Chereads / Dear Kamu / Chapter 15 - Chapter 14

Chapter 15 - Chapter 14

Sejak pagi Harry sudah sibuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawanya ke pertandingan. Jordy juga sedang melakukan hal yang sama dengan tergesa-gesa. Semalam mereka pulang hampir tengah malam dan wajah mereka tampak muram terlebih lagi Harry. Banyak hal yang baru mereka ketahui dan membuat mereka begitu terkejut. Harry bahkan tidak bisa tidur semalaman karena teringat tentang Steven. Kenyataan bahwa Steven telah meninggal setahun yang lalu karena sakit benar-benar menghantamnya.

"Kak, nanti siang gue nonton pertandingan lo ya," kata Hanny yang kini duduk di sebelah Harry yang sedang sarapan. Papa akan kembali ke Jakarta nanti sore setelah menyelesaikan beberapa berkas di Bandung.

"Hmmm...," Harry hanya berdeham, tidak berniat untuk menjawab ucapan Hanny.

"Terus gue juga ngajak Martha buat nonton," kata Hanny pelan, dia tahu kalau Harry tidak pernah nyaman jika Martha muncul disekitarnya karena sikap gadis itu yang begitu blak-blakan menunjukkan ketertarikannya pada dirinya begitu membuatnya terganggu.

"Terserah," sahut Harry tidak peduli. Cowok itu bangun dan menyandang ranselnya bersiap berangkat bersama Jordy yang sudah siap sejak tadi. Mendengar jawaban Harry, Hanny merasa lega, setidaknya cowok itu tidak akan marah padanya karena mengajak Martha nonton pertandingannya. Apa boleh buat, Hanny tidak punya pilihan lain. Alfin yang diajaknya nonton bilang tidak bisa ikut karena ada urusan keluarga. Selain Alfin, Hanny tidak punya orang lain yang bisa diajak untuk menemaninya, akhirnya dia memilih mengajak Martha yang begitu gembira mendengar ajakan Hanny. Gadis itu bahkan membatalkan janji kencannya dengan Rudi demi bisa ikut Hanny nonton pertandingan basket Harry.

***

Harry sudah tiba di GOR bersama anggota tim basket yang lain, jika mereka memenangkan pertandingan pertama ini, mereka akan bisa langsung berhadapan dengan tim dari grup B siang nanti. Karena berambisi untuk menang, Harry sudah mempelajari sebagian besar teknik-teknik dari tim basket lawan mereka hari ini.

Dari lapangan basket tempat mereka berkumpul dengan anggota tim yang lain, Harry bisa melihat Martha yang kini melambaikan tangan kearahnya, disebelah gadis itu berdiri adiknya, Hanny yang kini nyengir padanya.

"Loh, dia kesini sama Martha."

Harry hanya bergumam tak jelas.

"Gue kira dia bakal datang sama pacarnya itu. Apa mereka udah putus, ya?"

Harry tertawa mendengar ucapan Jordy yang sebagian besar pastilah berisi doa supaya adiknya itu benar-benar putus.

"Sayangnya mereka masih pacaran, tuh. Kemaren gue ngeliat mereka pulang bareng kok."

"Kok kesel ya." Jordy menonjok lengan Harry pelan.

Tak lama pelatih meminta mereka untuk berkumpul dan memberikan instruksi serta pengarahan sekali lagi mengenai formasi tim. Pertandingan akan segera mulai dan mereka harus fokus terhadap pertandingan kali ini.

"Target kita adalah menang. Kalian siap?" tanya pelatih.

"Siap coach." seru mereka serempak.

***

Alfin sedang bersiap-siap dikamarnya. Siang ini dia berencana untuk menemani kak Hanny datang ke acara seminar penulisan karya ilmiah. Kemarin Hanny mengajaknya menonton pertandingan kakaknya, tapi dia sudah terlanjur berjanji dengan kak Hanny, jadi rasanya dia tidak enak jika membatalkan janjinya dengan gadis itu, bahkan meski yang mengajaknya adalah pacarnya sendiri. Alfin punya prinsip selalu mendahulukan janji yang sudah dia buat sebelumnya.

Mira nongol di depan kamarnya sambil cengar cengir.

"Widih. Mau kemana pagi-pagi udah ganteng?" godanya. "Ada kencan sama pacar ya?"

"Bukan pacar. Tapi sama kak Hanny. Gue janji mau nemenin dia ke seminar."

Mira mengerutkan keningnya. "Gue ga salah denger'kan? Sejak kapan lo jadi deket sama dia?"

"Sejak nganterin dia pulang dari rumah lo, kak."

Mira menepuk jidatnya. "Lo udah putus sama cewek lo?"

Alfin menggelengkan kepalanya. "Belum, kok."

"Terus kenapa lo pergi sama cewek lain? Ga etis loh, Al."

"Gue cuma temenan deket aja sama kak Hanny, kok. Lo berlebihan."

"Iya, tapi orang lain yang ngeliat kalian bisa salah paham. Kalo lo emang mau benar-benar deketin Hanny, putusin dulu pacar lo. Jangan bikin anak orang sakit hati, hey."

Alfin hanya diam tanpa membalas ucapan Mira. Dia berusaha benar-benar meresapi apa yang Mira katakan, dan dia rasa ucapan kakak sepupunya itu ada benarnya.

"Al, Hanny emang temen deket gue, tapi gue ga berharap kalian berhubungan dekat kayak gini tanpa status yang jelas. Perjelas hubungan kalian ini apa, dan jangan kasih harapan palsu ke temen gue, jangan juga nyakitin pacar lo yang sekarang."

Selepas itu, Mira pergi dari kamarnya meninggalkan Alfin yang termangu-mangu, bingung dengan hatinya.

***

Pertandingan basket baru saja dimulai dengan bola pertama berhasil diambil oleh tim dari sekolah Berkarya 1. Harry memberikan instruksi pada yang lain agar melakukan defense terhadap serangan tim lawan. Hanny dan Martha yang datang menonton berteriak-teriak memberikan semangat pada tim sekolah Harry.

Grace melihat jalannya pertandingan dari pinggir lapangan bersama pemain cadangan dan pelatihnya. Mereka tampak seimbang, Grace kagum bahwa kedua temannya di masa SMP itu mengalami kemajuan yang luar biasa. Terlebih Harry, padahal cowok itu sempat vakum dari basket setelah putus dari Marlene. Ah, ngomong-ngomong soal Marlene, Grace merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya yang bergetar karena ada panggilan masuk dari gadis itu.

"Ya, Lin. Udah sampe? Hmm. Pertandingannya juga baru dimulai, kok. Oke... oke. Gue tunggu, ya."

Grace mematikan ponselnya dan kembali fokus pada pertandingan. Dia tersenyum, gadis itu sengaja mengajak Marlene untuk menonton pertandingan basket sekolahnya tanpa memberitahu siapa lawan pertandingannya. Grace benar-benar gregetan dengan sahabatnya itu, meskipun Marlene dengan ketus selalu mengelak dan mengatakan kalau Harry adalah kesalahannya di masa lalu yang sebaiknya dikubur, tapi Grace tahu, sosok Harry belum terlupakan oleh Marlene.

Marlene menatap pintu gedung olahraga, meski dari luar terlihat sepi, tapi terdengar suara riuh membahana dari dalam area GOR. Sepertinya pertandingannya seru sekali, batinnya. Marlene segera masuk kedalam dan akan menonton pertandingan dari bangku penonton.

Hari ini adalah hari kencan buta sesi ketiga, tapi dia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan acara itu. Hatinya mulai goyah setiap melihat Harry, perasaannya yang sudah dia kunci rapat-rapat sepertinya mulai terbuka sedikit demi sedikit, dia tidak mau berharap. Mengingat 4 tahun yang lalu saja cowok itu tidak menganggapnya sebagai kekasih dan hanya sebagai pelampiasan karena gagal mendapatkan Grace, apalagi sekarang. Daripada dia sakit hati saat melihat Harry jadian dengan salah satu temannya, lebih baik dia berhenti dari sekarang.

Pertandingan sudah separuh berjalan, kedua tim makin memanas, Harry dan Jordy berusaha sekuat tenaga mempertahankan skor mereka yang lebih unggul. Kevin mengoper bola pada Jordy, Harry sudah memberikan kode agar Jordy mengoper bola itu padanya dan dia akan melakukan three point, tepat saat matanya menangkap sosok Marlene yang baru saja duduk dibangku diatas tribun penonton. "Eh."

Marlene segera menyadari tatapan itu, tatapan yang begitu intens memandangnya, dan dia bisa melihat Harry yang kini sedang memandangnya dari lapangan. Marlene berdecak dalam hatinya, dia kesal pada Grace. Ternyata lawan pertandingan sekolah Grace adalah sekolah Harry? Kalau saja dia tahu lebih awal, dia tidak akan datang.

"Har," teriak Jordy sambil mengoper bola, Harry yang terkejut dengan panggilan Jordy segera menoleh kearah cowok itu dan karena belum siap dengan operan dari Jordy, bola yang dioper oleh Jordy tepat mengenai wajahnya. Bola bergulir keluar lapangan, dan Harry kini memegangi wajahnya yang merah. Anggota timnya yang lain segera mengerubungi Harry. Marlene kelihatan terkejut dengan insiden barusan, begitu pula dengan Grace, Hanny dan Martha.

"Lo gak apa-apa, Har?" tanya Jordy cemas karena kini hidung Harry mengeluarkan darah.

Harry memegangi kepalanya yang pening. "Gue gak apa-apa. Gue baik-baik aja." katanya pelan.

Wasit mendatangi mereka dan bertanya mengenai kondisi Harry. Harry bilang dia masih bisa melanjutkan pertandingan, namun dia meminta time out sebentar. Priittt... pluit panjang berbunyi, kedua tim menepi ke pinggir lapangan untuk beristirahat sejenak. Harry duduk sambil mengompres wajahnya.

"Sorry guys, tadi gue ga fokus." kata Harry pada teman-temannya yang kini berdiri mengelilinginya. Mereka hanya mengangguk, tidak biasanya Harry kehilangan fokus dalam pertandingan. Apa ada sesuatu yang membuat perhatiannya teralihkan?

"Lo masih bisa main Har?" tanya Kevin.

"Gue masih bisa main, pertandingan udah mau selesai, gue mau memenangkan pertandingan ini."

Anggota tim yang lain saling berpandangan lalu mengangguk.

"Tentu aja. Kita semua harus memenangkan pertandingan ini." kata mereka serempak.

Yang lain lalu bubar dan istirahat sebentar untuk minum, Jordy menatap Harry, "Lo kenapa?"

"Cuma kaget doang tadi."

Jordy mengerutkan keningnya. "Kesambet lo?"

Harry terkekeh. "Gue cuma kaget liat penonton."

"Halah. Biasanya juga lo biasa aja diliatin penonton sebanyak ini. Apa lo salting di teriakin sama si Martha dari tadi?"

Wajah Harry mengerut. Dia tidak suka Jordy menyebut-nyebut nama itu di depannya. Padahal dia sudah berpura-pura tidak peduli pada teriakan Martha yang begitu heboh dan membuatnya malu.

"Ngapain sih si Hanny ngajak cewek aneh itu?" gumamnya kesal.

"Tadi lo yang bolehin kok klo si Martha buat nonton. Gue denger sendiri waktu Hanny bilang sama lo."

Harry masih mengompres hidungnya. "Iya, iya."

Setelah beristirahat selama 5 menit, mereka lalu bersiap untuk kembali ke lapangan.

"Siap untuk menang?" tanya Jordy. Yang lain mengangguk dan berteriak saling memberi semangat.

***

"Lin, sorry lama. Tadi gue briefing bentar." kata Grace. Gadis itu menemui Marlene yang menunggunya di depan GOR. Pertandingan penyisihan pertama telah usai dan dimenangkan oleh sekolah Harry. Sekolah yang menang akan lanjut bertanding di penyisihan kedua, sedangkan sekolah yang kalah boleh pulang setelah pertandingan usai. Sebagian dari teman-teman Grace memilih untuk menonton pertandingan selanjutnya, dan sebagian lagi memilih untuk pulang setelah selesai briefing. Meski kecewa, tapi mereka senang bisa ikut berpartisipasi dalam turnamen ini.

"Eh, kenapa lo ga mau nonton pertandingan yang kedua?" tanya Grace. Mereka kini berjalan keluar GOR dan memutuskan untuk ke mall terdekat untuk makan siang.

Marlene meliriknya tajam. "Menurut lo?"

Grace terkekeh. "Lo ga mau liat Harry beraksi di lapangan? Dia keren dan jago juga mainnya."

Marlene berdecak. "Jago apanya? Tadi aja mukanya kena bola."

"Hemmm..., iya, kayaknya sakit banget itu. Dia baik-baik aja ga ya mukanya kena bola?" Grace tampak berpikir.

"Mana gue tau. Kenapa lo ga balik ke GOR dan nanya langsung ke orangnya?" kata Marlene ketus.

"Ih galak banget sih, beb. Yuk kita makan dulu biar perut kenyang jadi hati lo juga ikut senang."

Marlene cuma memonyongkan mulutnya lalu mengikuti Grace yang tampak semangat sekali.

"Eh, btw lo besok ada acara ga? Kita ke taman bermain, yuk." ajak Grace.

"Berdua aja?"

Grace tersenyum penuh arti dan Marlene tau apa arti senyuman sahabatnya itu.

"Lo mau ngajak orang itu? Kalo gitu ga, makasih."

"Ih, apaan sih. Gue kan belom ngomong apa-apa. Kita pergi sama kak Ricky kok. Yuk temenin gue. Gue canggung kalo cuma berduaan aja sama dia."

Marlene manggut-manggut. Ricky adalah teman kuliah Steven, dan mereka saling kenal karena cowok itu sering main ke rumah Marlene. Sepertinya cowok itu sekarang sedang melancarkan pdkt pada Grace.

Marlene berhenti dan tersenyum tipis. "Gue senang, lo udah move on. Bukan berarti gue berharap lo ngelupain kakak gue. Tapi dia sudah bahagia, lo tau. Jadi sekarang giliran lo yang harus bahagia."

Grace tersenyum. "Lo sendiri? Apa lo udah move on dan udah bahagia?"

Marlene tidak menjawab dan hanya menatap Grace. Hatinya belum sepenuhnya move on, orang bilang cinta pertama sulit dilupakan, dan itulah yang terjadi pada dirinya. Dia pernah merasa menyesal karena tidak memiliki sifat yang manis dan lembut seperti Grace, mungkin karena itulah yang membuat Harry tidak menyukainya. Tapi, inilah dirinya. Dia tidak bisa mengubahnya dan dia juga tidak mau berubah menjadi Marlene palsu hanya untuk dicintai oleh Harry.