"Ma, tadi ada temenku dipukuli sama Abang kelas."
"Bang, Mikay mau punya hocrux kayak Tom Riddle. Nanti Mikay bunuh orang-orang yang jahat di sekolahan."
"Pah, temen Mikay jahat. Dia mau pukulin Mikay gara-gara Mikay belain adek kelas. Mikay gak salah kan tusuk perutnya pake pena?"
Semua diam seribu bahasa. Mungkin mulut mereka terkunci tapi pikiran mereka berkecamuk. Tak ada yang menyangka kalau Mikay kecil tumbuh menjadi pembunuh. Mikay menjadi penghuni rumah sakit jiwa di usianya yang belia.
"Ku mohon, dok! Lakukan apapun agar anakku sembuh!!" Ini sudah yang ke sekian kalinya Marget memohon kepada dokter yang menangani Mikayla.
"Baik Bu. Kami bisa menanganinya. Hanya saja," dokter menjeda ucapannya. Ragu untuk mengatakannya.
"Hanya apa dok?!" gertak Marget tak sabar. Dia benar-benar tak sanggup melihat anaknya terkurung di ruang isolasi seperti itu.
"Itu dapat memicu timbulnya block responce. Emosinya takkan sama dengan anak-anak seusianya."
"Lakukan apapun!! Aku tak mau anakku menjadi pembunuh!"
~•~•~•~
Beberapa minggu kemudian....
Mackie hanya diam memperhatikan Millo yang terus berbicara pada Mikay sementara yang diajak bicara hanya diam tak peduli.
"Apakah Mikay akan terus-menerus kayak gitu, Mah?" tanya Mackie pada Marget.
Marget tersenyum simpul. "Itu lebih baik, Mackie. Bersyukurlah adikmu telah sembuh."
"Tapi mah," sela Mackie. "Mama tak berpikir kah kalau terapi itu hanya berefek sementara?"
Mackie tau ibunya takkan peduli soal itu. Tapi ia tak bisa membiarkannya seperti itu terus. Mungkin umurnya masih 11 tahun. Tapi otaknya sudah cukup pandai untuk was-was dengan apa yang terjadi pada adiknya itu.
Abang gak akan diam, Kay.