Chereads / Allebei / Chapter 9 - Unexpect

Chapter 9 - Unexpect

MIKAY

Aku menyapu pandang keadaan kelasku sekarang. Setidaknya hanya berusaha mengalihkan otak dari setiap ucapan Abun yang tak berguna. Sejak istirahat selesai, Abun tak berhenti berbicara. Ralat, sejak ku katakan aku akan menemui Erik pulang sekolah.

"Bun?" tanyaku jengah. "Tolong diem."

"Gimana gue mau diem? Gue gabisa biarin lo sendiri ketemu sama kakak kelas. Erik itu pakboi kelas kakap biar lo tau!" seru Abun.

Aku menatapnya miris. "Lo juga kan?"

Abun menggaruk tengkuknya. Terlihat seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab ucapan ku. "Ya...Iya kayaknya. Tapi kalau iya pun, pakboinya gue itu sepersepuluhnya dia biar lo tau!" sambungnya lagi.

Aku menghembus nafas jengah. "Jadi mau lo apa?"

"Gue temenin lo." putusnya semakin terlihat mengesalkan.

"Kok lo posesif sih? Lo siapanya gue emang?" ketusku tak suka.

Abun terdiam. Tak lagi berbicara. Untuk sesaat aku tersadar ucapanku terlalu pedas. Tapi setidaknya agar dia tidak bertindak lebih jauh lagi.

Abun bersandar tanpa kata. Menatap buku di hadapannya dengan tatapan sayu. Aku melihatnya buku yang dipegangnya itu terbalik. Reflek aku membalikkan buku yang dibacanya itu. "Terbalik lo bacanya."

Bukannya menjawab, Abun memilih pergi ke tempat duduk nya yang sebenar. Aku perhatikan lamat-lamat. Belum semenit, dia beranjak lagi keluar kelas. Aku tak tau ucapanku bisa membuatnya seperti itu.

Aku memilih tak peduli, dan kembali membaca buku ku. Tapi entah kenapa rasanya kayak hambar gitu. Jadi gak nyaman karena Abun tak ada. Harusnya aku tenang dong ya?

"Abun kenapa, Kay? Mukanya kayak muka sadboy gitu," Lyona duduk di sebelahku, menggantikan posisi Abun.

"Kok lo kepo?" ujarku cuek. Tanpa menoleh.

"Gue seneng banget perhatiin lo berdua," Aku menoleh tak paham. "Lo serius gak suka sama Abun?"

Aku menggeleng sebagai jawaban. Toh juga aku memang tak memiliki perasaan apapun padanya.

"Kadang kasian gue liat Abun. Padahal lo respon dia cuek banget, dia tetep aja bicara. Niat banget ngedeketin lo." ujar Lyona beropini.

"Dia bukan siapa-siapa gue yang berhak ngatur gue." ketusku. Lyona menatapku sambil tersenyum tipis.

"Sekarang iya. Gatau kalau nanti. Memang ucapan lo ada benernya, tapi lo tau gak? Ucapan lo itu nyelekit banget. Beruntung loh, lo bisa deket cowok modelan Abun. Bisa dijadiin pacar, sahabat, atau abang sekaligus." ujar Lyona panjang lebar. Makin lama, berbincang dengannya seru juga ternyata.

"Lo suka sama dia?" tanyaku setelah menafsirkan ucapannya barusan. Bukannya menjawab, Lyona malah tertawa. Aku menatapnya tak paham.

"Gak mungkin lah, Kay," ujarnya di sela tawa garingnya. "Gue itu lagi belajar jadi adeknya yang pengertian. Makanya gue tau banyak soal dia."

Wah, saya terkejut -batinku tak percaya.

***

Aku menatap jam. 5 menit lagi sebelum bel pulang berbunyi mengakhiri pelajaran sejarah. Sejak Abun kembali ke kelas, Abun tak kembali ke sebelahku. Dan, aku sedikit merasa tak nyaman tanpa nya. Tapi aku tak peduli.

Kringgg!

Sontak seluruh siswa seperti cacing kepanasan. Bu Lely terlihat membereskan bukunya. "Baik, karena ibu baik, hari ini ibu tak beri tugas. Selamat sore."

"SORE BU!!"

Semua beranjak dari kursi. Berbondong-bondong ingin keluar dari kelas yang pengap ini. Seperti biasa, aku menunggu agak lenggang dulu.

"Lo jadi ke ruang SME, Kay?" Nayla menghampiri mejaku.

Aku mengangguk sekilas. "Kalian mau kemana kok rame?"

"Niatnya mau nemenin lo, disuruh Abun." ujar Ketlyn polos. Lyona dan Nayla melotot besar sampai bola matanya mau keluar ke Ketlyn. Bego kalau aku gak paham.

"Gue bukan anak kecil," kataku. "Gapapa gue bisa sendiri. Entar lagi abang gue dateng jemput, nanti dia aja yang nemenin gue."

Mereka mengangguk paham. "Kalau gitu, kita pulang dulu ya. Babay!"

Aku tersenyum tipis. Pintu sudah lenggang, tapi Abun di kursi ujung belum melakukan pergerakan. Dia melipat tangan, dengan tatapan lurus ke depan.

"Bun? Lo belum pul---"

Belum sempat aku berbicara, Abun telah beranjak dari kursinya, meninggalkan ku sendirian di kelas. Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin menghilang. Kok jadi gitu yah??

***

Kini aku telah bersama Erik--si ketua OSIS itu. Aku dibawa ke ruang lab kimia SME club, dimana ada Bu Ekin telah menunggu disana.

"Sore bu." sapa kami berbarengan.

Bu Ekin menoleh sambil menutup kumpulan kertas di hadapannya. "Sore. Ini yang namanya Mikayla yah?"

Aku mengangguk, "Iya Bu. Saya Mikayla Weasley."

Bu Ekin menggerakkan tangannya menyuruh duduk. Paham apa yang di maksud, kami duduk di kursi kosong di depan ibu itu.

"Kamu dijemput atau gimana pulangnya?"

tanya Bu Ekin.

"Saya naik motor--"

"Bukan kamu Erik." potong Bu Ekin.

Erik membuang pandangannya karena salah tingkah. Aku hanya menghela nafas.

"Dijemput Abang, Bu." jawabku.

Bu Ekin mengangguk paham. Ibu itu beranjak ke lemari buku di sebelahnya. Mengambil beberapa kertas lalu duduk menatapku lamat-lamat.

"Ini soal science math english, semua soal menggunakan bahasa inggris. Jangan anggap ibu mempersulit kamu masuk club ini. Ibu bersyukur kamu mau. Tapi kamu harus menyelesaikan soal-soal ini," ujar ibu itu menjelaskan sambil menyodorkan kertas-kertas itu.

Aku membuka lembar demi lembar. Aku menggeleng tak percaya. Bu Ekin tak bercanda tentang soal-soal ini.

"Kamu bebas mengumpulkan nya kapan," sambungnya lagi. "Tapi, durasinya hanya 2 jam. Selamat mengerjakan."

Belum sempat aku membuka mulut, Bu Ekin dan Erik pergi meninggalkan ku sendirian di tempat ini.

Aku tersenyum lebar guna menyemangati diri sendiri.

***

Tinggal 15 menit lagi. Dan aku sudah menyelesaikan 75% dari soal itu.

Ini benar-benar menyesakkan otak!1!

Plis ilham dateng dong! Udah pengap otak gue! - batinku berkoar-koar.

Kepalaku tiba-tiba berdenyut tak karuan. Pikiranku kosong untuk beberapa saat. Namun di detik kemudian, Bu Ekin dan Erik masuk ke ruangan.

"Sudah siap?" tanya Bu Ekin.

Aku linglung menghadapi Bu Ekin. Jantungku berdegup kencang, merasa bekum selesai mengerjakannya. Namun saat ku periksa,

Jawaban telah terisi.

Bagaimana bisa?

"Baik, sini ibu periksa." Bu Ekin meraih lembar jawaban itu dari tanganku. Lalu diletakkan di mesin scanner.

Aku menatap sekeliling dengan perasaan campur aduk. Aku terlalu takut untuk membayangkan kemungkinan terjadi. Aku memilih menunduk, sambil menikmati degupan jantungku yang terasa seperti memukul bahuku.

Senyap mendadak.

Bu Ekin maupun Erik tak terdengar melakukan sesuatu. Saat aku mendongak, aku melihat mereka terbelalak pada monitor yang menampilkan jawabanku.

"Mikayla?" panggil ibu itu terdengar putus-putus. "Kamu lulus masuk SME club."

Aku menatapnya tak percaya.