***
MACKIE
30 menit berlalu sejak bel pulang sekolah Mikay berbunyi. Bahkan sampai sekarang Mikay tak terlihat sama sekali. Aku jengah menunggunya disini. Aku chat dia pun, belum dibaca apalagi di balas.
"Mikay kamu lama banget sih!" keluhku.
Tinggal aku yang ada di jalan ini. Namun tiba-tiba seorang guru datang mendekati mobilku. Langsung ku turunkan kaca mobilnya.
"Selamat sore. Dengan abangnya Mikayla?" sapa ibu itu padaku.
"Oh iya Bu," aku menjabat tangannya. "Ada apa Bu? Mikayla dimana ya?"
"Oh maaf. Saya Bu Ekin. Guru IPA Mikayla dan pembina SME club. Maaf saya telah mengambil waktu pulang adik kamu, karena dia sedang saya berikan tes untuk masuk SME club."
Aku terperanjat mendengar penjelasan ibu itu. Mikay benar-benar serius dengan ucapannya.
"Oh begitu ya bu," aku bingung hendak berkata apa lagi.
"Begini. Mari saya ajak kesana, untuk melihat adik kamu." ajak Bu Ekin.
Aku mengangguk sopan sambil mengikutinya dari belakang.
***
Dari kaca ini, aku melihat Mikay sepertinya sudah setres mengerjakan soal-soal itu. Kasihan kau adikku.
"Soalnya semua menggunakan bahasa inggris. Ada 60 soal. Tapi saya salut, walaupun terlihat kesusahan seperti itu, wajahnya tetap terlihat kalem." ujar Bu Ekin.
Aku memperhatikan gerak-gerik Mikayla. Kata Bu Ekin, waktunya tinggal 15 menit lagi. Mikay disana sudah terlihat gusar.
Namun, pergerakan Mikay mulai terlihat aneh. Mikay memegang pelipis nya. Dia terlihat sakit kepala bahkan sampai menunduk. Aku ingin masuk melihat keadaannya tapi guru itu tak memberi ijin. Apa-apaan ini?!
Tak berlangsung lama, Mikayla duduk tegap dengan wajah yang, aneh. Aneh maksudku, dia Mikayla, tapi wajahnya seperti orang lain. Tangannya lihai menggoreskan tinta pena ke kertas.
Aku menganga dengan perasaan campur aduk. Jangan-jangan?!
Kring. Bel tanda waktu habis dibunyikan. Bu Ekin menyuruhku tunggu disini, dan dia bersama muridnya itu masuk. Mikayla terlihat linglung memberikan lembar jawabannya. Dan hasilnya?
Dia lulus.
~•~•~•~
Kami berjalan beriringan tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun.
"Erik. Kamu tolong bawa Mikayla ke kantor guru. Tunggu disana sembari saya berbicara dengan Pak Mackie." perintah Bu Ekin pada muridnya itu.
Erik-muridnya membawa Mikay ke arah yang berlawanan. Sementara Bu Ekin membawaku ke ruang guru yang lain.
"Begini, Pak Mac," ucapnya memulai pembicaraan. "Jawaban Mikayla barusan hasilnya, 100%."
Sontak aku memundurkan tubuhku. Bagaimana bisa soal seperti itu, Mikay bisa dapat 100%?
"Saya paham yang anda pikirkan," sahutnya lagi. "Tapi melihat gerak-geriknya tadi, Mikayla seperti mempunyai kemampuan spesial."
"Maksudnya kemampuan spesial?" tanyaku heran menatapnya dalam.
"Silahkan anda perhatikan soal-soal ini." Bu Ekin menyodorkan soal yang dikerjakan Mikayla.
Aku membacanya dengan serius. Memahami kata demi kata. Dan mulai menyadari, itu bukan sekadar soal math, science, ataupun grammar. Tetapi seperti soal psikotest, atau tes iq, atau semacamnya.
"Ini, bukan sekadar soal SME kan Bu?" Bu Ekin tersenyum menatapku. Dan itu membuatku bingung.
"Anda konselor kah? Atau psikologi? Atau psikiater?"
"Maksudnya?" tanyaku tak paham kemana arah pembicaraan nya.
"Anda pasti salah satu yang saya ucapkan. Karena anda paham bentuk soal-soal itu."
Aku menggeleng tak percaya. Apa mau dia? Bahkan aku sebagai psikiater pun, tak pernah menguji adik-adikku dengan soal-soal itu.
"Dan hasilnya 100%?" Ekin mengangguk mantap.
"Dan adikmu memiliki kemampuan spesial untuk anak kelas 10. Jika anda berkenan, selama di club, saya akan mengetes kemampuannya. Dan akan memberi laporan kepada kepala sekolah, bahwa ada baiknya adikmu dipindah kelaskan."
Aku terdiam mendengar nya. Aku tak tau adikku sejenius itu.
~•~•~•~
Aku dan Mikay sudah meninggalkan sekolah. Langit mulai berganti senja mengingatkan kami kalau kami pulang sangat terlambat.
"Bang," panggil Mikay tanpa menoleh.
"Ada apa?"
"Aku lulus," Mikay menatapku, kemudian tersenyum lebar. "AKU LULUS YAAMPUN PADAHAL SOALNYA SUSAH KALI!!!!!!"
Aku menutup telingaku yang berdengung. "Iyaiya tapi gausah teriak-teriak gitu loh!"
Mikay tertawa lepas. "Tapi tadi aku gak ngerasa udah selesai ngerjainnya loh serius. Di menit-menit terakhir nya."
Aku mematung teringat sesuatu. "Kamu tadi kenapa disitu?"
"Gatau, sakit banget kepalaku tadi. Kayak ada yang narik," keluhnya. "Tapi sebentar aja sih kayaknya. Tapi sebentar nya kok sampe waktu habis ya padahal masih ada 15 menit lagi."
Aku mulai mengatur sesuatu di otak. "Apa yang kamu rasain?"
"Kayak bukan aku yang ngendaliin tubuhku."
Penyakit Mikay sudah aktif - batinku.
"Besok libur kan?" Mikay mengangguk. "Besok ikut Abang kerja ya."
"OKE!" serunya dengan semangat.
Aku tak pernah melihatnya sebahagia itu.
~•~•~•~
Langit sudah menggelap dihiasi bintang gemerlap tanpa bulan. Mama dan Papa hari ini ada di rumah. Jadi makan malam kali ini diadakan bersama.
"Mah, tadi ujian MTK Mey dapat seratus loh!" seru Meylie bercerita di tengah-tengah kesibukan makannya.
"Ohya? Pinter anak mama." puji Mama.
"Dari 7 ruangan, Meylie yang nilainya paling tinggi pertama!" sambungnya lagi.
Kami terdiam.
"Lo yang pertama? Betulnya bohongmu itu?" tanya Millo nyinyir.
"Ih apasi." ketus Meylie.
"Bukannya temen-temenmu pinter semua ya dek?" tanya Papa.
"Iya. Keren kan?"
Mikayla bertepuk tangan salut. Sama kagetnya denganku.
"Eee sombong!" Cibir Millo. "Gue yang juara animasi bergerak pertama sekota Jakarta biasa aja kok."
Aku memicingkan mata. "Kerendah hatian yang berlebihan, juga sebuah kesombongan."
"Sirik aja Lo!" ketus Millo.
"Yaampun anak-anak mama sama papa memang the best lah!" Mama mengancungkan jempolnya.
"Nanti papa ajak jalan-jalan ke Bandung mau?" papa menawarkan.
"MAU!" Seru adik-adikku serempak. Aku hanya tersenyum kecil.
Mikayla berdiri membuat semua perhatian kepadanya. "Piring kotor nanti Mikay aja yang cuci. Mikay ke atas dulu."
Mikay meninggalkan meja makan. Semua saling menatap tak paham dengan sikapnya.
"Mey juga ya. Ada tugas IPA." Meylie juga ikut meninggalkan meja makan.
Sisanya menyelesaikan makannya.
Otakku sibuk menyusun kata, bagaimana caranya memberitahukan ini kepada mama papa. Aku masih terlalu takut.
"Mah? Pah?"
Mereka menoleh padaku. "Iya?"
"Besok Mikay, Mackie bawa kerja ya. Biar terapi dia."
Papa menatapku tak paham. "Terapi apa lagi?"
Aku menghela nafas. "Hanya untuk mengantisipasi agar penyakit nya tidak aktif."
"Maksud kamu penyakit nya kambuh?" tanya Mama menggebu-gebu.
"Ya..ya..." Au bingung bagaiman melanjutkannya. "Ya, hanya mengantisipasi, Mah."
Mereka mengangguk mengiyakan. Tapi Millo menatapku terus. "Gue ikut yah!"
"Terserah."
Millo mengejekku karena responku yang singkat.
~•~•~•~
MIKAY
Aku menatap langit ditengah-tengah kesunyian kamarku. Hari ini terlalu banyak hal yang mengejutkan.
Abun yang menjauh, dan lulus SME club.
Aku berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tapi yang terjadi, otakku malah seperti tak bekerja.
Toktoktok.
Aku menoleh, mengijinkan Mackie masuk ke kamarku.
"Cie. Selamat buat yang udah seruang dengan kakak senior." ujarnya mengacak rambutku.
"Ih lebay." Aku tertawa melihatnya. Lalu kembali terdiam.
"Ada cerita apa hari ini?" tanya Mackie. "Selain tentang club mu itu?"
Aku tampak berpikir. Ragu untuk bercerita tentang Abun.
"Tentang Abun bang." ucapku akhirnya.
"Cowok yang suka kamu?" Aku mengangguk sekilas. "Ada apa?"
"Dia jauhi aku. Kan dia bujuk-bujuk aku tuh buat masuk club olahraga, aku iyakan. Eh dia malah ngomel-ngomel karena kubilang mau jumpai Kak Erik pulang sekolah buat tes club." ujarku menjelaskan.
"Kak Erik? Yang sama Bu Ekin tadi?" tebak nya.
"Iya. Dia bilang dia mau temenin aku. Katanya Kak Erik itu pakboi. Karena aku marah, ku bilang, Lo siapanya gue sih?!"
Mackie tertawa membuatku heran. "Itu kasar banget sumpah. Jadi kesannya dia nyadar diri gitu, makanya jauhi kamu?"
"Dia kayak ngambek gitu. Harusnya aku tenang kan, tapi malah jadi gak enakan," keluhku.
"Kayak gitulah perasaan bersalah. Selama di sekolah, temenmu cuma Abun kan? Selain 3 cewek yang sering sama kamu akhir-akhir ini?" Aku mengangguk.
"Jelas kamu kesepian. Abun yang ngisi hari-hari kamu yang flat. Walaupun kamu kesel, tapi dia tetep mau sama kamu. Tapi kalau dah kayak gitu dia pergi. Kamu ngerasa kosong kan?"
"Terkadang." Elaknya sedikit membenarkan.
Mackie tersenyum. "Intinya jangan malu minta maaf."
Aku berpikir dua kali untuk minta maaf. Itu bukan hal yang mudah. "Besok ikut Abang kerja?" Ujarku mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Kita terapi ya."
Aku mengernyitkan dahi tak paham. "Buat apa?"
"Biar otakmu ada ruang untuk menghadapi segala macam rumus dan bahasa latin." Mackie tertawa terbahak-bahak membuatku ikut tertawa.
Ya, gue bakal coba minta maaf besok.