Chereads / Wait for me to come back! / Chapter 32 - PENJAGAAN

Chapter 32 - PENJAGAAN

Greg mengangguk dan dengan dagunya menunjuk ke arah pintu kamar Melody. "Iya, ada yang terobsesi dengan cucuku Tama. Dan aku jelas tidak menyukai hal itu."

"Lalu Paman kenapa menunggu di sini? Tidak di dalam saja."

"Mereka sedang tidur, Paman tidak ingin mengganggu keduanya."

Luna yang penasaran mengintip di celah daun pintu yang sedikit terbuka dan mendapati Melody tertidur nyenyak di ranjangnya sedangkan Tama juga tidur di ranjang tunggu dengan sedikit mendengkur. Luna tersenyum lembut menatap keduanya secara bergantian, setidaknya hatinya lega sang putri tidak mengusir Tama. Itu tandanya traumanya terhadap keberadaan sosok pria tidak terlalu parah.

Melody yang terjaga duduk dengan tenang di ranjang rumah sakit sembari mendengarkan cerita dari sang bunda. Ia sejak terbangun dari tidurnya tadi sudah menyadari jika ia dan Adyatama tidak sendiri di dalam ruangan itu. Suara gemericik air menandakan bahwa Adyatama sedang membersihkan dirinya, karena pria tersebut tidak nampak di ruangan.

"Lody mau minum Nak?" Tinah memulai percakapan.

Melody menanggapi dengan menggelengkan kepalanya, serta pandangan matanya tidak lepas dari sosok Luna. Yang kini duduk dengan gelisah di sofa panjang bersebelahan dengan Almira yang merengkuh bahunya menenangkan.

"Baiklah kalau tidak mau, Ibu mau menceritakan sebuah kisah masa lalu. Dahulu Ibu dan Bapak bekerja di sebuah kediaman mewah keluarga Perkasa. Majikan Ibu itu memiliki seorang anak bayi tampan berusia satu tahun saat itu. Nyonya saat itu sedang hamil besar dan Ibu adalah pengasuh si bayi sampai si adik lahir. Bayi mungil nan cantik jelita, Ibu yang sudah menikah dengan Bapak selama sepuluh tahun dan tidak bisa memiliki keturunan seketika jatuh hati pada bayi cantik itu. Malang tak dapat dielakkan, ada suatu peristiwa besar terjadi teror terhadap tuan Perkasa dan beberapa temannya. Para penjahat ingin menghabisi para putri keluarga pengusaha waktu itu. Jadi hal ini terjadi tidak hanya pada keluarga Perkasa saja. Salah satu teman Tuan Besar anak bayinya di culik dan baru saja ketemu sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Maka dari itu Tuan yang sangat ketakutan terjadi hal buruk padamu, meminta kami membawamu pergi. Ya, bayi itu kamu Nak." Isak tangis terlontar dari bibir yang bergetar hebat menahan gejolak di relung hati Luna, tak kuasa terdengar juga akhirnya.

Hal itu juga mempengaruhi Melody, hatinya berdenyut nyeri melihat linangan airmata itu. Ingin rasanya ia bangkit dari ranjangnya dan merengkuh wanita itu dalam pelukannya, menenangkan dirinya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja karena Melody kuat. Tetapi hal itu urung ia lakukan karena ia tahu sang bunda belum selesai bercerita.

"Akhirnya kami berdua pergi dengan membawamu yang saat itu masih berumur satu minggu, pergi jauh dari rumah Perkasa. Lalu kami bertemu dengan pasangan Alsaki di sebuah kedai tempat persinggahan kami malam itu. Kebetulan Nyonya Atifa mendengarkan keluhan Ibu yang bingung mencari tempat menginap karena semua terasa terburu-buru sehingga kami belum mempersiapkan. Beliau mengajak kami untuk ke perkebunan milik mereka, kami akhirnya bekerja di sana dan mengasuhmu. Sebelum akhirnya kita seperti yang kamu tahu akhirnya pindah ke rumah Tuan Davka. Jadi Nak, Nyonya Luna inilah ibu kandungmu. Beliau yang selama ini hanya bisa melihatmu dari kejauhan dan hanya bisa memberikan materi tanpa dekapan kasih sayang."

Luna sudah tidak mampu menahan dirinya lebih lama lagi. Melihat sosok anak gadisnya di depannya saat ini membuat jiwa keibuannya meronta ingin terpuaskan. Ia segera bangkit dan tanpa mempedulikan bagaimana reaksi Melody dia segera berhambur dan merengkuh tubuh kurus sang putri.

Melody sungguh gadis yang baik hati dan manis, ia pun membalas pelukan ibu kandungnya dan menangis terharu. Apapun yang terjadi wanita ini adalah ibunya darah dagingnya tidak mungkin ia menolak cintanya bukan. Terlebih dahulu ia terpaksa melepaskan demi keselamatannya. Ia membayangkan jika ia sebagai seorang ibu dan harus dipisahkan dari si buah hati, pasti ia tidak akan bisa setegar wanita yang tampak rapuh dan juga kuat di dalam pelukannya saat ini.

Bunyi pintu kamar mandi terbuka dan tampak Adyatama keluar dari sana. Pria itu tersenyum simpul menatap pemandangan di depannya. Ia tidak ingin mengganggu moment pertemuan ibu dan anak tersebut. Ia juga berhambur dan memeluk sang bunda yang masih setia duduk di sofa. Ia menempatkan diri diantara Tinah dan bundanya, ia merengkuh bahu Tinah dan memberikan penghiburan pada pembantunya tersebut. Ia tahu tidak mudah untuk Tinah membuka semuanya tetapi ia yakin Tinah adalah seorang yang tegar.

Melody mengangkat kepalanya dan sejurus kemudian ia menatap pemandangan di depannya Adyatama yang merengkuh ibunya dengan kasih sayang.

Sanggupkah aku menyakiti pria penyayang ini? Pantaskah aku bersanding dengannya?

Yoga berjalan mondar mandir di kamar losmennya. Bajunya sudah melekat dengan badannya oleh karena banyaknya keringat, kepanikan membuat produksi keringatnya berlebih. Rambutnya sudah kusut karena seringnya ia remas-remas gemas sedari tadi. Kemudian teguran dari Bardi.

"Kamu bisa tenang, nggak sih? Dari tadi bolak balik udah kek setrikaan kalik!" sungut Bardi.

"Diem kamu, ah!" hardik Yoga.

"Ya, kamu bikin kepala gue ikutan sakit. Jadi mau kamu apa sekarang?"

"Entahlah, tapi yang pasti Hendi Cahyadi harus bantu aku untuk segera mendapatkan Melody walaupun harus menculik dirinya."

"Jangan ngawur! Menculik Melody saat ini bukan solusi yang terbaik."

"Trus gimana? Oh ya udah, kamu antar aku temui Pak Hendi."

"Jika kamu menemuinya sama dengan kamu mencari mati, Yoga!"

"Lalu aku harus bagaimana? Apa aku menemui Siska saja? Ya, wanita itu pasti mau membantuku." Wajah Yoga berbinar mengingat Siska. Siska adalah teman sekelas Melody saat SMA. Yoga yakin jika Siska pasti akan membantunya, tidak mungkin ia harus tinggal di losmen ini dalam jangka waktu lama. Persediaan uangnya tidak mencukupi untuk itu, sial ia lupa mengambil persediaannya di lemari pakaian.

"Siska? Setelah apa yang kau lakukan padanya. Aku tidak yakin jika dia bahkan mau melihat wajahmu."

Yoga melotot dan menyeringai ke arah Bardi dengan berkacak pinggang. Bardi bergidik ngeri melihat raut wajah Yoga yang tampak seperti ingin menelannya bulat-bulat.

"Sepertinya aku harus melakukan sekali lagi supaya dia menuruti kemauanku."

Bardi diam, kali ini ia lebih memilih bungkam daripada menanggapi ucapan Yoga. Bardi tahu Yoga bisa selicik ular dan berbahaya layaknya singa jika memang diperlukan.

***

Langkah kaki ringan seorang gadis tengah mendorong troli yang berisi makan siang para pasien lansia menggema di koridor samping halaman parkir. Sapaan seorang pria gagah menghentikan langkahnya.

"Siska, kamu Siska bukan? Teman sekolah Melody dulu?" tanya Kalvin begitu berdiri berhadapan dengan gadis itu.

Tatapan Kalvin penuh tanda tanya, seingatnya Siska melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Tetapi bagaimana bisa gadis itu bisa berada di rumah sakit ini, dan bekerja sebagai juru masak? Itu yang tertera pada name tag di dada Siska Andini. Gadis ceria dengan keusilan dan gaya centilnya dulu sepertinya telah tertinggal di belakang sana. Karena Siska yang berada di depannya saat ini tampak polos dan keibuan serta lebih pendiam tampaknya.

Siska hanya mengangguk dan kemudian menunduk, ia tidak tahan menatap manik mata pria tampan itu. Ia tahu siapa Kalvin, karena Kalvin merupakan salah satu bintang sekolah selain Adyatama tentu saja. Ah ... di mana pria baik itu sekarang ya?