MIKAY
"Berapa menit lagi pelajarannya habis?" bisik Abun sambil menelungkup kan wajahnya di meja.
"5 menit lagi." jawabku sambil menulis apa yang di jelaskan Bu Ekin di depan.
Abun mendengus kesal. Kentara banget kalau dia udah gerah disini. Tapi, gak selebay itu seharusnya.
Kring!!!
Pria itu langsung tegak saat mendengar bel tanda pelajaran selesai berbunyi. "Lo bilang 5 menit lagi, Kay?"
"Lah emang Lo liat gue nengok jam?" ujarku tanpa menatapnya.
"Cih." Cibirnya. Beberapa saat kemudian Bu Ekin keluar dari kelas, dan langsung digantikan seseorang yang sudah menunggu di pintu.
Toktoktok.
Semua mata memandang pada orang itu. Orang itu masuk, dan dengan gaya wibawanya dia menatap kami satu persatu.
"Siang semuanya. Kalian bisa panggil saya Kak Joshua. Silahkan berbaris di depan kelas, kakak akan tuntun kalian untuk pengenalan club." ucapnya panjang lebar selebar senyum nya.
Sayangnya tak ada yang menyahut.
"Kalian denger apa yang kakak bilang?"
"Denger kak!"
"LANGSUNG GERAK!" gertak nya membuat kami semua berdiri mendadak.
Kami mengikuti Kak Joshua. Trip pertama, club teater.
Disana terlihat mereka yang sedang latihan. Ada yang berkostum aneh, aktingnya gajelas, emosinya dibuat-buat. Aku menatap miris. Club itu seolah-olah dibuat tanpa persiapan.
Trip kedua, club astrologi.
Lumayan keren. Mereka yang didalamnya sibuk dengan teleskop masing-masing. Gambar benda-benda langit yang menghiasi langit-langit ruangan tampak keren. Aku sedikit tertarik, tapi tak suka.
Trip ketiga, SME club.
Mereka yang didalamnya berpakaian layaknya ilmuan. Tabung-tabung reaksi dengan berbagai bentuk menarik perhatian ku. Rumus matematika dan bahasa latin memenuhi setiap dinding. Luar biasa.
Trip keempat, olahraga.
Yah, terlihat biasa saja. Voli, sepak bola, basket, tenis, dan lainnya. Olahraga ini dibuat indoor. Tak terlalu menarik.
Trip kelima, OSIS. Gak perlu dijelasin juga sepertinya kalian sudah tau apa isinya.
"Jadi sekian club baru yang kita punya. Club lama kita ada dancing time, soul music, art corect, bahasa, paskibra, pramuka. Itu kalian bisa lihat-lihat besok. Ada pertanyaan?" ujar Kak Joshua panjang lebar.
Aku tunjuk tangan. "Kapan pendaftaran nya?"
"Pulang sekolah bisa."
"Mesti pulang sekolah?"
"Kalau belum ada pilihan, paling lambat, besok pagi."
Semua kompak bilang 'oh' tanda paham. Lalu barisan dibubarkan, kembali ke kelas.
~•~•~•~
MACKIE
Suasana berkabung masih menyelimuti rumah sakit ini. Tak ada yang menyangka kematian pasien itu berpengaruh besar disini.
"Mac." Seseorang membuyarkan lamunanku.
Dia Ali, ahli saraf otak, temanku dalam mengatasi permasalahan pasien yang baru saja meninggal ini.
"Ada apa?" tanyaku dingin. Aku masih tidak mood untuk berbicara dengan siapapun sekarang.
"Maaf mengganggu suasana hatimu," ujarnya sopan. "Aku hanya ingin memberi laporan tentang keadaan otak Wilda sebelum dia bunuh diri."
Aku mengambil sebuah berkas dari tangannya. Belum berniat untuk membukanya.
"Aku sudah tanyakan juga keadaannya pada Ryen, tentang keadaan perasaan nya sesuai dengan peta saraf otak milikku. Dan aku menemukan sesuatu yang ganjal." sambung nya lagi. Aku menatapnya lama, dan Ali menggerdikkan bahunya.
Aku membuka berkas itu. Pas poto 3×4 milik Wilda yang terlihat duluan di mataku. Aku merindukannya, jujur.
Carolincya Wildryani Mokalu.
Pasien D.I.D
Ditangani oleh: • dr. Mackie Weasley, SpKJ
• dr. Aligter Simbolon, SpKJ
Laporan - oleh Tyendri, M. Psi.
Kepribadian primer pasien didiagnosa mengalami skizofrenia positif. Keadaan otak pasien sering bereaksi tidak normal, kadang tak merespon apapun, kadang berlebihan. Otak pasien bereaksi keras pada sesuatu yang membuatnya harus mengingat sesuatu yang traumatis yang mengganggu kepribadian nya yang lain. Membuat emosinya tak normal, dan perilaku yang tak terduga.
Aku menyipit tak paham. Bukan tak paham sih, lebih tepatnya otakku sedang malas berpikir.
"Jadi singkatnya?" tanyaku pada Ali.
"Singkatnya, kepribadian primer Wilda pasti mengingat peristiwa traumatis yang malah menyiksa kepribadiannya yang lain." cetus Ali.
"Tak ada satupun orang yang mau mengingat peristiwa terburuknya, bahkan pasien D.I.D lainnya takkan sanggup memikirkannya kalau sampai kepribadiannya yang lain mengambil kendali tubuh dengan paksa." ujarku beropini.
Aku mulai merasa ada sesuatu yang ganjal. Seingatku, Wilda tak ingat peristiwa terburuknya. Wilda yang lain lah yang tau.
"Jangan-jangan ada seseorang dibalik kasus ini." ucapnya hati-hati.
Aku hanya terdiam, berusaha berpikir logis tentang apa yang sebenarnya terjadi. Belum sempat berpikir, hape ku berdering menampilkan nama Mikay disana.
"Halo." ucapku setelah mengangkat teleponnya.
"Yaudah Abang jemput sekarang. Bye." Kututup panggilan sepihak.
Aku membereskan berkas-berkas di mejaku, menyimpan jas almamater di kursi, lalu siap siap pergi.
"Aku pergi dulu." ucapku pada Ali.
"Bagaimana keadaan adikmu?" tanya Ali.
"Baik kok."
"Maksudku penyakitnya."
Aku terdiam menatapnya. "Kurasa kepribadian nya akan aktif. Dia sudah menunjukkan gejalanya."
Ali mengangguk paham. "Kau harus melakukan terapi padanya sebelum itu benar-benar parah."
Aku mengangguk paham, lalu pergi.
~•~•~•~
Siswa Permata Impian satu persatu meninggalkan gerbang. Tapi keberadaan Mikay belum terlihat sama sekali.
Aku memperhatikan setiap siswa yang melewati mobilku. Tiba-tiba mataku menangkap sosok sosok yang tak asing.
Pria berseragam sekolah dengan tas hitam dan headset yang menggantung di telinganya.
"Mirip Wilda versi cowok yah?" gumamku pada diri sendiri.
"Ahk gak mungkin adeknya lah. Orang di riwayat hidupnya, adeknya yang cowok udah kerja, adeknya yang cewek udah meninggal." ucapku lagi.
Saat aku menoleh, pria itu sudah tak ada lagi. Sementara di ujung sana, nampak Mikay lagi berbincang dengan teman-temannya.
Aku tersenyum lega akhirnya dia memiliki teman. Tapi tak lama, seorang cowok mengajak nya berbincang. Aku menangkap sesuatu yang aneh dari ekspresi mereka. Tak lama mereka berbicara, Mikay meninggalkannya lalu menghampiri mobilku.
"Tadi bicara sama siapa?" tanyaku.
"Temen." jawabnya singkat.
"Dia cowok yang kamu ceritain kemarin?" Mikay mengangguk samar.
"Dia lucu." ujarku beropini sambil menancap gas meninggalkan sekolah.
"Iya lucu. Tapi dia nempelin aku terus." Mikay memanyunkan bibirnya.
"Dari gayanya tadi, walaupun dia nempelin kamu, sebenarnya tak begitu mengganggu kan?"
"Iya sih," gumamnya. "Kok jadi bahas dia sih?"
Aku terkekeh pelan. "Jadi mau bahas apa?"
Mikay bertingkah seolah sedang berpikir. "Kalau disuruh pilih, Abang pilih club teater, astrologi, science math english, atau olahraga?"
"Mmm," aku berpikir sejenak. "Sebagai cowok sih, abang pilih olahraga. Tapi Abang lebih milih SME."
"Tapi teater sekolah ancur bet loh bang." Ujarnya.
"Kenapa kamu gak ikut itu? Setidaknya untuk memperbaiki, kamu bisa kan?"
Mikay tampak berpikir lagi. "Tapi gak tertarik."
"Masuk SME aja. Kamu kan mahir IPA, kamu juga suka menghitung. Paham bahasa Inggris kan?"
"Iyah," sahutnya. "Yaudah SME aja deh."
Aku mendengus kesal. "Lain kali kalau mau milih, pake pilihan sendiri jangan orang lain."
"Hm."
Dasar adek laknat.