Chereads / Dear Kamu / Chapter 17 - Chapter 16

Chapter 17 - Chapter 16

Menjelang siang, Martha datang kerumah Hanny dengan memakai pakaian terbaiknya. Dia juga menenteng sebungkus kado yang diberi pita pemanis. Sementara itu, Hanny sedang bersiap-siap untuk pergi karena dia janjian dengan Alfin untuk nonton. Hanny senang sekali mengingat kemarin dia tidak jadi pergi bersama menonton pertandingan basket kakaknya.

"Selamat siang," sapa Martha sambil mengetuk pintu rumah Hanny.

"Siapa?" papa membuka pintu dan terkejut dengan penampilan Martha yang terlihat seperti orang mau kondangan.

"Eh, Martha?" tanya papa memastikan.

"Om." pekik Martha girang. Dia senang melihat papa Hanny, karena papa Hanny adalah satu-satunya orang dirumah ini yang mendukungnya mengejar cinta Harry. "Kapan pulang, om?"

"Kemarin. Ada apa nih pagi-pagi udah bertamu kerumah orang? Mau ajak Hanny kondangan?" tanya papa.

Martha terkikik. "Kondangan kemana, om? Saya kan masih SMA."

"Loh, setau om, baju kayak gini tuh dipakenya buat kondangan." papa nyengir. Sindiran yang begitu halus, tapi karena Martha tipe orang yang tidak peka, dia hanya cengar cengir saja, dia pikir papa Hanny sedang memuji penampilannya.

Mereka sudah masuk keruang tengah. Papa menyuruh Martha untuk menunggu disana.

"Jadi, nyari Hanny apa Harry?" goda papa. Martha tersenyum malu. "Sebenernya sih maunya kak Harry. Tapi aneh dong, kan yang temen aku itu Hanny."

Papa tertawa. Setiap melihat Martha yang berusaha sangat keras mengejar-ngejar putranya itu, dia jadi teringat masa mudanya sewaktu susah payah mengejar cinta istrinya yang galak dan judes.

"Kamu tunggu disini biar om panggil Hanny dikamarnya." Martha hanya mengangguk dan memperhatikan papa Hanny yang kemudian naik kelantai atas.

Tidak lama Hanny turun dari lantai atas karena papa memberitahu kalau Martha datang berkunjung. Hanny kesal karena gadis itu tidak memberi kabar terlebih dulu padanya.

"Kok lo kesini ga bilang-bilang dulu, sih?" tanya Hanny.

"Ya elah, biasanya juga gue langsung datang aja tuh."

"Iya, tapi hari ini beda. Gue mau pergi sama Alfin."

"Ha? Kemaren lo ga bilang apa-apa tuh."

"Iya, Alfin ngajaknya semalem. Jadi, ada urusan apa lo pagi-pagi gini udah sampe dirumah gue?" Hanny bersedekap.

"Tuh, kan udah punya pacar aja gue dilupain." Martha merajuk. Hanny memutar bola matanya, sahabatnya ini benar-benar menjengkelkan, dia ga nyadar apa kalau dia juga suka melupakan Hanny dan sering tiba-tiba membatalkan janji kalau diajak kencan dadakan oleh pacar-pacarnya terdahulu.

"Kenapa lo ga pergi aja sama Rudi?"

"Ish, gue tuh sengaja meluangkan waktu buat kerumah lo hari ini karena mau kasih kado buat kak Harry." kata Martha, membuat Hanny mengerutkan keningnya.

"Emang dia ultah hari ini?"

"Ih, ini tuh kado karena dia udah berhasil lolos semifinal turnamen." kata Martha. Kado itu adalah kado dadakan yang terpikirkan begitu saja saat dia diajak oleh mama pergi ke mall semalam. Dia pikir, dia harus memberikan kado untuk menyemangati Harry, siapa tahu perasaan cowok itu akan luluh.

Hanny tertawa mendengar alasan Martha datang sepagi ini kerumahnya. "Jadi ini sogokan supaya kak Harry suka sama lo?"

"Bukanlah. Tapi kalo setelah ini dia jadi suka sama gue sih, gue tentu ga nolak."

Hanny terbahak lagi. ""Sayang sekali, kak Harry udah pergi dari pagi, tuh."

Martha menatapnya tidak percaya karena biasanya Harry adalah anak rumahan yang menghabiskan weekendnya dirumah aja. Dia kemudian menatap papa Hanny yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Om, kak Harry kemana?"

"Udah pergi dari pagi, diajak ke taman bermain sama Grace."

Martha melongo. "Grace? Itu siapa?"

Hanny dan papa saling berpandangan. Hanny angkat bahu. "Ga tau, mungkin kenalan barunya diacara kencan buta."

Mendengar itu, wajah Martha langsung cemberut dan tak lama gadis itu menangis. Papa dan Hanny kaget melihat Martha yang menangis sambil menyebut-nyebut Harry tega karena memilih cewek lain yang baru dikenalnya dikencan buta ketimbang dengannya yang sudah dikenalnya 2 tahun. Dia juga sedih kenapa Harry tidak menghargai usahanya.

Hanny menepuk jidatnya, sementara papa hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Martha, dia tahu kalau Martha sesuka itu pada Harry, tapi kalau Harry tidak menyukainya mau berusaha seperti apapun hanya akan percuma.

Tin... tin... terdengar suara klakson motor didepan rumahnya, mendengar itu Hanny segera keluar untuk melihat, jangan-jangan itu Alfin, dan ternyata memang benar itu adalah Alfin. Hanny memintanya untuk masuk dulu kedalam dan menunggu sebentar karena dia harus menenangkan Martha dulu yang masih menangis.

Alfin terlihat heran melihat Martha yang sedang menangis diruang tengah dan sedang dibujuk oleh Hanny. Papa Hanny muncul dan menyapa Alfin yang sedang menunggu diruang tamu.

"Kamu pacar Hanny?" tanya papa setelah mereka duduk berhadap-hadapan. Alfin mengangguk dengan canggung. Jika berhadapan seperti ini, Alfin jadi bingung mau bicara apa.

Papa tersenyum. "Ga usah tegang. Saya ga menggigit. Saya dengar kalian mau nonton? Pulangnya jangan terlalu sore, ya."

Alfin tersenyum rikuh. "Iya om."

Hanny kemudian datang keruang tamu dengan wajah minta maaf. "Al, kayaknya aku ga bisa nonton sama kamu. Martha merengek mau ke taman bermain nyusul kak Harry."

Papa dan Alfin hanya bisa melongo mendengarnya.

***

"Dok, kami dengar, dokter dan dokter Reva pacaran, ya?" tanya suster Fitri. Saat itu Hendra sedang berada di meja administrasi untuk melihat beberapa berkas pasiennya. Suster yang lain menatapnya dengan pandangan ingin tahu.

Hendra berpikir sejenak. "Kalian dengar fakta itu darimana?"

"Wah, jadi benar ya, dok?" teriak mereka girang. "Kami ikut senang loh dengernya. Dokter dan dokter Reva'kan cocok sekali."

Hendra tertawa. "Makasih loh. Karena udah ngasih selamat, tunggu aja ya pizzanya nanti siang." cowok itu lalu mengerlingkan matanya dan berbalik hendak kembali keruangannya meninggalkan suster-suster yang berteriak kegirangan.

Matanya kini bersirobok dengan Selina yang berdiri berdampingan dengan manajernya, Ayu. Gadis itu tidak lagi mengenakan pakaian rumah sakit, melainkan pakaian kasual dengan kemeja dan jins yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sempurna sebagai model. Dia bisa mendengar semua percakapan antara dokter Hendra dan para suster. Dugaannya terbukti benar. Dokter Hendra memang menyukai dokter Reva.

"Oh. Hai. Kamu mau kemana?" sapa Hendra.

"Tentu saja pulang." jawab gadis itu.

Hendra tersenyum, "Syukurlah kalau sudah sehat. Jangan sakit lagi, ya."

Deg...

Jantung Selina berdegup kencang mendengar Hendra berkata demikian sambil tersenyum hangat padanya. Hendra sendiri sudah berlalu kembali keruangannya meninggalkan Selina dengan debaran dijantungnya yang tidak kunjung berhenti.

***

"Lo yakin kita mau ke taman bermain? Pulang aja, deh." kata Hanny. Martha kini duduk disebelahnya ditaksi yang melaju dengan kecepatan maksimal. Alfin yang duduk dikursi depan hanya bisa mendengarkan sambil memperhatikan jalanan. Rencananya untuk mengajak Hanny nonton dan bicara tentang hubungan mereka rusak sudah. Dia harus mencari waktu lagi untuk bicara pada Hanny tentang surat cintanya waktu itu.

"Gue harus kesana dan memastikan sendiri." kata Martha keras kepala.

"Iya, tapi kalo lo ketahuan sengaja nyusul dia ke taman bermain dan ganggu acara dia, lo bisa dibenci sama dia selamanya. Lo mau itu terjadi?"

Martha termenung sejenak. "Lo tenang aja. Kita liatin dari jauh aja, oke. Gue cuma mau tahu kayak gimana cewek yang deket sama kak Harry."

"Aduh, lo keras kepala banget, sih?" kata Hanny dongkol.

"Ini demi cinta gue sekali seumur hidup, Han."

"Bukannya cinta lo udah dibagi-bagi ke banyak cowok ya yang pernah jadi pacar lo?"

"Lo tenang aja, stok cinta gue banyak kok kalo buat kak Harry." jawab Martha membuat Hanny mual mendengarnya. Hanny tahu kenapa Harry sangat tidak nyaman berdekatan dengan Martha, sifat keras kepala dan pemaksa serta lebaynya memang bisa membuat siapapun merasa kesal bila berada dekat Martha. Sepertinya hanya Hanny yang sanggup berada didekat Martha, serta Rudi yang sekarang pacaran dengannya, karena sekarang cowok itu memegang rekor menjadi pacar terlama Martha dan rekor itu masih akan terus bertambah selama mereka belum putus.

***

Sementara itu ditaman bermain, Harry baru saja selesai naik jet coaster dan sedang bicara pada Ricky untuk memutuskan naik wahana apa selanjutnya. Dibelakangnya, Marlene dan Grace berjalan mengikuti mereka. Baik Harry dan Marlene sama sekali belum bicara sejak masuk kedalam taman bermain, membuat suasana diantara mereka berempat begitu canggung.

"Hei, sudah siang, mau makan siang dulu, ga?" tanya Ricky. Dia bertanya pada yang lain dan hanya dibalas anggukan. Mereka lalu pergi ke area food court dan memesan makanan.

"Tim basket sekolah Harry ini hebat loh, kak. Mereka berhasil lolos semifinal turnamen. Sabtu depan pertandingannya sekaligus final." kata Grace.

"Oh ya, hebat. Setelah lulus SMA lo mau lanjut kemana, Har?" tanya Ricky.

Marlene cuma diam tapi dia mendengarkan baik-baik obrolan didepannya ini. Meski bersikap tidak peduli tapi dia penasaran tentang universitas yang akan jadi tujuan pendidikan Harry selanjutnya.

"Gue mau ke UGM, kak. Mau ambil jurusan arsitektur."

Marlene mengalihkan pandangan dari nasi gorengnya dan menatap Harry. Terkenal akan kepintarannya sejak SMP, cowok itu sekarang masuk salah satu SMA favorit, dan dia bahkan sudah memutuskan akan masuk universitas mana. Mereka sungguh berbeda. Marlene yang agak kesusahan dalam hal pelajaran bahkan belum memikirkan mau kuliah kemana karena masih ada waktu beberapa bulan lagi sampai ujian akhir dilakukan.

"Ah, tapi gue ga tau bakal keterima apa kaga. Itu cuma rencana." Harry terkekeh.

"Tapi seengganya lo punya rencana buat masa depan lo." kata Ricky.

"Iya, lo'kan pinter. Lo pasti bisa masuk kesana." kata Grace menimpali.

Harry mengangguk-angguk. Makan siang mereka berlanjut dengan Ricky yang menceritakan tentang kehidupan kuliahnya yang sibuk dengan banyaknya tugas dan proyek.

***

Grace melirik Marlene yang wajahnya berubah pias. Kini mereka sedang berdiri didepan wahana rumah hantu. Marlene selalu heran, kenapa ada saja orang yang mau masuk kedalamnya.

"Gue ga mau masuk." kata Marlene.

Harry ikut melirik Marlene, dia serasa sedang berada dimasa lalu saat ini. Semua hal yang terjadi hari ini seolah dia kembali ke masa 4 tahun lalu. Tempat yang sama, orang yang sama, hanya bedanya dulu Steven yang menemani Grace, kali ini Ricky, lalu kata-kata yang sama. Semuanya hampir sama, tapi bedanya adalah, kini antara dia dan Marlene ada jurang yang tidak terlihat dan mereka hanya dua orang asing yang tidak ada hubungan apa-apa.

"Yaudah kalo gitu gue sama kak Ricky masuk, ya. Lo ga mau masuk, Har?" tanya Grace.

"Lo tega ninggalin gue diluar sendirian?" tanya Marlene pada Grace.

"Kita ga akan lama, kok." kata Grace.

"Lo ga mau masuk Har?" tanya Ricky yang sudah mengantre bersama Grace.

"Ga, gue disini aja." kata Harry. Marlene tersentak. Cowok yang berdiri dengan jarak 2 meter disampingnya itu menolak masuk, apa itu artinya mereka akan bicara sekarang? Tapi, hatinya belum siap. Marlene melirik jam tangannya, sudah jam 3 sore. Ah, sudah jam segini dan mereka belum bicara apapun sejak tadi karena Marlene banyak menghindar dari Harry yang sejak tadi berusaha untuk mengajaknya bicara.

Marlene melihat Grace dan Ricky yang sudah masuk kedalam rumah hantu, dan Harry yang kini menoleh kearahnya.

"Lin." panggil Harry.

"Ga, gue belum siap." Marlene memejamkan matanya. Dia lalu memutuskan untuk berlari kearah rumah hantu dan masuk kedalam antrian.

"Ah, hey." cegah Harry, tapi percuma, Marlene tidak mendengarnya dan menghilang didalam wahana. Harry mengacak-acak rambutnya. Dia lalu memilih untuk menunggu mereka semua keluar dari dalam wahana.

10 menit kemudian, Grace keluar dari dalam wahana bersama Ricky sambil tertawa. Mereka membicarakan tentang betapa tidak menyeramkannya rumah hantu itu. "Mereka ga seram, ya. Hantunya itu-itu aja," kata Grace. Ricky mengangguk mengiyakan.

Harry menghampiri mereka berdua dengan wajah cemas. "Kalian ga ketemu Marlene?"

Grace dan Ricky menggeleng.

"Memangnya dia kemana?" tanya Grace.

"Dia lari kedalam rumah hantu gak lama dari kalian masuk. Dia pasti ketakutan didalam." Harry tidak bisa menyembunyikan rasa cemas dalam suaranya.

"Sebaiknya kita tunggu sebentar lagi," kata Grace menenangkan. Harry mengangguk. Tapi, 5 menit telah berlalu, Marlene tidak kunjung muncul. Harry semakin cemas, dia tahu bagaimana gadis itu begitu takut pada hantu. Dia lalu memandang Grace dan Ricky.

"Kalian tunggu disini. Gue akan nyusul dia kedalam." tanpa bisa dicegah, Harry langsung masuk kedalam rumah hantu.

"Yaudah kita tunggu mereka," kata Ricky.

Grace tersenyum. "Eh, kak. Gimana kalau kita pergi naik wahana lain?"

"Loh, lalu mereka gimana?"

"Mereka akan baik-baik aja, kak. Yuk." Grace menarik Ricky menjauh dari wahana rumah hantu.

Harry berlari didalam rumah hantu, karena terlalu cemas dengan Marlene, dia tidak mempedulikan hantu-hantu bohongan yang sekarang berusaha menakutinya. Harry menyalakan senter handphonenya dan terus memasang matanya agar dia bisa melihat sosok Marlene didalam kegelapan itu.

Dan disanalah Marlene, berada tidak jauh dari pintu masuk, Marlene sedang berjongkok sambil menelungkupkan kepalanya dengan tubuh gemetar. Keputusan yang dia sesali untuk masuk kedalam rumah hantu, karena sekarang dia tidak punya tenaga sama sekali untuk berjalan. Kakinya terlalu lemas saking takutnya. Dia sedang berpikir bagaimana dia akan keluar sekarang.

Harry menghela napas lega, dia lalu berjongkok, "Lin?" panggilnya pelan. Marlene mendongak dan melihat Harry yang kini memandangnya dengan wajah lega sekaligus khawatir. Marlene mulai menangis, ada kelegaan luar biasa saat dia melihat wajah Harry sekarang. Harry dengan kikuk mencari saputangannya dan memberikannya pada Marlene. Marlene cuma bisa menerimanya tanpa melontarkan protes seperti yang biasa dia lakukan. Dia malu sekali karena menangis didepan Harry, tapi mau bagaimana lagi, entah kenapa dia senang melihat Harry sekarang. Cowok itu juga masih mau mempedulikannya, tidak peduli bagaimana Marlene mengacuhkannya sejak tadi.

"Bisa jalan, ga?" tanya Harry. Marlene menggeleng.

"Kaki gue lemas."

Harry lalu berubah posisi dan meminta Marlene untuk naik ke punggungnya. "Ayo naik. Kita keluar dari sini."

Wajah Marlene memerah meskipun tidak terlihat karena tempat inj begitu gelap.

Dengan ragu-ragu, dia naik ke punggung Harry yang kini sudah lebih bidang dan kuat ketimbang dulu. Ah, cowok itu telah banyak berubah. Harry tertegun saat mulai menggendong Marlene, tubuhnya masih enteng dan kurus seperti dulu, batinnya.

Sepanjang perjalanan keluar dari rumah hantu, mereka tidak saling berbicara, hanya degup jantung mereka berdua yang terdengar. Mereka berdua sama-sama merasa gugup.

Martha berlari kedepan wahana rumah hantu diikuti Hanny dan Alfin yang keringatan karena sejak sampai ditaman bermain, ini adalah wahana ke 10 yang mereka datangi setelah mengikuti Martha berkeliling taman bermain untuk mencari Harry dari satu wahana ke wahana lainnya.

"Aduh, gue capek. Istirahat dulu, kek." Hanny mengeluh dan memilih duduk dibangku taman depan rumah hantu.

Sambil mengipas-ngipas wajahnya yang kegerahan, Hanny menoleh dan wajahnya terlihat sumringah. "Eh, rumah hantu, nih. Kita masuk yuk." ajak Hanny pada Alfin, Alfin hanya mengangguk. Dia juga sebenarnya merasa lelah, tapi dia merasa tidak enak pada Martha.

"Hei, tujuan kita kesini tuh buat nyari kak Harry, bukan buat main-main."

"Aduh, mau cari kemana lagi sih? Semua tempat udah kita datangin. Gue capek tau ga. Lo cari sendiri aja sana. Gue mau naik wahana. Ke taman bermain cuma buat cari kak Harry, benar-benar membuang-buang uang dan tenaga." sahut Hanny judes. Dia kesal sekali pada Martha.

"Yaudah kalo udah ga mau bantu. Gue menyesal udah ngajak lo kesini," balas Martha tidak mau kalah.

Hanny mendengus, dia lalu menarik Alfin untuk masuk kerumah hantu. "Udah yuk, kita pergi aja. Capek ngomong sama orang keras kepala kayak dia."

"Eh, tapi...," Alfin menatap Hanny dan Martha yang kini bertengkar. Dia hanya bisa mengikuti Hanny yang kemudian masuk kedalam rumah hantu meninggalkan Martha yang menangis sendirian karena kesal. Sudah sejauh ini, apa dia harus menyerah?