Chereads / Dear Kamu / Chapter 16 - Chapter 15

Chapter 16 - Chapter 15

Hanny sedang membantu Hendry menyiram pekarangan sore itu ketika sebuah mobil travel berhenti didepan rumah mereka. Seorang pria paruh baya turun dari mobil dan berteriak memanggilnya. Merasa familiar dengan panggilan itu, Hanny menoleh dan mendapati sosok kesayangannya itu kini akhirnya pulang. Hanny lalu berlari memeluk papa. Papa tampak kewalahan menghadapi pelukan yang tidak terduga dari Hanny.

"Papa, aku kangen deh. Kok makin kurus, sih?" tanya Hanny.

Papa hanya tertawa dan bilang kalau makanannya tidak cocok dilidahnya.

"Papa kangen masakan Hendry. Ngomong-ngomong mana dia?"

"Aku disini." Hendry keluar dari dalam rumah dan memberi salam pada papa. Mereka berdua lalu membantu papa membawa koper dan tas kedalam rumah.

Papa melihat Harry yang asik tiduran disofa ruang tengah tanpa sedikitpun sadar kalau papanya sudah pulang. Cowok itu sedang sibuk mengetik pesan di handphonenya sampai seseorang menarik handphone yang sedang dipegangnya itu. Terkejut, dia kira itu ulah Hanny, dan baru saja dia akan mengomel ketika dia melihat papa yang sedang memelototinya.

"Jadi begini cara kamu menyambut papamu yang sudah 1 bulan tidak bertemu?"

Harry terkekeh. "Lagi mager, pa, capek abis tanding basket tadi siang. Tadi mau masang karpet merah buat nyambut, tapi baru inget ga punya karpet merah."

Hendry membantu papa membawakan koper dan tasnya ke kamar papa di lantai atas. Sementara Hanny kembali ke pekarangan untuk menyiram tanaman.

"Balikin dong hape-ku." pinta Harry. Papa cuma tersenyum jahil tanpa mengembalikan handphone Harry.

"No. Handphone kamu papa sita. Lagian kerjaannya melototin handphone terus."

"Kok gitu sih? Aku lagi ada pesan yang penting." kata Harry merengek. Papa mengangkat alis.

Ping...

Handphone Harry berbunyi nyaring menandakan ada pesan masuk. Papa yang masih memegang handphone miliknya membaca pesan itu dengan suara keras.

"Besok lo bisa'kan ikut ke taman bermain? dari Grace," papa nyengir, sementara Harry segera merebut handphonenya. Ah, benar-benar menyebalkan.

"Hoo, jadi pesan pentingnya itu dari Grace. Siapa itu Grace? Pacar kamu?"

Harry bersungut-sungut. "Bukan."

"Heee, jadi belum jadian. Kasian. Kamu kurang berusaha, nak." Papa menepuk pundak Harry memberi semangat.

"Dibilang bukan," kata Harry kesal karena papanya sepertinya tidak mendengarkannya.

Papa cuma nyengir lalu naik kelantai atas. "Kamu harus ikut ke taman bermain besok lalu tembak dia, nanti kalau udah jadian, ajak kesini untuk makan bersama kita."

"Ya Tuhan, dibilang bukan. Ga denger, ya." sahut Harry lagi bersikeras. Tapi papa hanya berlalu tanpa menjawab.

Seperti biasa, papanya adalah orang yang eksentrik dan aneh, kadang suka nyeleneh dan membuat sebal. Diantara anak yang lain, papa lebih sering mengerjainya, papa bilang kalau dia senang melihat wajah kesal Harry. Jika ke kakak pertamanya, Hendra, papa lebih sering bicara serius dan membicarakan hal yang berat seperti politik dan pekerjaan, kalau kepada kak Hendry papa sangat peduli dan menyayangi kakaknya itu, papa bilang waktu kecil kakak keduanya itu pernah jatuh sakit dan hampir meninggal, membuat papa dan mama memberikan perhatian ekstra padanya. Dan diantara anak yang lain, papa tentu saja sangat menyayangi Hanny, sebagai anak perempuan satu-satunya dikeluarga itu, dan juga papa bilang selalu bisa melihat sosok mama dalam diri Hanny.

***

Sore itu Hendra pulang kerumah dengan membawakan martabak telor kesukaan papa.

"Mana nih oleh-oleh dari Bandungnya? Pulang dari Bandung kok nyarinya martabak, emang disono ga ada martabak?" tanya Hendra pada papa yang sedang menonton televisi.

"Wah, makasih ya, Ndra. Beda dong, ini kan kesukaan Hanny. Nih, Han. Martabak kesukaan kamu." papa menyodorkan martabak itu pada Hanny yang duduk disebelahnya. Hanny segera mencomotnya satu dan memakannya dengan lahap.

Hendra manggut-manggut. "Mau makan diluar ga? Mumpung lagi pada kumpul."

"No, papa mau makan masakan Hendry malam ini. Makan diluarnya nanti aja, minggu depan, kebetulan kamu ulang tahun'kan?"

"Wah, benar juga. Jangan lupa kadonya ya, pa."

"Tenang, nanti papa kasih kamu jodoh. Kado terbaik buat kamu tahun ini, udah kepala 3 masih betah ngelajang. Papa tuh dulu kelar kuliah langsung tuh ngelamar mama kamu, ga nunda-nunda sampai sekarang udah mau umur 30."

Hendra hanya tertawa. "Gimana kelar kuliah mau nikah, waktu itu kan jodohnya masih sama orang lain. Doain aja ya, tahun ini."

Hanny yang hanya mendengarkan papa dan kakak pertamanya itu ngobrol langsung menimpali. "Kakak udah punya pacar?"

Hendra tersenyum bangga. "Udah dong."

"Pada kejar setoran ya kalian, Hendra udah punya pacar, Harry lagi pedekate sama cewek, Hendry udah punya Jenna, terus si kecil ini juga papa dengar udah punya pacar, ya?" kata papa pada Hanny. Hanny terkekeh. "Apa papa juga cari mama baru buat kalian ya? Kan papa juga ga mau kalah dari kalian."

Hanny dan Hendra melotot. Harry yang baru saja akan turun kelantai bawah langsung menjatuhkan buku yang dibawanya, sedangkan Hendry cuma diam saja karena dia sibuk memasak di dapur, tapi dia bisa mendengar semua percakapan yang terjadi diruang tengah tersebut dengan sangat jelas. Dia bahkan mendengus mendengar papa menyebut Jenna, hanya papa yang belum diberitahu kalau dia dan gadis itu sudah putus.

Papa lalu tertawa keras melihat reaksi anak-anaknya yang tampak tidak rela mendengarnya mau menikah lagi.

"Papa, Hanny janji, nanti Hanny akan urus papa dengan baik, jadi papa jangan nikah lagi, ya. Hanny ga mau punya mama tiri." kata Hanny memelas.

Papa tersenyum tipis lalu mengusap kepala putrinya. "Senangnya, papa mohon bantuannya, ya. Papa bakal ngerepotin loh nanti. Dengar nak, diumur segini papa udah ga berpikir kearah sana. Bisa lihat kalian tumbuh dewasa dan menikah aja, papa udah bahagia. Itu harapan papa, lagipula ga ada yang bisa gantiin posisi mama kalian dihati papa. Jadi, papa harap kalian juga bisa bertemu jodoh terbaik untuk menemani kalian sampai tua nanti."

Hanny tidak bisa menahan air matanya lalu memeluk papa. Dia minta maaf karena sudah membuat orang yang dicintai papa satu-satunya meninggal. Harusnya saat ini mama ada bersama mereka dan bisa menemani papa menghabiskan masa tuanya dengan bahagia.

Hendry menggenggam spatulanya dengan erat, mencoba menahan rasa sedih yang tiba-tiba melandanya, begitu juga dengan Harry yang cuma bisa duduk di tangga sambil menundukkan kepalanya diantara kedua kakinya. Sementara Hendra, dia hanya bisa menggigit bibir melihat Hanny yang kini masih menangis sesenggukan dipelukan papa yang berusaha menenangkannya.

"Hanny sayang. Itu semua bukan salah kamu. Papa senang memiliki kamu ditengah-tengah keluarga ini. Mama juga pasti senang karena sudah melahirkan gadis secantik kamu. Apa yang terjadi pada mama adalah takdir, semua orang akan meninggal suatu saat nanti. Jadi, jangan pernah berpikir begitu lagi, oke."

Papa merasa bersalah karena mengungkit-ungkit tentang mama, tapi dia hanya tidak ingin anak-anaknya melupakan sosok mamanya, bahkan meski itu terasa sakit untuk Hanny, Hanny hanya harus menerimanya bahwa yang terjadi memang takdir. Papa dan putra-putranya yang lain bahkan sudah merelakannya belasan tahun yang lalu dan tidak pernah menyalahkan Hanny atas apa yang terjadi pada mama. Jadi, beliau berharap Hanny juga bisa memaafkan dirinya sendiri.

Hanny tidak menjawab dan hanya bisa menangis. Semua kegembiraan yang tadi sempat terasa tiba-tiba menguap begitu saja membuat seisi rumah itu terasa hening dan menyesakkan.

***

Pagi-pagi sekali, Harry sudah bersiap-siap untuk pergi, papa sudah bangun dan sedang membaca koran diteras.

"Loh, anak perjaka papa mau kemana ini? Pagi-pagi udah ganteng."

"Pergi dong. Weekend gini masa dirumah aja."

"Kok pergi ga ngajak-ngajak?"

"Kemaren katanya disuruh berusaha."

Papa mengangkat alisnya tampak berpikir keras, lalu tertawa. "Baiklah, baiklah, nak. Pergi dan dapatkan gadis itu."

Harry cuma mengangguk mengiyakan. Kalau ingat semalam, rasanya Harry jengkel sekali pada papa. Dialah yang meminta papa untuk tidak pernah mengungkit-ungkit tentang mama didepan Hanny, tapi dalam hati kecilnya Harry, dia tahu kalau papa pastilah merindukan mama, seperti dia yang terkadang juga merindukannya. Terkadang dia juga merasa sedih karena tidak ada sosok mama untuk berbagi cerita disaat-saat terberatnya.

"Pergi dulu, ya pa." Papa hanya manggut-manggut dan melambaikan tangan pada Harry yang menghilang dibalik pagar. Cowok itu memilih untuk naik bis menuju taman bermain.

***

Marlene duduk manis dikursi penumpang mobil Ricky. Dikursi depan duduk Grace yang terlihat sumringah sekali, asik ngobrol bersama Ricky. Dalam hatinya Marlene tersenyum.

"Beneran gak apa-apa nih gue ikut? Kayaknya gue bakal jadi nyamuk kalian." kata Marlene.

Ricky tertawa. "Tenang Lin. Lebih banyak orang lebih asik malah."

"Kita kan cuma bertiga aja. Ganjil."

Ricky dan Grace saling melemparkan pandangan membuat Marlene bertanya-tanya.

"Lo ga ngajak orang itu'kan Grace?" Tanya Marlene. Mobil Ricky sudah memasuki kawasan taman bermain dan sedang menuju area parkir. Grace masih belum menjawab, gadis itu malah turun dari mobil dan menarik Marlene untuk ikut turun juga sebelum gadis itu menolak untuk masuk.

"Grace!" Marlene terlihat marah. Grace menatap Marlene.

"Sorry Lin, gue ngajak Harry. Gue pikir kalian perlu banyak waktu untuk bisa bicara."

"Lo tau sendiri kan kalo gue ga mau lagi ketemu sama dia."

Grace menatap Marlene dalam-dalam. "Apa benar begitu? Apa itu yang dikatakan hati lo, Lin? Gue tau kalo lo ga benar-benar move on karena masih nunggu Harry. Dalam hati lo, lo masih berharap sama hubungan kalian bahkan meski 4 tahun udah berlalu dan kalian ga pernah ketemu lagi. Gue rasa ini adalah kesempatan lo buat mastiin semuanya, kalau memang menurut lo, kalian tidak bisa bersama lagi, lo bisa move on."

Marlene terdiam mendengar Grace. Selama ini dia selalu menyalahkan Harry yang tidak pernah berusaha untuk menemuinya dan memberi penjelasan padanya, tapi pada kenyataannya 4 tahun lalu dan sekarang dia hanya melarikan diri. Dia menolak untuk mendengar penjelasan Harry, dia terlalu takut menghadapi kenyataan.

Harry termenung di bangku taman yang berada dekat pintu masuk taman bermain. Hatinya berdebar-debar. Dia sudah mempersiapkan diri untuk hari ini, dia bahkan sudah siap untuk menerima makian dari Marlene lagi jika gadis itu akhirnya tetap marah setelah mendengar penjelasannya.

4 tahun lalu, Grace pernah membujuknya untuk menemui Marlene dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Harry selalu takut untuk menemui Marlene. Setiap ada kesempatan untuk menjelaskan pada Marlene, Harry selalu mengurungkan diri kembali dan begitu seterusnya sampai sekarang.

Harry membuka galeri handphonenya. Menatap foto Marlene dan dirinya yang pernah dia ambil dihari mereka ke taman bermain waktu itu. Sudah 4 tahun, dan kini mereka kembali ketempat ini. Harry memandang taman bermain, hatinya hanya berharap jika hari ini Tuhan memberikan kesempatan padanya untuk meminta maaf dengan tulus pada Marlene dan mengatakan kalau dia menyayangi gadis itu.

Grace menggandeng Marlene menuju pintu masuk taman bermain. Harry sudah berada disana dan sedang memandangi handphonenya dengan wajah muram. Marlene berhenti, jantungnya berdegup sangat kencang. Dia belum siap, tapi dia harus memaksakan diri. Dia harus mendengar apa yang mau dikatakan Harry hari ini, baru setelah itu dia akan bisa move on.

Harry mendongak dan melihat mereka bertiga yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk. Buru-buru cowok itu bangun dan menyapa mereka.

"Hai, Grace. Ini?"

"Ricky. Lo pasti Harry? Grace cerita kalo lo mau ikut ketaman bermain hari ini." Ricky mengulurkan tangannya dengan ramah.

"Oh. Senang ketemu lo, kak."

Setelah menyapa Grace dan Ricky, mata Harry beralih ke Marlene yang membuang mukanya kearah lain. Melihat itu, Harry mengurungkan niatnya dan bertanya pada Grace apa mereka masuk kedalam sekarang.

Grace hanya mengiyakan dan langsung menarik Ricky untuk mengantre karcis di loket. Meninggalkan Harry dan Marlene berdua saja dalam rasa canggung dan keheningan yang luar biasa.