Chereads / Dear Kamu / Chapter 19 - Chapter 18

Chapter 19 - Chapter 18

Menjelang makan malam Harry pulang dengan wajah sumringah. Papa yang sedang menonton televisi bisa melihat bahwa putranya itu hatinya sedang bahagia.

"Berhasil boy?" tanya papa. Harry nyengir. "Tentu dong."

Hanny yang sedang duduk disebelah papanya cuma mendengus. "Katanya mau fokus belajar dulu, ga mau pacaran dulu. Tapi mana buktinya." sindirnya.

Harry mengangkat alisnya. "Heh, hidup itu harus seimbang. Gue masih bisa fokus belajar kok biarpun punya pacar."

Papa lalu melerai keduanya yang sepertinya hampir bertengkar karena ada nada emosi dari suara Harry.

"Haduh, kalian ini kenapa sih berantem terus kalo ketemu?" papa tersenyum. Beliau lalu mengusap kepala Hanny, beliau tahu kalau putrinya itu sedang kesal pada Harry karena sudah php pada Martha tapi Harry juga punya hak untuk menolak siapapun yang menyukainya.

"Yang dibilang Harry itu benar. Hidup itu harus seimbang, papa sih ga masalah kalau kalian mau pacaran selama kalian tetap tahu batasan dan tahu prioritas kalian sebagai pelajar."

Harry memeletkan lidahnya pada Hanny. Hanny membalasnya dengan memonyongkan bibirnya kesal.

***

Hanny mengetuk pintu kamar Harry, tak lama kakak ketiganya itu keluar dengan pandangan bertanya. "Mau apa?"

"Nih, hadiah." Hanny menyodorkan kado yang ditinggalkan oleh Martha begitu saja dirumahnya pada Harry yang menerimanya dengan wajah bingung. Sebenarnya dia tidak ingin memberikan hadiah itu pada Harry, biar saja Martha sendiri yang melakukannya, tapi cewek itu mengatakan kalau dia tidak sanggup bertemu Harry dengan wajah bengkak dan sembab karena kebanyakan menangis.

"Seinget gue, hari ini bukan ultah gue." Cowok itu mengangkat alisnya.

"Emang bukan. Itu hadiah buat lo karena berhasil masuk semifinal turnamen basket."

Harry mengangkat alisnya lagi, tumben sekali adiknya ini memberikan kado. Kalau sedang begini, Hanny benar-benar terlihat manis, pikir Harry.

"Wah, thanks a lot."

Hanny lalu beranjak dari hadapan Harry lalu dia berhenti didepan pintu kamarnya dan menoleh pada Harry yang kembali menatapnya keheranan.

"Btw kado itu dari Martha. Jadi terima kasihnya ke Martha bukan gue. Terus...," Hanny terdiam sejenak. Harry kelihatan terkejut mengetahui kenyataan kalau kado itu dari Martha. Dan raut wajahnya berubah menjadi tidak suka.

"Lo tau kan kalau dia tuh benar-benar suka sama lo, kak. Jadi setidaknya tolong tolak dia dengan benar, biar dia bisa move on."

Harry tercenung mendengar kalimat yang dilontarkan Hanny barusan. Adiknya itu sendiri sudah masuk ke kamar meninggalkan Harry yang termangu-mangu didepan pintu kamarnya dengan kado berpita manis ditangannya.

Keesokkan harinya...

Harry menunggu didepan gerbang sekolah Hanny, digantungan motor maticnya tergantung plastik berisi kado pemberian Martha yang masih dalam keadaan utuh. Harry memikirkan semalaman tentang apa yang harus dia lakukan terhadap kado itu, dan dia rasa dia harus mengembalikannya. Harry menepuk jidatnya, merasa frustasi. Memang harusnya sejak dulu dia menolak Martha secara terang-terangan, daripada dia harus merasa terbebani begini.

Hanny terlihat berjalan bersama Martha dan beberapa teman-teman ceweknya yang lain, mereka baru saja selesai ekskul badminton.

"Martha!" teriak Harry. Mereka semua menoleh dan mata Martha membesar saat melihat Harry yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

Hanny mengerutkan keningnya. "Mau ngapain dia kesini?" tanyanya dalam hati.

Martha tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya, dia memegang lengan Hanny dan memekik kecil membuat Hanny kesal. "Han, gue ga salah denger kan? Tadi dia manggil gue, bukan lo."

"Iya... iya. Tenang aja, lo belum budek, kok."

Teman-teman mereka kini memandang dengan rasa penasaran, beberapa bahkan bertanya apa cowok itu adalah pacar Martha yang baru, Martha hanya mengiyakan tapi Hanny buru-buru mengklarifikasinya, karena jika Harry sampai mendengarnya, cowok itu pasti akan jengkel.

Harry menghampiri mereka. "Tha, gue bisa ngomong sama lo? Ini penting."

Martha mengangguk-angguk semangat. Apakah ini mimpi? Apakah kemarin Harry telah di tolak oleh cewek yang di sukainya itu? Apakah Harry akhirnya memutuskan untuk menyukainya?

Harry lanjut menatap Hanny. "Lo tunggu disini, gue ga bakal lama. Kita pulang bareng."

Hanny mendengus tapi gadis itu tetap mengangguk.

Harry dan Martha berjalan menjauh kearah motor milik Harry yang diparkir di pinggir jalan depan sekolah mereka.

"Kok lo kenal cowok itu, Han? Diajak pulang bareng lagi. Gue laporin ke Alfin, loh." celetuk teman-temannya berisik.

"Ih, apaan sih kalian? Dia tuh kakak gue. Wajar kalo dia ngajak pulang bareng."

"Ooh.. itu kakak lo? Cakep banget, kok punya kakak ganteng ga dikenalin ke kita semua, sih? Dikenalinnya cuma ke Martha aja nih."

Hanny berdecak kesal. "Kalian ga tau aja betapa gue menyesal mengenalkan kak Harry pada Martha," batinnya.

"Nih," Harry menyodorkan kado pemberian Martha pada gadis itu. Martha kelihatan bingung. Itu'kan kado dari gue, bisiknya dalam hati.

"A... apa maksudnya ya, kak?"

Harry menatapnya tajam. "Sorry, gue ga bisa nerima pemberian dari lo ini. Gue hargai perasaan lo pada gue, tapi gue minta maaf, gue harus menegaskannya ke lo, kalo gue ga bisa nerima perasaan lo."

Wajah Martha berubah pias, bagaikan disambar petir disiang bolong. Dengan tangan gemetar dia menerima kembali kadonya dari Harry.

"Kak, apa gue ga punya kesempatan sama sekali?" tanya Martha.

Harry menghela napas. "Sorry Tha. Gue udah punya orang yang gue sayangi. Gue ga mau perasaan lo menggantung, jadi gue harap lo bisa move on."

"Tapi...," Martha tampak ingin berbicara tapi kemudian dia mengurungkan niatnya itu setelah melihat wajah Harry yang begitu serius. Ini pertama kalinya mereka bicara secara langsung karena selama ini biasanya Harry selalu menghindarinya.

"Kalo gitu, gue anggap lo mengerti. Gue harus pulang sekarang." tanpa basa basi lagi, Harry menyalakan motornya dan berhenti didepan gerbang sekolah Hanny, cowok itu lalu memanggil Hanny yang sedang mengobrol bersama pak Asep, satpam sekolah. Hanny pamit pada pak Asep dan mendekati Harry yang kini menyodorkan helm padanya. Hanny menoleh sebentar pada Martha yang masih tidak beranjak dari tempatnya. Wajah cewek itu terlihat tidak baik.

"Gue ke Martha sebentar." Harry mengangguk. Dia menarik napas lega, semoga Martha paham apa yang dia katakan tadi.

"Lo baik-baik aja?" tanya Hanny dengan raut khawatir.

Martha menggeleng. "Gue di tolak." Kini gadis itu mulai menangis pelan. Hanny sengaja berdiri menutupi Martha yang masih menangis dengan penuh kekecewaan.

Hanny menatapnya prihatin. Meski dia yang meminta Harry untuk menolak Martha, tapi dia tidak tega juga saat melihat sahabatnya itu kecewa.

"Tha, lo sendiri pasti tau kalo dalam hidup kita ga selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Syukuri aja apa yang kita miliki, lo juga sekarang masih punya Rudi, jadi lo fokus aja pada hubungan lo dengan Rudi dan berhenti mengejar kak Harry."

Martha mengangguk lalu menghapus air matanya.

"Kalo gitu gue pulang duluan, ya. Supir lo sebentar lagi sampai'kan?"

"Iya. Lo pulang aja. Gue ga apa-apa."

Hanny lalu mengiyakan dan berjalan kearah dimana Harry menunggu. Hanny kembali menoleh kearah Martha untuk yang terakhir kalinya.

Martha menatap kado pemberiannya yang dikembalikan kepadanya, dia menghapus air matanya. "Baiklah. Semangat Martha. Lo cuma di tolak satu cowok. Tapi..."

Tapi kemudian dia kembali sesenggukan. "Tapi gue suka banget sama kak Harry."

***

Siang itu dirumah sakit, Fanny sedang makan siang bersama dengan Reva di kantin rumah sakit. Berita tentang hubungan pacaran antara Hendra dan Reva menyebar begitu cepat, membuat orang-orang yang mengenal mereka langsung memberikan ucapan selamat.

"Jadi akhirnya kalian pacaran juga. Tapi gimana ceritanya kalian bisa jadian? Cerita dong. Penasaran nih," kata Fanny dengan wajah terlihat antusias.

Reva tergelak. "Bukan cerita spesial kok."

"Hemmm, jangan bikin penasaran dong."

"Hahaha... agak absurd sih ceritanya. Jadi beberapa hari lalu tuh dia ngajak gue makan di angkringan." kata Reva mulai bercerita.

' Angkringan beberapa hari lalu...

"Gue bosen nih jomblo terus." kata Hendra sambil mulutnya mengunyah sate telur puyuh. Reva meliriknya sambil tertawa-tawa seakan itu adalah hal teraneh yang pernah di lontarkan oleh Hendra. Mereka mulai mengenal satu sama lain saat kuliah semester 2, dan sejak mulai berteman sampai sekarang, Reva baru pertama kali mendengar Hendra mengeluh tentang status jomblonya.

"Apa akhirnya lo sadar kalau emang sudah waktunya lo carj jodoh?"

Hendra tergelak. "Yah, ketuaan juga kan ga bagus. Nanti anak gue masih kecil gue udah keburu tua."

Reva terkikik. "Kalo gitu lo buruan cari pacar dong."

Hendra tersenyum lalu menatap Reva begitu intens. "Va, lo sekarang jomblo'kan?"

Wajah Reva berubah tidak suka saat ditanya demikian. "Ga usah di pertegas gitu dong. Bikin gue menyedihkan aja jadi cewek jomblo."

"Menyedihkan kenapa?" tanya Hendra, dia mengerutkan keningnya keheranan.

"Yah, lo tau kan, gue belum lama putus sama Wisnu."

Hendra bersedekap. "Ya intinya sekarang lo jomblo kan?"

Reva mengangguk. Hendra tersenyum puas.

"Itu jawaban yang mau gue denger. Gue jomblo, lo juga jomblo, gimana kalo kita pacaran aja?" ajak Hendra membuat Reva yang sedang makan sate usus tersedak.

"Lo mabok nasi kucing, ya?" tanya Reva dengan wajah memerah karena tersedak.

"Gue masih sadar kok. Gimana? Lo mau ga jadi pacar gue?" ulang Hendra.

"Uggh," wajah Reva kembali memerah, kali ini karena malu, kok bisa Hendra semudah itu mengajaknya berpacaran.

"Gue kira lo mabok nasi kucing. Abisnya lo ngajak gue pacaran kayak orang bercanda deh. Udah gitu nembaknya di angkringan lagi, ga ada romantis-romantisnya." gerutu Reva.

Hendra tertawa. "Jadi lo maunya gue nembak di restoran bintang 5?"

"Ya seengganya ditempat yang lebih baik dari ini. Biar momennya bisa dikenang," kata Reva.

"Hahaha... Oke... Oke. Next time gue ajak ke tempat yang romantis deh. Jadi sekarang lo jawab dulu pertanyaan gue. Lo mau ga jadi pacar gue?" tanya Hendra untuk yang kesekian kalinya.

"Hem, gimana ya?" Reva terlihat berpikir sambil menatap Hendra yang menatapnya penuh harap.

"Sebelum gue jawab pertanyaan lo, jawab dulu pertanyaan gue, kenapa harus gue?" tanya Reva heran.

"Pertama, gue lagi cari pacar, kedua lo jomblo, ketiga gue suka sama lo." kalimat terakhir Hendra membuat wajah Reva memerah.

"Ehem... oke. Sekarang gue bakal jawab pertanyaan lo," kata Reva. "Sebenarnya lo lebih asik diajak berteman, Ndra," jawab Reva.

Sinar harapan dimata Hendra lenyap, wajahnya berubah kecewa. "Yah, jadi gue di tolak?"

"Ih, gue belum selesai ngomong," kata Reva gemas.

"Jadi lo mau?"

"Iya, kita coba jalanin aja." kata Reva membuat Hendra langsung terlonjak kegirangan. '

"Lo tau ga? Setelah itu dia teriak-teriak kegirangan didalam tenda angkringan yang lagi ramai dan mentraktir semua orang yang lagi makan disitu. Ada-ada aja kan tuh orang," kata Reva tergelak.

"Hahaha... gue bisa bayangin sih. Dia emang absurd banget ya. Tapi, pacaran sama dia, lo ga bakal bosen, deh," kata Fanny ikut tergelak karena membayangkan cerita Reva.

"Oh, itu dia nongol. Panjang umur dokter Hendra," goda Fanny. Hendra terlihat keheranan.

"Abis ngomongin saya, ya? Memang sulit ya kalau jadi orang tenar," katanya pede membuat kedua wanita dihadapannya ini terlihat geli dengan ucapannya barusan.

Hendra meletakkan segelas kopi dingin dihadapan Reva lalu ngeloyor pergi begitu saja.

"Eh, dokter Hendra ini apa?!"

Percuma, Hendra tidak mendengarnya. "Eh, ada tulisannya nih," kata Fanny.

Mereka berdua membacanya bersama-sama.

'Semoga harimu menyenangkan. Luph u.'

"Astaga, gue jadi merinding ih liat dokter Hendra bucin gitu."

Reva tertawa, dia benar-benar tidak mengira bahwa Hendra bisa menjadi cowok yang begitu manis. Mungkin keputusannya untuk move on dengan mencoba berpacaran dengan Hendra adalah keputusan yang tepat agar dia bisa secepatnya melupakan Wisnu.