kok mau jadi penjahat ya Buk?"
"Hush! Bukan penjahat, jangan ngawur!" tegur Jinah.
"Mereka itu penjaga gitu. Udah sana cepet bikin nasi goreng, nih bumbunya dah jadi," kata Jinah seraya mengangsurkan cobek berisi bumbu yang siap di masak.
"Bule juga doyan nasi goreng ya Buk?" tanya Tina dengan tatapannya tertegun pada cobek yang sudah berpindah tangan.
"Doyanlah, nasgor masakan Jeng Tina rasanya 'kan yahud!" seru Jinah memuji anak bungsunya itu.
Tina tersipu karena pujian sang bunda. "Kalau Tina punya suami bule gimana Buk?" tanya Tina sembari menyalakan kompor dan memulai ritual memasak nasi gorengnya.
"Ibu, nggak pernah melarang kamu memiliki suami yang berasal dari mana saja, yang terpenting akhlak dan landasan imannya harus baik."
"Anak Ibu ini 'kan baik, ya Bu. Semoga Tina juga mendapatkan jodoh yang terbaik," ujar Tarmin yang sudah berdiri di pintu dapur.
"Amin," jawab Jinah dan Tina nyaris dalam waktu yang bersamaan.
"Bu, tolong buatkan kopi lagi. Mereka suka sekali kopi buatanmu. Bapak mau ambil pisang di kebun buat besok pagi."
Jinah meninggalkan kegiatannya yang sedang memotong kubis dan menyiapkan memasak kopi kembali.
Linangan air mata Juleha tak berhenti mengalir meratapi nasib anak lelakinya yang sudah seperti orang gila dengan tangan dan kaki yang terikat dan kepala yang tertunduk menekuri lantai.
"Mas, kira-kira apa yang akan mereka perbuat dengan Yoga?" tanya Juleha dengan penuh kepiluan, bagaimanapun ia adalah seorang ibu. Anaknya memang bersalah tetapi melihat sang putra menderita begini hati kecilnya juga merasa iba tentu saja.
"Berharap saja anakmu ini menjadi gila betulan, karena jika tidak aku jelas tidak bisa memastikan bagaimana nasib masa depannya nanti."
"Memangnya apa yang menanti Mas?" tanya Juleha lagi dengan lugunya.
Harsa mengusap puncak kepala dan mengusap air mata sang istri dengan sayang, tetapi jelas ia tidak ingin memberikan harapan palsu kepada sang istri. Dirinya juga tidak tahu pasti apa yang menanti sang putra nantinya. "
"Kalau menurut prediksiku hanya ada dua kemungkinan terjadi antara Yoga berakhir di penjara atau bisa juga nyawa Yoga akan berakhir di tangan para pria berbadan kekar di depan sana," kata Harsa kepada Juleha, Juleha semakin terisak mendengarkan perkataan sang suami.
Tina datang menghampiri keduanya dengan membawakan nampan berisi teh jahe hangat dan singkong goreng.
"Bu Leha, nanti lagi diterusin nangisnya. Makan dan minum dulu ya, biar nggak lemas," bujuk gadis manis berlesung pipi itu.
Adyatama mengerutkan dahinya menatap ke arah Melody yang tampak sibuk membuat Siska merasa santai. Siska sendiri tampak gugup dan canggung serta pendiam, berbeda dengan Siska yang dulu ia kenal. Melody sendiri sudah kembali cerita walaupun masih sering didapati melamun dengan pandangan matanya yang kosong.
Adyatama menoleh menatap Kalvin yang masih berkutat dengan laptop di depannya.
"Kak, apa yang terjadi dengan Siska?" tanya Adyatama seraya mencolek bahu Kalvin.
Tanpa mengalihkan pandangan dari laut laptop, Kalvin berujar, "Menurut dugaanku, dia mengalami hal yang sama seperti Melody. Hanya saja alasannya aku belum tahu."
Sedangkan di dalam kamar Siska, wanita muda itu mengalami kegelisahan dalam tidurnya.
"Bawa pergi anakmu, bikin malu keluarga saja kamu ini!" seru Santi kakak kandung Siska.
"Cepat keluar sebelum Ayah sama Ibu pulang," tambah Santi lagi.
"Kak, anakku baru berumur satu minggu. Mau aku bawa ke mana? Dia nggak salah Kak?!" bela Siska.
"Masa bodoh! Bukan urusanku. Kalau kamu nggak bawa dia keluar malam ini. Besok aku pastikan kamu nggak akan lihat dia selamanya," ujar Santi dengan tatapannya yang tajam kepada Siska. Tangannya yang menunjuk-nunjuk sang bayi membuat Siska sakit hati. Kakaknya yang sesama wanita tak memiliki rasa simpati sedikitpun pada bayinya.
Siska dengan berjalan tertatih karena luka operasi yang masih berusia satu minggu, membawa sang bayi keluar dari kediaman mewah orangtuanya. Pergi tak tentu arah.
"Dek ... Mama kangen Sayang, hiks," isak Siska dalam tidurnya. Air mata berlinang dengan deras membasahi paras ayunya bercampur dengan peluh sebesar jagung.
Siska tersentak bangun dan dengan perlahan membuka matanya melihat ke sekeliling kamar tersebut. Kamar yang mewah, ranjang yang empuk dan terasa sangat nyaman tetapi hatinya tetap terasa hampa tanpa adanya sang buah hati.
Terus terang Siska masih merasa bingung untuk mengutarakan kepada Kalvin perihal keberadaan sang anak. Tetapi ia tahu pasti, cepat atau lambat dirinya harus mengungkapkan semuanya. Mungkin kini lah saatnya semua harus terungkap, toh Yoga juga sudah tertangkap tak ada lagi yang ia risaukan bukan? Bagaimana jika Kalvin menolak keberadaan sang buah hati? Siska mendesah menghalau rasa yang semakin menyesakkan dadanya.
Melody yang hendak mengetuk pintu kamar Siska, seketika terpaku tangannya sudah melayang di udara dan terdiam. Ia mendengar semuanya, ternyata Siska terpisah dengan anaknya. Begitulah pemikirannya.
Bunyi pintu yang terbuka mengagetkan Siska tetapi juga tidak memberikan dirinya banyak waktu untuk menyiapkan diri menghadapi orang lain.
"Siska, kamu baik-baik saja?" tanya Melody dengan khawatir. Saat ini wajah Siska tampak pucat dengan airmata dan peluh bercampur menjadi satu walaupun isakannya sudah berhenti.
"Maafkan aku. Aku sudah mendengar semuanya tadi," tambah Melody seraya memeluk Siska.
"Jangan khawatir aku akan membantumu mencari anakmu," ujar Melody menenangkan.
Seraya mengurai pelukan Melody, Siska berkata, "Aku tahu di mana anakku berada. Hanya saja, sepertinya semua terlalu cepat. Bagaimana dengan Kalvin?"
"Aku akan membantumu untuk berbicara dengan Kak Kalvin, ok?"
Siska mengangguk. "Kita selesaikan benang kusut ini satu persatu."
Melody tersenyum lembut dan berkata, "Bersihkan dirimu, makan malam sudah siap."
Melody kemudian menegakkan tubuhnya dan beranjak keluar, tetapi sebelum dirinya meraih gagang pintu suara Siska menghentikan gerakannya, "Melody apa yang terjadi denganmu?"
Melody menelan salivanya kasar dan melirik ke arah Siska seraya berkata, "Nanti juga dirimu akan tahu." Melody bergegas meninggalkan kamar Siska, rasanya dirinya belum siap membagi kisahnya kepada sesama korban perbuatan keji Yoga.
Melody bersandar pada tembok di samping pintu dan mengusap perutnya.
Jangan sampai ada janin dari Yoga di perutku. Aku tidak yakin bisa menghadapi dunia sekuat Siska.