Hendra menghembuskan napas lelah dan berjalan dengan sedikit lesu kearah ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Hari inipun dia tidak bisa istirahat dengan benar setelah semalaman harus mengoperasi beberapa orang pasien kecelakaan yang tiba tengah malam di UGD.
Sedikit menguap dia hanya mampir sebentar ke ruangannya, mengambil sebungkus rokok dan berganti pakaian dengan kaos lusuh dan celana training. Dia berniat istirahat sedikit di atap rumah sakit. Setidaknya disana dia tidak akan diganggu oleh telepon-telepon dari bagian darurat.
"Hanya satu jam, ah tidak setengah jam." Pikirnya. Tanpa ada yang memperhatikannya, dia melangkah ke tangga rumah sakit dan membuka pintu keatap.
Hembusan angin dingin menerpa wajahnya membuatnya sedikit menggigil. Dia bersedekap berusaha menahan rasa dingin yang tiba-tiba menusuk kulitnya.
"Kok disini dingin amat, tau gitu diruangan aja deh." Pikirnya. Tapi alih-alih kembali, dia malah menuju bangku panjang di tengah atap yang dipasangi atap-atap dan ditumbuhi beberapa tanaman menjalar.
Dia menguap sedikit lalu berniat untuk menyalakan rokoknya ketika telinganya menangkap suara tangisan. Hendra mengurungkan niatnya dan menajamkan pendengarannya.
"Waduh, siapa nih yang nangis pagi-pagi gini?"
Dia menoleh kiri dan kanan. Mencari-cari sosok yang masih saja menangis dengan sedih.
"Bukan setan kan?" Batinnya, dia menatap matahari yang mulai terang.
Dengan rasa penasarannya yang semakin besar, Hendra mulai mencari sosok orang yang sedang menangis tersebut. Dia tertegun melihat seorang wanita berdiri dipinggir atap sambil terisak. Dengan langkah terseok, wanita itu mulai memanjat tembok berniat untuk melompat bunuh diri.
Dengan setengah berlari Hendra bergegas menghampiri wanita itu dan menariknya sebelum wanita itu sempat melompat. Mereka berdua jatuh terjerembap.
"Hei!! Kau mau apa?!" Teriak Hendra pada wanita yang tampak syok tersebut.
Wanita itu menatap Hendra linglung. Wajahnya kelihatan sembap dan matanya bengkak. Melihatnya demikian membuat Hendra merasa iba. Dia lalu membantu wanita tersebut bangkit berdiri dan menuntunnya ke bangku panjang.
Hendra membiarkan wanita tersebut menenangkan diri, dirinya bertanya-tanya bagaimana pasien ini bisa naik ke atas sini apalagi jalan satu-satunya kesini adalah naik tangga. Pintu atap-pun biasanya selalu terkunci dan hanya beberapa orang yang memiliki kunci untuk bisa kesini.
Wanita itu mengusap wajahnya yang penuh air mata dan menarik napas panjang lalu tampak lebih tenang dari sebelumnya, namun dia menatap Hendra dengan wajah gusar.
"Apa yang kau lakukan?!" Teriaknya membuat Hendra terkejut.
"Ha? Apa maksudnya?" Hendra mengerutkan keningnya.
"Kenapa kau menarikku? Kau harusnya biarkan aku jatuh dan mati!"
Deg...
Hendra memandang wanita dihadapannya yang kelihatan frustasi itu.
"Kamu sudah gila ya?!"
Wanita itu mendengus. "Iya. Sepertinya aku mulai jadi gila."
"Wah... Benar-benar. Baru kali ini saya melihat seseorang sebegitunya ingin mati. Harusnya saya tadi membiarkan kamu terjun. Ah tapi jangan. Setidaknya kamu harus cari tempat lain untuk bunuh diri. Jangan dirumah sakit ini. Kamu hanya akan membuat bisnis orang jadi rusak kalau mati disini."
Wanita itu terperangah. Dia memandang pria didepannya yang memakai kaos lusuh dan celana training yg sudah usang itu.
"Kau pegawai disini?"
"Tentu saja, kalau bukan pegawai mana mungkin saya bisa naik keatap. Lagipula bagaimana caramu bisa naik kesini? Ini adalah tempat terlarang."
Wanita itu terdiam. Dia tidak mungkin bilang pada pria didepannya ini kalau dia menyelinap keluar dari kamarnya subuh tadi hanya untuk pergi keatap. Melihat wanita itu tidak menjawab, Hendra mengacak-acak rambutnya dan menatapnya dengan tajam.
"Kenapa kamu mau bunuh diri? Sudah bosan hidup?"
Wanita itu mendengus. Sisa-sisa butiran air mata masih menggenangi sudut matanya yang indah. Wanita dihadapannya ini memiliki wajah yang cantik. Entah dia punya masalah apa sampai-sampai dia mau bunuh diri.
"Bukankah mati lebih baik kalau hidup-pun sudah ga ada gunanya untukku." Kini dia kembali menangis terisak. Hendra merogoh kantung celananya, dan mengambil saputangannya. Dia memberikannya pada wanita tersebut yang kelihatan ragu-ragu untuk mengambilnya. Hendra mengangguk dan menyuruhnya untuk menghapus air matanya yang membasahi hampir seluruh wajah cantiknya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Hendra. Dia mengambil posisi duduk disebelah wanita itu.
Wanita itu menggeleng. Dia tidak ingin menceritakan hal apapun kepada orang asing. Apalagi orang dihadapannya ini sepertinya bukan pria baik-baik. Itu terlihat dari penampilannya yang lusuh.
Hendra menghela napas panjang. Pekerjaan mendengarkan curhatan orang memang bukan bagian dari pekerjaannya yang seorang dokter bedah umum. Wanita ini harusnya datang ke psikiater. Dan bukan kapasitas dia untuk memaksa wanita ini untuk bercerita.
"Ya sudah kalau tidak mau cerita." Hendra hanya angkat bahu. Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding dan memejamkan matanya. Waktunya sudah terbuang sia-sia sekitar 15 menit.
"Ingat ya, kalau mau bunuh diri jangan disini. Ini rumah sakit. Bukan tempat buat bunuh diri. Bisa repot kalau ada yang bunuh diri."
Wanita itu tertegun. Pria ini tidak berkata lembut untuk membujuk dirinya. Tapi wanita itu justru merasa terhibur ketimbang kata-kata penghiburan lainnya yang terdengar palsu.
"Kau... Bekerja dibagian apa dirumah sakit ini?"
Hendra membuka matanya, dia melirik wanita itu yg kini ikut menyandarkan dirinya ditembok.
"Hummm... Bagian dimana kau bisa melihat orang sakit dan mati setiap hari," Sahutnya menggantung.
"Apa kau itu supir ambulans?" Tanya wanita itu tanpa pikir panjang.
Hendra terdiam sejenak sebelum akhirnya dia tertawa dengan begitu keras mendengar tebakan dari wanita itu. Wanita itu hanya memandangnya bingung. Merasa heran dengan reaksi Hendra.
"Apa aku salah?"
"Ahahaha... Yah anggap saja demikian."
"Kalau memang iya jawab iya, kalau bukan jawab bukan," Kata wanita itu ketus.
"Kenapa kamu bisa berpikir kalau saya seorang supir ambulans?" Tanya Hendra tidak menjawab kata-kata wanita itu.
"Apa ya?" Wanita itu memandang Hendra dan meneliti setiap jengkal tubuhnya yang terbalut kaus lusuh. Hendra segera menyadari alasan kenapa wanita ini menyebutnya supir ambulans. Ternyata kesan pertama dari gaya berpakaian cukup penting.
Hendra tersenyum.
"Kamu sendiri?"
Wanita itu menatap Hendra seolah pertanyaan dari pria itu begitu aneh.
"Kamu tidak mengenalku?"
"Haruskah saya mengenalmu?"
Wanita itu terhenyak sejenak. "Tidak juga. Tapi apa kau tidak pernah menonton televisi?"
"Saya tidak punya waktu untuk melakukan hal itu walaupun sebenarnya kadang ingin juga." Hendra berpikir sejenak.
"Ah, benar juga. Kau pasti sangat sibuk. Sebagai supir harus stand by 24 jam."
"Hmmm... Yah bisa dibilang seperti itu. Ngomong-ngomong apa kamu artis?"
"Namaku Selina," Wanita tersebut mengulurkan tangannya yang tidak segera disambut oleh Hendra. Pria itu tertegun mengingat percakapannya beberapa hari lalu dengan Reva diruangannya.
'"Kamu tahu Selina? Itu loh model yang sedang naik daun," kata Reva dengan bersemangat. Hendra yang sedang memeriksa hasil CT Scan pasiennya yang akan segera dioperasi hanya berdeham.
"Gak kenal," komentarnya.
"Ih. Dia cantik loh," kata Reva.
"Lalu?" Tanya Hendra. Dia harus pura-pura tertarik agar Reva tidak merajuk. Sahabatnya ini paling tidak suka di cuekin kalau sedang bercerita. Dia akan marah berhari-hari dan tidak akan menyapa duluan dan itu membuat Hendra kesal.
Reva membetulkan posisi duduknya.
"Dia jadi pasien gue," katanya setengah berbisik seolah-olah itu rahasia dan tidak boleh seorang-pun tahu, padahal diruangan itu hanya ada mereka berdua.
Hendra mendongak. Lagi-lagi Reva menceritakan sesuatu yang tidak penting seperti itu. Benar-benar membuang waktunya.
"Dia mencoba bunuh diri dengan minum obat serangga. Gue benar-benar ga habis pikir," kata Reva.
"Tekanan karena pekerjaan?" Tanya Hendra. Dia selalu tertarik dengan pasien-pasien Reva yang notabenenya adalah Psikiater. Reva selalu bertemu dan menangani bermacam-macam pasien yang mempunyai masalah dengan pikiran dan kejiwaannya.
Reva menggeleng. "Salah. Dia diputusin cowoknya. Ah.. salah, lebih tepatnya pacarnya itu selingkuh dengan temannya yang model juga," kata Reva.
Hendra mendengus. Mencoba bunuh diri karena patah hati. Menggelikan.'
"Ah, jadi dia yang dibicarakan oleh Reva." Batinnya.
Hendra kembali memandang tangan Selina yang masih terulur didepannya lalu menjabatnya.
"Hendra."
Beep....beep... Panggilan masuk berdering ke ponsel Hendra. Dia mengangkatnya dan segera berdiri begitu teleponnya tersambung.
"Astaga. Udah jam segini." Dia menatap Selina.
"Ayo turun." Ajaknya. Selina menggeleng, namun Hendra memaksanya daripada harus meninggalkan wanita ini sendirian disini dan membiarkannya memanfaatkan kesempatan untuk bunuh diri.
"Dimana kamarmu? Biar aku antar." Tanya Hendra.
Selina menggeleng. "Aku bisa jalan sendiri."
Hendra mendengus. "Terserah."
Diapun berjalan kearah pintu, membukanya dan menyuruh Selina untuk jalan terlebih dahulu. Hendra mengunci pintu tersebut dan akan meminta bagian security untuk lebih mengawasi tangga kearah atap.
Hendra mengikuti langkah Selina yang menuruni tangga dengan perlahan.
"Apa kakimu terkilir?"
Selina menoleh kearah Hendra yang sedari tadi mengawasinya. Bagaimana dia bisa tahu?
Pria itu mendahului Selina lalu berjongkok dan meminta Selina untuk duduk di punggungnya. Hendra akan membantunya turun dengan menggendongnya.
"Tidak usah sok kuat. Biar saya antar sampai kamarmu," Kata-kata Hendra terdengar menusuk. Bagaimana pria ini tahu kalau dia sedang menahan sakit karena pergelangan kakinya terkilir?
Dengan sedikit ragu, Selina menaiki punggung Hendra dan memberitahukan kamar rawatnya yang terletak di bangsal VIP. Hendra bergegas menuruni tangga dan menuju bangsal VIP di lantai 11, hanya turun 1 lantai dari atap, disepanjang lorong rumah sakit orang-orang terus memperhatikan mereka, sampai akhirnya mereka tiba dibangsal VIP, perawat yang melihat mereka begitu terkejut dan setengah tergopoh mengikuti langkah Hendra ke kamar rawat Selina.
Dikamarnya, manajer Selina, Ayu tampak uring-uringan dan terus memegangi kepalanya yang pening. Dia berniat untuk mengunjungi Selina siang nanti, namun, perawat menelepon dan mengatakan kalau Selina menghilang.
Brak... Betapa terkejutnya Ayu melihat Hendra yang menerobos masuk kekamar dan dipunggungnya ada Selina yang berpegangan erat pada pundak pria itu.
"Selina?!"
Hendra menurunkan Selina ke ranjang pasien dan menghembuskan napas panjang, keringat sedikit bercucuran di keningnya.
"Diluar dugaan, kamu berat juga, ya," Hendra nyengir sementara wajah Selina berubah merah karena kesal dibilang berat.
"Kamu darimana saja? Sejak tadi perawat sibuk mencari kamu." Ayu mencecar Selina dengan berbagai pertanyaan, namun wanita itu hanya memalingkan wajahnya dan bersembunyi dibalik selimut.
"Hah, bisa gila aku." Ayu mengusap-usap dadanya yang terasa sesak karena menahan kesal. Dia lalu menatap Hendra yang masih berdiri di sisi ranjang pasien dan tampak berbicara dengan perawat yang ada didalam ruangan.
"Anda siapa? Bagaimana anda bisa menggendong Selina?" Tanya Ayu dengan pandangan menyelidik.
"Ah saya...,"
"Loh, dokter Hendra?"
Mata Selina membesar dan menoleh kearah dimana Hendra berada. Disana ada dokter Fanny yang merupakan dokter tetapnya selama dirawat dirumah sakit ini.
"Dokter kok bisa ada disini?"
"Oh, dokter Fanny? Anda dokter tetapnya pasien ini?"
Dokter Fanny mengangguk."Iya. Saya dokter tetapnya."
"Pasien ini kakinya terkilir, tolong periksa kakinya sebelum bertambah parah," Kata Hendra memberi instruksi. Dokter Fanny menatap Hendra sebelum akhirnya dia memeriksa pergelangan kaki Selina yang membengkak.
"Bagaimana kakinya bisa terkilir?" dokter Fanny menggumam tidak jelas.
"Kalau begitu saya permisi. Ada jadwal operasi," Hendra pamit pada dokter Fanny dan matanya sempat bertatapan dengan Selina yang menatapnya dengan wajah tidak percaya lalu melengos pergi dari ruangan itu.
"Pria barusan itu dokter disini?" Tanya Ayu.
Fanny mengangguk. Lalu memeriksa Selina yang kembali berbaring diranjang. Dia sudah mendengar kalau Selina menghilang dari kamar tadi subuh, dia juga sempat mencarinya kemana-mana, siapa yang sangka kalau yang menemukan Selina adalah Hendra.
"Bagaimana anda bisa mengenal dokter Hendra?" Tanya Fanny.
Selina menatap dokter Fanny sejenak lalu memilih tidak menjawab. Dia tidak mungkin bilang kalau tadi subuh dia berniat untuk bunuh diri dari atas atap.
"Pria itu menolong saya yang terkilir tidak bisa berjalan." Sahut Selina sekenanya.
Dokter Fanny tersenyum. "Untunglah dokter Hendra yang menemukanmu dan membawamu kesini. Baiklah, nanti siang saya akan kembali lagi kesini. Nanti ada perawat yang memberikan obat untuk mengobati kaki anda. Kalau begitu saya permisi." Dokter Fanny pergi dari ruangan meninggalkan Selina bersama dengan Ayu yang memandangnya dengan tatapan seakan ingin menerkam wanita itu.
"Jadi, bisa jelaskan kemana kamu menghilang tadi?"
***
"Al, bisa tolong antarkan kue ini kerumah tante Tita?" Mama muncul dari balik pintu kamarnya dengan sekotak kue bolu yang baru keluar dari oven. Alfin yang sedang berbaring diranjangnya sambil membaca buku bergegas bangun dan mengiyakan permintaan mamanya.
Dengan menaiki motornya, Alfin pergi ke rumah tante Tita, mama dari kak Mira yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya.
"Siang tante."
Alfin mengucap salam saat tante Tita membukakan pintu dengan senyum sumringahnya seperti biasa.
"Hmmm, wangi ini... Bolu buatan mamamu ya, Al?"
"Iya, tan."
Tante Tita menerima kue pemberian iparnya dengan wajah ceria. "Ayo masuk dulu Al. Mira ada didalam. Ada temannya juga."
"Ga usah tante. Aku langsung pulang saja."
"Ya jangan dong. Ayo masuk dulu. Minum dulu. Marcel suka nanyain kamu tuh, katanya ga ada teman main ps."
Alfin tertawa. Marcel, adik sepupunya yang masih kelas 5 SD adalah adik Mira. Dia-pun mengangguk dan masuk kedalam rumah.
"Wah, wah, ada tamu rupanya." Goda Mira yang sedang duduk diruang tengah bersama dengan teman ceweknya dan dia adalah kak Hanny?!
Alfin menelan ludah dan wajahnya diam-diam memerah melihat kak Hanny dari dekat.
"Se...selamat sore, kak." Sapa Alfin canggung.
Hanny tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia memandangi Mira dan Alfin secara bergantian sambil bersiap-siap memakai jaketnya.
"Gue balik dulu ya, Mir. Udah sore soalnya."
"Elo balik sama siapa? Naik angkot?"
"Gue naik ojol aja. Nih mau pesen."
"Eh, jangan. Kebetulan banget nih ada Alfin datang kesini. Biar dia aja yang anterin lo pulang."
Alfin melotot menatap Mira.
"Duh, jangan. Gue ga enak. Gue pulang naik ojol aja."
"Gapapa lagi. Alfin juga kan lagi senggang. Dia juga mau kok anterin elo."
Duk...
Mira menendang Alfin memberi isyarat. Alfin menatap Mira lalu menatap Hanny.
"Iya kak. Aku lagi senggang. Biar aku anterin."
Hanny masih terus menolak namun Mira memaksanya agar mau diantarkan oleh Alfin hingga akhirnya dia mengalah dan duduk dengan manis diboncengan cowok itu.
Jarak rumah Hanny dan Mira tidaklah terlalu jauh. Jadi tidak lama kemudian mereka sudah sampain didepan rumah Hanny yang sederhana. Dua orang anak kecil kembar keluar dari dalam rumah itu dan menyapa mereka.
"Adik kakak?" Tanya Alfin.
Hanny mengangguk.
"Lucu. Kembar cowok dan cewek ya. Umurnya berapa?"
"5 tahun."
"Eh, cilo dan cila. Sudah mandi dan makan belum?" Tanya Hanny pada kedua adiknya itu.
Kedua kembar itu mengangguk bersamaan. Lalu menunjuk kearah Alfin.
"Pacar kakak, ya?"
Mendengar hal itu baik Alfin maupun Hanny sama-sama salah tingkah dan memerah.
"Duh, bukan. Kalian jangan bicara yang tidak-tidak. Nanti kakaknya tidak nyaman."
"Alfin, maaf ya. Mereka memang suka asal bicara."
"Tidak apa-apa, kak. Namanya juga anak kecil." Alfin tertawa lalu berjongkok didepan mereka berdua.
"Cilo sama Cila suka permen ga?"
Kembar itu kembali mengangguk. Alfin kemudian merogoh saku jaketnya tempat dia suka menaruh permen. Biasanya dia menghisap permen sambil mengendarai motor.
"Makasih, kakak."
"Aku pulang dulu ya, kak." Kata Alfin pamit.
"Iya. Makasih banyak, ya."
Alfin hanya tersenyum lalu pergi dari komplek rumah Hanny.
Hanny memandangi motor cowok itu sampai hilang dari pandangan matanya.
"Kakak suka, ya?" Tanya Cilo.
"Aduh. Apaan sih Cilo. Kebanyakan nonton sinetron nih, kamu."
Hanny menggamit kedua adik kembarnya masuk kedalam rumah.
"Mama, kak Hanny punya pacar baru." Kata Cila pada mama mereka yang baru keluar dari dapur.
"Cila."
***
Hari itu, Harry dan keempat temannya kembali lagi ke kafe tempat mereka kencan buta sebelumnya untuk melanjutkan pertemuan sesi kedua bersama kelima gadis dari SMA Tunas Bangsa. Kali ini mereka bertemu langsung dengan Defina yang disebut-sebut sebagai mak comblang level dewa itu. Gadis berperawakan gempal dan berambut pendek itu benar-benar berada diluar bayangan yang selama ini dipikirkan oleh teman-temannya Harry. Mereka pikir kalau kak Defina itu bertubuh semampai dan cantik jelita.
Kak Defina menjelaskan rule pertemuan kedua dengan singkat.
"Jadi di pertemuan kedua ini, kalian akan diberikan waktu masing-masing 15 menit untuk mengobrol berdua saja. Setiap 15 menit selesai, kalian akan bertukar pasangan."
Harry melirik Marlene yang duduk diujung meja yang tampak terus menunduk.
"Gue punya kesempatan buat bicara langsung sama dia." Batinnya. "Gue harus manfaatin kesempatan ini dengan baik buat minta maaf."
"Disini, kalian akan duduk berdua-berdua, dan diberikan jarak antara satu dengan yang lainnya supaya bisa ngobrol dengan nyaman. Nanti kalau sudah 15 menit, akan dilakukan rolling. Sudah paham?"
Mereka semua mengangguk mengerti. Marlene mengutuk dalam hati, ini artinya mau tidak mau dia akan berhadapan secara langsung dengan Harry.
Harry hanya menjawab sekenanya setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh cewek-cewek teman sekolah Marlene, dia benar-benar merasa tidak nyaman dengan acara ini, dia tetap mengikuti acara ini hanya karena dia berkesempatan untuk bertemu lagi dengan Marlene, mantan pacarnya di SMP. Dia berniat untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka 4 tahun yang lalu. Dan akhirnya di 15 menit terakhir yang tersisa, mereka bisa duduk berhadapan satu sama lain.
Marlene menunduk dan meremas-remas tangannya, perasaannya benar-benar tidak karuan. Harry duduk dihadapannya dan benar-benar menatapnya dengan tajam.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Harry membuka percakapan diantara mereka berdua.
Hari sudah senja, matahari berwarna keemasan menyinari jendela kafe dan membuat suasana kafe begitu hangat. Tapi meskipun didukung dengan suasana yang begitu hangat dan nyaman, suasana yang terbangun diantara Harry dan Marlene benar-benar berbeda.
"Buruk." Sahut Marlene. Dia merasa kesal dengan keadaan ini.
Harry tersenyum masam. "Kamu tidak berubah, masih tetap judes seperti pertama kita bertemu."
Marlene mengangkat wajahnya dan menatap Harry yang masih memandanginya. "Aku tidak bersikap baik pada semua orang. Aku hanya judes pada orang aku benci."
"Apa itu artinya kamu membenci aku?"
Marlene bersedekap dan mengerutkan keningnya. "Memangnya kamu pikir aku tidak membencimu setelah apa yang terjadi?"
Wajah Harry berubah muram mendengar Marlene bicara demikian. Sepertinya akan sangat sulit untuk mendapat maaf darinya.
"Itu adalah salah paham. Yang terjadi waktu itu benar-benar berbeda dengan yang kamu pikirkan."
"Kalau begitu kenapa kamu tidak datang menjelaskan padaku?"
"A...aku terlalu takut untuk menemuimu waktu itu."
Marlene tersenyum kecut. "Tidak kusangka kamu benar-benar pengecut. Setelah mengatakan hal itu, kamu menghindari aku dan tidak menjelaskan apapun."
"Aku memang pengecut. Mau maki akupun silakan, aku memang pantas mendapatkannya."
"Memakimu pun percuma. Hal itu sudah lama berlalu, yang aku inginkan sekarang adalah kamu pergi menjauh dariku. Jangan muncul-muncul lagi dihadapanku. Kalau bertemu di jalanpun, pura-puralah tidak kenal karena aku juga akan melakukannya."
Harry terperangah mendengar penuturan Marlene. Hatinya terasa sakit mendengar gadis itu mengatakan hal tersebut.
"Ternyata kamu begitu membenci aku rupanya."
"Baru sadar sekarang? Memangnya aku baik-baik saja dengan hal yang terjadi dulu. Kamu pikir butuh berapa lama bagiku untuk bisa berpacaran lagi? Sekarang setelah aku bisa membuka diri lagi, kau malah muncul didepanku dan ikut acara ini."
"Jadi benar kalau kau ikut acara ini untuk mencari pacar?"
"Kau ini bodoh ya?"
Rasa kesal mendera Harry setelah mendengar Marlene mengatainya bodoh.
Dia lalu mendengus dan menatap Marlene dengan pandangan mengejek.
"Tidak kusangka, karena sudah tidak laku kamu sampai ikut acara bodoh seperti ini."
Marlene melotot. "Apa maksudmu?"
"Sudah jelas kan. Kamu tidak bisa lagi mendapatkan pacar karena tidak laku sampai-sampai ikut kencan buta."
"Oh my God, tahan mulutmu, Har." Batin Harry.
Marlene berdiri dan dengan penuh amarah dia menyiramkan air yang ada dihadapannya ke wajah Harry.
Melihat hal tersebut, yang lain terkejut dan menghampiri meja mereka berdua. Seragam sekolah Harry basah begitu pula rambut dan wajahnya. Sementara Marlene bergegas pergi dari kafe tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Marlene. Hei," Fita mengejar Marlene keluar sementara yang lain masih berada di dalam kafe dan menatap Harry penuh tanya.
"Apa yang terjadi?"
Harry hanya tertawa hambar lalu mengambil tasnya dan pergi.
***
Marlene duduk termenung memandangi gantungan kunci berbentuk bintang yang dia keluarkan dari dalam kotak kecil berisi benda-benda penuh kenangan miliknya.
Penyesalan menghinggapinya setelah dia menyiram Harry dengan air. Tidak seharusnya dia melakukan hal tersebut. Harusnya dia bisa menahan dirinya, tapi kata-kata Harry terasa seperti penghinaan baginya dan dia kesal sekali.
Dia kembali memandangi gantungan kunci bintang dan berusaha mengingat-ingat kenangan apa yang dimilikinya dari benda kecil tersebut. Pikirannya melayang ke masa 4 tahun lalu, dimasa SMP, dimana dia pernah jatuh cinta pada Harry.