~•~
Kreeenggg!!!!! Kreng krenggggg!!!!!
"MIKAY!!!!!!!! BANGUN WOY!!!!"
"BANGUN GA?!!!"
"BUKA GA?!! ATAU GA GUE DOBRAK NIH?!!!"
"MIKAYLA!!!!"
Ku tutup telingaku dengan selimut. Jam wekerku berbunyi sangat riuh, dan si Bastrad Millo itu pun menambah kericuhan. Apa salah dosa hambamu ini Tuhan? Kenapa pagi ku disambut dengan demo pagi hari?
"AKU BANGUN!"
Dengan langkah gontai, aku menghampiri pintu yang kurasa dengan satu pukulan Millo lagi, pintu itu akan retak juga. Kubuka pintu dan tanpa bicara aku menatap tajam tanda perang padanya.
"Lo telat." katanya sok dingin.
"Hm."
Pintu tertutup. Masalah selesai.
Waktunya mandi.
~•~•~•~
Aku melihat pantulan bayanganku di cermin. Menyedihkan.
Baju putih sedikit cream dengan rompi peach kotak-kotak, logo Sekolah Permata Impian di bagian kantong, rok selutut bermotif sama dengan rompi, kaus kaki putih, sepatu vans. Rambut dikuncir dengan poni agak panjang menutupi mata. Plus kacamata kotak yang bertengger di hidungku.
Tidak, aku tidak mengomentari seragamnya. Aku mengomentari diriku sendiri. Kini aku terlihat seperti orang aneh. Sungguh, aku tak suka warnanya. Dan warna seragamnya tidak seragam dengan sepatuku.
Aku mendengus. Dengan malas aku membawa tas ku keluar kamar menuju ruang makan.
~•~•~•~
Hanya Mackie yang ada di meja makan dengan setelan seragam dokternya, dan tak lupa buku tebal psikologi yang tak pernah habis dibaca. Tak ada tanda-tanda Millo atau siapapun selain dirinya di meja makan.
"Kak Mac?" panggilku pelan.
Mackie menoleh, berdehem sebagai jawaban.
"Millo mana?"
"Entah. Aku tak melihatnya sejak tadi." jawabnya tanpa menoleh.
"Tapi tadi dia ke kamarku." kataku sambil mengambil tempat duduk disampingnya.
"Maksudmu dia menggunakan jubah gaib punya Harry Potter agar tak kulihat?"
Aku tertawa pelan. Seleranya tak pernah berubah. Aku mengambil roti tawar untuk memulai sarapan. Keheningan melingkupi kami dan aku suka suasanya.
Mumpung kondisi sedang hening, biarkan aku memperkenalkan diri. Aku Mikayla. Aku lebih suka dipanggil Mikay daripada Kayla. Anak ke-3 dari empat bersaudara.
Dan ini, Mackie. Kakak pertamaku. My freak brother, walaupun begitu dia tak seburuk Millo.
Millo adalah kakakku yang kedua. Si Bastrad satu itu sebenarnya tak ingin kusebut kakak. Kalian akan tau betapa mengesalkannya dia. Tapi setelah ini kurasa kalian takkan di pihakku.
"Kau siap?" tanya Mackie sambil mengunyah. Aku menatapnya heran sementara dia tak menatapku sama sekali. Kebiasaan.
Aku mengernyit, "Siap untuk apa?"
"Sekolah barumu of course."
"Entahlah. Aku gak suka seragamnya."
Mackie tertawa. Dia tau aku tak pernah suka sesuatu yang berwarna mencolok. Beberapa saat kemudian, Millo pun datang dengan seragam dan handuk yang masih bertengger di lehernya.
"Selamat pagi manusia tanpa nyawa!" sapa Millo riang, tapi kurasa dia mengejekku dan Mackie.
"Siapa yang kau sebut manusia-tanpa-nyawa?" tanya Mackie dingin.
"Kalian dong." sahut Millo tanpa mengurangi nada riangnya.
"Kak Millo duduklah. Lo berisik banget sih! Hilang selera makan gue." cibir Meylie menggertak.
Astaga aku ketinggalan. Dia Meylie, adik bungsuku. Sama menyebalkannya dengan Millo, hanya satu tingkat dibawahnya. Hal-hal sepele dapat menjadi sebuah topik perdebatan besar untuk mereka berdua. Kepalaku mau pecah karenanya.
"Kalian mau sarapan atau berdebat?" tanyaku. Tapi entahlah, melihat ekspresi mereka membuatku merasa barusan aku tidak sedang bertanya.
Tidak ada yang menyahut. Tapi itu tak mengurangi kebisingan mereka.
"Mama papa mana kak?" tanya Meylie.
"Tuh."
"Gutten Morn my sweety."
Tepat saat Meylie bertanya, mama papa muncul dengan style formal mereka. Siap dengan balutan jas dan tas laptop yang selalu dibawanya ke rumah. Dasar orang sibuk. Tetapi walaupun sibuk begitu, saat mereka di rumah, mereka menyempatkan waktu untuk berbincang dengan kami dan memberi ceramah sepatah dua kata sebelum berangkat kerjanya.
"Satu nasehat mama buat kalian, mempunyai teman itu bagus. Tetapi bagaimanapun, tidak ada satupun orang yang benar-benar dapat dipercaya. Paham?"
"Paham Ma."
Sarapan dilanjutkan.
Mackie tak lagi sekolah. Dia adalah psikiater di salah satu rumah sakit swasta ternama di Indonesia. Millo adalah mahasiswa Universitas Trisakti entah jurusan apa itu yang penting ada animasinya. Aku baru lulus SMP dan Meylie kelas 6.
Semoga hariku menyenangkan.
~•~•~•~
Kami berempat berangkat dengan satu mobil. Mama papa sudah berangkat duluan 5 menit yang lalu. Dan kini kami sudah meninggalkan gerbang rumah.
"Berhenti sok cuek Mikay."
Aku menoleh. Millo yang barusan berbicara.
"Lo denger mama bilang apa? Memiliki teman itu bagus. Lo ga bisa terus-terusan begini Kay."
"Kayaknya lo ketinggalan sesuatu. Bagaimanapun tidak satupun orang dapat dipercaya." jawabku tak niat.
"Apa yang dikatakan Millo ada benarnya Mikay. Jangan membantah sekalipun ucapanmu benar," sahut Mackie.
"Punya temen itu seru loh kak," kata Meylie. "Bisa disuruh-suruh, bisa--"
"Sayangnya kakak bukan mental bossy dan ingin menonjol sepertimu Mey."
Meylie bungkam. Mackie menggeleng entah apa maksudnya.
"Membuat suasana menjadi suram itu tak pernah bagus Mikayla." cetus Mackie datar. Dia pasti tau kalau aku tak peduli.
~•~•~•~
Aku menatap seluruh kawasan sekolah yang besar ini. Aku sedikit malas untuk bersosialisasi disini. Melihat wajah-wajah arogan mereka membuatku mual. Ku harap aku takkan menjadi salah satu diantara mereka.
Banyak sekali siswa disini. Tak sebanyak waktu aku SMP. Sepertinya agak mustahil untuk aku tak memiliki teman.
Apa yang akan kulakukan disini?
Adakah yang ku kenal?
Ekskul apa yang akan ku ikuti?
Muka-muka tukang bully akan jadi temanku kah?
Ku harap tidak....
Semua yang ada diotakku buyar saat speaker sekolah menyuarakan suara guru yang terkesan memaksa semua siswa baru mengumpul di lapangan tengah. Aku berlari kecil kesana.
Ini baru awalnya Mikayla.