Harry dan Marlene sudah berada diluar rumah hantu sekarang, cowok itu meminta Marlene untuk menunggu sebentar dibangku taman karena dia mau membeli air mineral untuk gadis itu. Marlene yang masih merasa lemas hanya mengangguk. Sepeninggal Harry, Marlene memegang dadanya yang masih belum berhenti berdegup kencang. Dia memegang wajahnya yang terasa panas. Ternyata 4 tahun tidak cukup untuk menghapus perasaannya pada Harry. Karena walau dia bilang dia benci pada cowok itu, tapi diperlakukan semanis itu membuat hatinya goyah seketika. Tapi, dia tidak mau berharap, bisa jadi perlakuan manis Harry hanya karena rasa bersalah cowok itu padanya.
Martha menghapus air matanya dan mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Hanny dan Alfin sudah masuk kedalam rumah hantu dan kini dia sendirian. Martha berpikir untuk pulang saja ketika matanya menangkap sosok Harry yang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng air mineral, perlahan Martha mengikuti Harry kearah belakang wahana rumah hantu dimana pintu keluar berada. Dan kini dari tempatnya berdiri, Martha bisa melihat Harry yang sedang memberikan air mineral itu pada seorang gadis yang sedang duduk dibangku taman.
Wajah Harry begitu lembut saat menatap gadis itu, sesuatu yang tidak pernah dilihat Martha sebelumnya. Siapa gadis itu? Apa dia yang bernama Grace? Martha begitu penasaran. Gadis itu begitu cantik, bahkan Martha saja merasa tidak ada apa-apanya dibanding gadis itu. Pantas saja Martha tidak dilirik sedikitpun oleh Harry, ternyata gadis seperti itulah yang cowok itu suka.
Mereka terlihat membicarakan sesuatu dan kemudian pergi. Harry membantu Marlene berdiri karena kaki gadis itu masih sedikit lemas, tapi kemudian Marlene melepaskan pegangan tangan Harry dan memilih untuk jalan sendiri. Martha mengerutkan keningnya. Apa itu? Apa kak Harry bertepuk sebelah tangan dengan gadis itu? Apakah ini artinya dia masih punya kesempatan?
Hanny dan Alfin keluar dari rumah hantu tak lama berselang, Hanny bisa melihat Martha yang kini berdiri didekat bangku taman sambil matanya menatap kearah Harry dan Marlene pergi. Hanny ikut melihat arah pandangan Martha dan dia melihat kakaknya bersama seorang gadis yang tampak begitu familiar baginya.
"Kalo ga salah, dia'kan...," batin Hanny.
"Gimana rumah hantunya? Seru?" tanya Martha sambil menghampiri Hanny dan Alfin.
"Biasa aja." sahut Hanny. Tidak seketus tadi tapi Hanny masih kesal pada Martha.
"Yuk, kita ikutin kak Harry." kata Martha lagi. Hanny menghela napas. Apa boleh buat, sejak awal dia sudah berjanji akan menemani sahabatnya itu membuntuti Harry, jadi Hanny hanya bisa mengangguk dan kembali mengikuti Martha mengikuti Harry yang kini sedang berada di tempat penjual pernak pernik. Marlene melihat-lihat tempat penjual cincin dari titanium, dia tertegun sejenak. Semua hal yang terjadi hari ini membuatnya deja vu. Dulu'pun, dia pernah mengalami hal yang sama saat pergi ketaman bermain bersama Harry, Grace dan kakaknya.
Harry melihat-lihat penjual gantungan kunci. Sebuah gantungan kunci berbentuk bulan yang lucu menarik perhatiannya, dia lalu membelinya, walaupun dia tidak tahu akan diberikan pada siapa.
Dari tempat pernak pernik itu mereka bisa melihat bianglala, Harry menatap wahana itu lalu melirik Marlene yang juga sedang menatap wahana yang sama.
"Kamu mau naik bianglala bersamaku?" tanya Harry lirih. Terdengar seperti sebuah permohonan. Marlene berpikir sejenak lalu mengangguk. Mungkin ini sudah saatnya mereka saling bicara. Harry tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya, dia tersenyum lalu mereka berjalan kearah bianglala bersama.
Hanny tertegun. Apa dia tidak salah lihat? Apa itu Harry yang sama dengan yang dikenalnya selama ini? Ternyata dia tidak sepenuhnya mengenal kakaknya. Dia bahkan tidak tahu kalau Harry bisa bertingkah semanis ini didepan seorang gadis. Pastilah gadis itu adalah gadis yang istimewa karena bisa membuat cowok seperti Harry begitu takluk.
"Dia yang namanya Grace," kata Martha, Hanny berpikir, rasanya ada yang salah. Gadis itu begitu familiar dan sepertinya namanya bukan Grace. "Dia cantik banget, ya? Gue sih ga ada apa-apanya," kata Martha lagi terdengar lirih dan putus asa.
Hanny menepuk pundak Martha. Alfin tercenung. Dia sedang berpikir kira-kira apa yang akan terjadi pada Hanny jika saat ini dia berkata jujur soal surat cintanya yang salah orang. Harusnya surat itu untuk Hanny, kakak kelasnya, bukan Hanny yang sekarang menjadi pacarnya. Apa Hanny juga akan merasa tidak percaya diri jika tahu seperti apa Hanny yang selama ini diam-diam disukai oleh Alfin. Memikirkan hal itu, timbul rasa bersalah dalam diri Alfin, dia memutuskan untuk menunda pembicaraannya dengan Hanny dan akan berusaha membuat kenangan indah untuk gadis itu sebelum nantinya dia harus berkata yang sebenarnya tentang surat itu.
***
Bianglala yang dinaiki Harry dan Marlene mulai naik dengan perlahan. Mereka duduk berhadapan, Marlene menatap keluar jendela bianglala dan tidak mengatakan apapun. Sementara Harry, dia bingung harus mulai bicara darimana karena tiba-tiba saja dia terserang rasa gugup yang luar biasa.
"Ayolah, Har. Lo harus ngomong sekarang atau ga bakal ada kesempatan lagi buat lo bisa ngomong sama Marlene." batin Harry. Dia menelan ludah dan menatap Marlene yang masih fokus memandang kejauhan dari atas bianglala.
"Ini pertama kalinya aku datang kesini lagi setelah 4 tahun berlalu, pertama kalinya aku kesini bersama pacarku, kakaknya serta sahabatnya." Marlene mendengarkan baik-baik ucapan Harry karena dia tahu kisah yang sedang diceritakan oleh cowok itu. Dia tidak menjawab dan tetap melihat keluar jendela.
"Kami naik banyak wahana permainan. Tapi pacarku itu ga pernah mau masuk kerumah hantu karena dia takut sama hantu. Dia orang yang sangat judes dan galak, tapi dia bisa setakut itu pada hantu, padahal itu hantu bohongan." Harry tertawa kecil saat mengingat kejadian 4 tahun lalu.
"Dulu sekali, sebelum aku pacaran sama dia, aku ga suka padanya karena dia begitu judes dan dia adalah cewek paling menjengkelkan yang pernah aku kenal. Dia berbanding terbalik dengan sahabatnya yang baik dan lembut, itulah sebabnya aku menyukai sahabatnya. Hari itu, harusnya aku menyatakan perasaanku pada sahabatnya, tapi aku gagal menyatakan perasaanku pada sahabatnya yang kemudian pacaran dengan kakaknya."
Marlene terlihat menunduk dan menangis dalam diam. Semua yang dikatakan Harry barusan benar-benar menghantamnya.
"Aku melakukan kesalahan tolol dengan mengajaknya berpacaran tanpa perasaan apapun padanya saat itu. Harusnya aku tidak pernah mengajaknya pacaran saat itu, karena hal yang aku lakukan selanjutnya adalah menyakiti dia dengan kebohongan aku." Harry menatap Marlene yang kini semakin terisak.
Harry terdiam sejenak. Dia membiarkan Marlene yang masih belum berhenti menangis. "Sudah 4 tahun Marlene, terima saja kenyataan kalau Harry memang tidak menyukaimu. Dengarkan saja apa yang mau dikatakan Harry, baru setelah itu move on." bisik Marlene dalam hati.
"Aku... aku benar-benar menyesal karena sudah melukai perasaan kamu, Lin. Meski terlambat, tapi aku benar-benar minta maaf. Maaf karena butuh waktu lama untuk mengakui kesalahanku. Aku menyesal sudah menjadikan kamu pelarian."
Harry mendekati Marlene yang masih menangis terisak. "Tapi, aku tidak pernah menyesal karena kamu udah jadi pacar aku."
Marlene setengah terisak mendongak menatap Harry dengan wajah yang sembab. "Apa maksudnya?"
"Kamu tahu? Aku pernah mencintai kamu bahkan sampai sekarang-pun masih."
Deg...
Marlene berhenti menangis saat mendengar kata-kata Harry barusan. Dia berusaha menghapus jejak air matanya dengan saputangan Harry, tepat saat itu bianglala berhenti dan sudah waktunya mereka untuk turun.
Marlene turun dengan tergesa meninggalkan Harry yang segera menyusulnya. Grace dan Ricky memperhatikan mereka dari kejauhan, tidak jauh dari tempat mereka, berdiri Hanny, Martha dan Alfin yang juga memperhatikan Harry dan Marlene.
"Grace, apa kita perlu nyusul mereka?" tanya Ricky.
Grace menggeleng. "Jangan kak. Biarkan Harry dan Marlene menyelesaikan masalah mereka. Ah, akhirnya aku sudah menepati janjiku pada kak Steven." wajah Grace berubah sendu saat menyebut nama Steven. Hingga detik ini, Grace masih belum bisa merelakan Steven yang tiba-tiba saja pergi dalam hidupnya.
Hanny bisa mendengar nama kakaknya disebut-sebut dari 2 orang yang berdiri tidak jauh dari mereka. Marlene, benar itu adalah nama cewek yang sejak tadi bersama kakaknya. Dan Grace yang disebut papa ternyata adalah cewek yang berbeda. Dia lalu memperhatikan Harry yang kini sedang memegang tangan Marlene. Marlene adalah nama pacar pertama kakaknya. Jadi, kakaknya itu masih belum move on dari mantannya? Kalau dipikir-pikir, dulu saat awal-awal putus dengan pacarnya, Harry sering terlihat muram.
Martha menggigit bibirnya, dia juga bisa mendengar percakapan dari Grace dan Ricky. Jadi nama cewek itu adalah Marlene, bukan Grace. Dan kini dia bisa melihat Harry yang sedang berbicara dengan pandangan lembut pada Marlene. Hatinya terasa perih sekali melihatnya.
"Han, gue mau pulang aja." kata Martha.
"Hah? Eh, tunggu dong." kata Hanny yang segera mengikuti Martha bersama Alfin.
"Lin, tunggu." Harry menangkap tangan Marlene.
Marlene berdiri membelakangi Harry, wajahnya terasa panas dan memerah, apa dia tidak salah dengar? Barusan Harry bilang kalau dia cinta padanya'kan?
"Aku belum selesai bicara."
Marlene menoleh dengan wajah galak, "Mau ngomong apa lagi?"
Harry tersenyum. "Kamu mau jadi pacar aku lagi?"
Marlene terkesiap. Dia tidak menyangka kalau Harry akan kembali mengajaknya berpacaran, jantungnya berdegup kencang.
"A... Aku...,"
"Aku tahu kamu butuh waktu. Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang."
Harry lalu mengajaknya untuk kumpul lagi dengan Grace dan Ricky yang menunggu mereka tidak jauh dari bianglala. Ketika Marlene memegang kemejanya.
"Lo ga mau denger jawaban gue sekarang?"
Harry menoleh. Dia sebenarnya belum siap mendengar jawaban dari Marlene, tapi kalau tidak segera dijawab pun dia tidak akan bisa tidur nanti malam.
"Lalu apa jawabanmu?" tanya Harry.
Marlene meremas-remas ujung bajunya. "A... aku... mau...." Kali ini Marlene memberanikan menatap Harry dengan wajahnya yang semerah tomat, begitu juga Harry. Marlene terlihat gugup dan Harry merasa gemas sekali melihatnya.
"Cepat katakan sesuatu. Jangan diam saja." kata Marlene salah tingkah.
Harry tertawa. "Kamu menggemaskan sekali." Dia lalu memeluk Marlene. "Aku senang mendengarnya." bisik Harry ditelinga Marlene membuat Marlene semakin gugup.
"Ah, hei lepasin. Kita diliatin orang-orang." kata Marlene. Dia merasa malu karena beberapa orang berbisik-bisik sambil tersenyum pada mereka.
"Biarkan saja. Mereka ga tau kalau saat ini aku lagi bahagia."
Marlene tersenyum. Dia lalu membalas pelukan Harry dengan erat. Ini kenyataan'kan? Dia tidak sedang bermimpi bukan? Ah, bodo amat, yang penting sekarang dia sedang bahagia sekali.
Grace tersenyum melihat Harry dan Marlene yang sedang berpelukan erat. Hatinya ikut bahagia melihat mereka berdua. Dia juga bisa merasa kalau Steven sedang ikut tersenyum dari surga.
Ricky menggandeng tangan Grace membuat cewek itu menoleh kaget. "Kak."
"Tugasmu sudah selesai, kamu sudah menepati janjimu pada Steven. Lalu, sekarang biarkan aku yang menepati janjiku pada Steven untuk membahagiakanmu."
Sudut mata Grace tiba-tiba berair. Ah, sesaat tadi, dia merasa sendirian karena tidak ada sosok Steven di sampingnya seperti Harry yang mulai sekarang akan menjaga Marlene, tapi dia rasa, dia tidak lagi sendirian sekarang.
"Kamu sudah siap menjawab pernyataan cintaku waktu itu?"
Grace mengangguk. Apa ini sudah waktunya merelakan Steven seperti yang selalu dikatakan Marlene padanya.
Grace lalu melingkarkan tangannya yang satu lagi ke lengan Ricky sambil menatapnya. "Aku mau, kak."
Ricky tersenyum senang dan memeluk Grace.
Harry dan Marlene melambaikan tangan mereka pada Grace dan Ricky. Mereka berempat berkumpul kembali, dengan kebahagiaan memenuhi dada mereka masing-masing.