Chereads / Allebei / Chapter 5 - Tukar pikiran

Chapter 5 - Tukar pikiran

MIKAY

Wifi lancar, cemilan siap sedia, laptop, hape, dan AC. Itu adalah benda-benda kesayangan yang menjadi alasan, satu-satunya alasan mengapa aku betah di kamar tanpa keluar. Sambil menunggu Mackie tentunya.

Tik, tok, tik, tok.

Sumpah aku bingung mau ngapain. Mau buka laptop, enggak tau buat apa. Hape juga. Novel, udah pada kebaca semua. Ohya, ada yang belum. Tapi jiwa mager ku mengikatku begitu kuat seolah tak ingin aku meninggalkan kasur sebelum Mackie datang.

Pukul 6 lewat 21 menit. 39 menit lagi Mackie akan sampai di rumah.

Aku membanting tubuhku ke kasur sambil menatap langit-langit. Bersenandung ke kecil sambil menikmati keheningan ini. Aku memejamkan mata sebentar, lalu wajah Abun muncul dengan senyum tengilnya.

"shit!" umpatku. "Kok malah muka dia yang muncul sih? Argkh!"

Aku membenamkan wajahku di selimut. Aku bosan. Hidupku terasa sangat flat. Bagaimana hidupku bisa lebih berarti dari ini? Aku ingin melakukan sesuatu yang wah, tapi aku tak tau apa.

"MIKAY!!! KAK MIKAY KELUAR!!!"

Itu suara Meylie. "NGAPAIN?!"

"BANG MACKIE PULANG!"

Mendengar nama Mackie, aku langsung turun dari kasur. Melipat selimut, memperbaiki gorden, mengembalikan semua benda pada tempatnya, memastikan semua rapi sebelum Mackie marah melihat kamarku.

Semua siap, dan aku langsung keluar kamar.

***

Goblok. Sampai di pertengahan tangga aku memaki diriku sendiri. Kenapa aku buru-buru? Kenapa aku sangat antusias dengan kepulangan Mackie yang sebenarnya ku tau aku tak mendapat apa-apa saat dia di rumah. Dan, jantungku berdegup kencang karena kelelahan, entah kelelahan karena apa.

"Dih, heran sama diri sendiri." Aku geleng-geleng sambil berusaha menetralkan detak jantung. Aku memutuskan kembali ke kamar.

Aku kembali ke kamar dan langsung berbaring. Aku sendiri lupa, kenapa daritadi aku menunggu Mackie. Tiba-tiba muncul opini bahwa aku sedang tidak waras. NO! Aku masih waaras 96%. Sisanya gatau kemana. Baru memejamkan mata, Millo memanggilku berulang kali membuatku terganggu dan membuka mataku.

"Mikay! Mikay! Lo kenapa hah? Kesambet? Kok malah diem di tangga?" pertanyaan beruntun yang dilontarkan Millo membuatku tersadar aku masih di tangga.

Eh? Bukannya tadi udah di kamar ya?

"Tuh kan diem lagi, gue lapor Mackie lo kesambet lagi!" ancamnya sambil berbalik.

"Rewel banget sih lo." ketusku.

Millo berbalik lagi dan menatap ku sangar. "Apa lo bilang tadi?!"

"Lo, rewel." ketusku tepat di depan wajahnya.

Millo mesem-mesem sambil melotot dengan gerak tangan seperti ingin menjambakku. Kayak perempuan lama-lama dia. Aku melihat Mackie sedang ngemil keripik pisang di meja makan sendirian. Bodo amat sama Millo, aku tabrak aja bahunya mau lewat.

"Rese bet lo jadi adek." dia menatapku marah.

"Bodo."

Aku menghampiri Mackie yang sedang menguyah, tapi dengan tatapan kosong.

"Bang Mac?" aku panggil pelan sambil melambai di depan matanya. Dia tak merespon sama sekali.

"Bang Mac?" panggil ku sambil menjentikkan jari depan matanya. Mackie terlonjat kaget menatapku.

"Mikay, ngapain disini? Udah makan?" tanyanya langsung.

"Udah kok," ucapku sambil menggeser tempat duduk di depannya, "Kok ngelamun? Mikirin apa bang?"

Mackie menghembus nafas panjang. "Ada pasien yang meninggal lagi."

"Oh, jadi karena itu abang pulang malem?" Mackie mengangguk samar. "Gangguan jiwa?"

"Iya. Dia ditemukan kepalanya hampir pecah di ruang isolasi. Dinding isolasinya juga berdarah pas di dekat mayatnya. Diperkirakan kepribadiannya yang lain menguasai tubuhnya membuatnya terus melakukan bunuh diri dengan cara apapun." Mackie menjelaskan panjang lebar tanpa jeda. Salut.

"Emang dia penyakit apa?" tanyaku penasaran.

"Dissociative Identity Disorder. Kepribadian ganda." jawabnya sedikit pelan dengan jeda sebentar. Ada nada ragu didalamnya.

Aku membulatkan mulutku tanda paham. Mendadak aku lupa apa yang ingin aku katakan padanya. Yah, memang selalu seperti itu. Dokter seperti Mackie pasti kecewa saat tak berhasil menyelamatkan nyawa pasiennya.

"Millo! Meylie! Kalian udah makan?" teriak Mackie.

"Udah kak!" jawab mereka serempak. Mackie mengangguk.

Mackie menatapku intens membuatku heran, "ngapain nengokin kayak gitu?" tanyaku.

"Ada yang mau kau bicarakan kan?"

Aku salah tingkah dadakan, "Iya bang, tapi lupa." jawabku sambil nyengir kuda. Mackie hanya tersenyum maklum. Katanya sudah biasa, tapi aku haus membuang kebiasaan itiu sebelum itu jadi penyakit. Entah apa maksudnya.

"Dia nih Mac, laknat banget tau ga!"

Tiba-tiba Millo datang dengan nada sewot sambil mengambil tempat duduk yang kosong. Dengan tidak sopan, dia mengambil keripik milik Mackie. Aku menggerakkan mata malas. Kambuh rese nya.

"Laknat gimana?" tanya Mackie. "Adek ku baik."

"Iya ADEK KITA ini baeknya sama lo aja. Masak tadi gue dibilang rewel? Dikira gue bayi gede apa?" ketus Millo sambil menatapku sengak.

"Emang kenyataannya gitu kok." sahut Mackie tanpa beban.

Reflek aku tertawa keras melihat ekspresi tak terima Millo. Hitungan detik saja, wajahku kembali datar. "Pengadu." ejekku.

"Meylie! Sini lo!" teriak Millo memanggil Meylie.

"Apa bang?" tanya Meylie langsung di dekat kami.

"Lo di pihak gue. Kita lawan mereka. Masak abang lo yang tampan ini dibilang bayi gede, trus abang dibilang rewel--"

"Bacod. Sana balik ke depan tv." Potong Mackie jengkel.

"Dih, rese lu berdua." ketus Millo gemas.

"Ganggu bet dah Lo ah!" geram Meylie pada Millo lalu balik ke depan tv.

Millo melipat tangan di depan dada sambil mendengus kesal. Entah kenapa ada manusia kayak Millo disini. Gerah banget aku loh.

"Oya Mac, tadi tuh si Mikay melamun di tangga. Kesambet kayaknya dia."

Aku melotot tak percaya. Millo pengadu banget sih gilak minta di tabok! Mackie menatapku seolah meminta penjelasan. Gak bisa berkelit lagi deh gue.

"Mm, tadi tuh gue pikir, ngapain juga gue turun. Niatnya balik ke kamar. Gue juga udah ngerasa baring di kasur. Pas Millo manggil, tau tau masih di tangga." ujarku menjelaskan kejadian sebenarnya. Aku sendiri bingung kok bisa kayak gitu.

Mackie dan Millo mematung. Wajah mereka pucat pasi. Saling menatap dengan tatapan kosong. Mereka kenapa?

"Jangan jangan si Mikay--"

"Millo, stop." Potong Mackie dengan nada dingin membuat Millo bungkam. Aku menautkan alis terheran tapi tak terniat untuk bertanya.

"Gue ke atas dulu." ujarku meninggalkan mereka. Mendadak kepalaku berdenyut. Aku butuh istirahat sebentar.

~•~•~•~

MACKIE

Aku terdiam setelah mendengar penjelasan Mikay. Kurasa Millo memikirkan hal yang sama.

"Gue ke atas dulu."

Aku menatap punggung Mikay yang semakin lama semakin jauh. Ku pastikan sampai dia benar-benar tak lagi di tangga.

"Jangan-jangan penyakit Mikay kambuh bang," ujar Millo dengan hati-hati.

"Gak mungkin. Penyakitnya udah vakum 7 tahun. Masa iya kambuh?" elak ku. Setidaknya aku berusaha menenangkan diri sendiri.

"Ya mau berapa tahun itu vakum, yang namanya self nya dia pasif, bukan berarti hilang." ujar Millo lagi.

"Ah udah-udah Gausah dibahas. Abang ke atas." ujarku tak ingin melanjutkan.

"Dih, sama aja kalian." Ketus Millo.

Aku beranjak pergi ke kamar. Masih terbayang di otakku pasien yang meninggal itu. Itu adalah pasien yang sudah ku tangani selama 5 tahun terakhir. Perempuan dengan 3 kepribadian ekstrem. Aku tak menyangka kalau dia sampai melakukan bunuh diri dengan kejam seperti itu.

Kamar Mikay terbuka sedikit. Aku mengintip ingin memastikan apa yang di lakukan. Dan Mikay hanya berbaring diam sambil berselimut. Ku putuskan untuk berbicara padanya sekarang. Pasti daritadi dia nungguin aku, tapi lupa terus. Setidaknya sebagai abang yang paham, aku mesti mulai duluan.

"Mikay?" panggilku pelan. Dia menoleh dan berdehem sebentar. Aku masuk lalu duduk di karpetnya. Dia langsung turun duduk di sampingku. "Kenapa kok ngelamun?"

"Gatau deh, masih kepikiran soal tadi. Tapi beneran tadi aku ngerasa udah di kamar, gak nyangka kalau rupanya masih tangga. Kok aneh sih?" ujarnya panjang lebar. Aku paham kebingungannya.

"Udah deh gausah dipikirin. Toh juga kalau kau terus memikirkan nya, kau takkan mendapat jawaban," Mikay mengangguk. "Jadi? Gimana tadi sekolahnya?"

"Hambar aelah," jawabnya malas. "Ada cowok yang suka sama aku."

"seriously?" tanyaku tak percaya. "Bagaimana kau bisa tau?"

"Duhh... Abang...Ngomong samaku tuh jangan baku amat bahasanya ngapa? Gemes nih dengernya. Kebanyakan nonton Harry Potter gini deh."

Aku tertawa melihat ekspresi kesalnya. Dengan gemas aku mengacak rambutnya. "Yaudah iya adek...Balik ke topik gih. Gimana kok bisa tau?"

"Jadi tuh waktu istirahat, aku males ke kantin. Aku makan bekal di kelas sendirian. Trus tiba-tiba ada yang gerak kursi di sampingku. Pas aku intip, rupanya ada cowok yang lagi tidur. Aku bangunin lah dia. Kepentok kepalanya ke kursi. Aku gatau udah ngapain, eh dianya baper." ujarnya memutar matanya tanda tak suka.

Reflek aku tertawa dong. Adikku ini entah polos atau memang otaknya udah bersih banget. "Terus? Dia ngapain?"

"Dia ngajak aku ke kantin, aku gamaulah rame banget. Jadi dia ajak aku keliling sekolah. Udah kayak tour guide gitu. Tapi sebel mah ditempelin mulu."

"Ada yang lebih ngeselin dari itu?" tanyaku.

Mikay menggeleng, "Enggak sih, dia almost same lah sama cowok umumnya. Cuma dia beda."

"Suka?" tanyaku dengan nada menggoda.

"Siapa?"

"Kamu?" aku memicingkan mata membuatnya mundur menatapku micing balik.

"Apasih maksudnya?"

"Kamu suka dia?"

"Ya gak mungkin lah gimana sih abang." ujarnya sedikit sewot.

Aku menurunkan alis sebelah, "Kok gak mungkin sih?"

"Ya, ya gak mungkin aja. Lagian sih kayaknya dia bukan suka sih. Dia cuma bilang aku itu jodohnya lah, bidadarinya lah,--"

"Ya itu namanya suka, Mikay." Aku menatapnya datar. Entah kemana otaknya. Kami tertawa bersama menertawakan kebodohan masing-masing.

Tak ada yang lebih menyenangkan dari melihat adik kesayanganku tak pernah sedih.