Naya semakin berdebar dan khawatir saat menyadari jika mobil yang mereka kendarai telah memasuki pelataran sebuah Rumah Sakit. Naya terus bertanya-tanya kenapa dia dibawa ke rumah sakit, siapa yang sedang sakit? Naya lalu teringat dengan salah satu orang yang sangat ia sayangi.
Naya membuntuti mamanya dengan cepat, ia tidak mau tertinggal informasi mengenai siapa yang sedang dirawat di Rumah Sakit tersebut. Air mata Naya tidak terbendung lagi saat ia mendengar nama Papanya disebut sebagai pasien yang dirawat di Rumah Sakit.
"Papa?!" air mata Naya berderai.
Naya berjalan terburu-buru menuju ruang ICU. Naya melihat papanya terbaring pucat di atas ranjang pasien dari luar jendela. Naya harus sabar menunggu giliran untuk bisa melihat papanya dari dekat. Saat ini Vera yang sudah masuk ke dalam mengenakan pakaian khusus.
Fisa mendekati seorang pria paruhbaya yang berpakaian rapi. Matanya menunjukkan kemarahan pada orang tersebut.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa bukan kau saja yang terbaring disana? Hah?" omel Fisa terhadap pria tersebut.
"Maafkan saya, Nona Fisa. Ini diluar kendali saya" kata pria tersebut pasrah.
"Aku tidak peduli, kau yang patut dipersalahkan dalam hal ini. Kau yang harus bertanggung jawab. Huhuhu." Fisa menangis dalam amarahnya.
Naya yang sejak tadi menangis dalam rangkulan Putra merasa kasihan terhadap pria yang di maki-maki oleh kakaknya. Perlahan ia mendekati pria tersebut. Naya seperti mengenalinya.
Fisa yang menyadari kedatangan Naya, segera bersuara. Tatapan Fisa penuh amarah, juga di perlihatkan ke Naya.
"Ini juga salah lo itik buruk rupa! Lo penyebab kesialan di keluarga. Lo pembawa bencana, pergi! Cepat pergi! Tidak seharusnya kamu kembali ke sini. Gue akan hempas lo kembali ke negara antah berantah itu. Seharusnya Lo nggak boleh pulang" kata Fisa ngotot.
"Nona Fisa, hentikan. Cukup saya saja yang di salahkan. Jangan libatkan Nona Naya." Bela pria tersebut.
Tubuh Naya terguncang, ia merasa semua beban di langit jatuh menimpannya. Ia kembali merasakan pahitnya menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, rasa yang amat menyakitkan hatinya. Naya merosot ke bawah, ia terduduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. Tubuhnya berguncang hebat. Semua benda di sekitarnya terasa berputar hingga semuanya menjadi gelap dan dia tidak sadarkan diri. Hening, tidak ada yang dapat ia dengar.
Putra segera mengangkat tubuh Naya ke dalam rengkuhan lengan kokohnya. Putra membawa Naya untuk mendapatkan pertolongan medis. Ia sangat khawatir dengan keadaan Naya. Sungguh kasihan gadis ini, ia harus mendapatkan kesedihan bertubi-tubi.
Gue akan selalu berada di sisi Lo. Gue tidak akan biarkan Lo menghadapi semua ini sendirian. Lo harus kuat Naya.
Ketika Naya sudah sadarkan diri, Ia sudah terbaring lemah di atas tempat tidur. Naya memandang ke sekeliling mencari jawaban kenapa ia bisa berada di tempat tersebut. Naya lalu teringat jika tadi ia sempat terjatuh dan semua tiba-tiba menjadi gelap sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Ah bagaimana dengan keadaan papa? Kenapa aku malah berada di sini? Aku harus menemui papa. Aku ingin memastikan keadaan papa. Aku harap beliau dalam keadaan baik-baik saja. Batin Naya dalam kebingungan.
"Hei, lo sudah sadar? Apa yang lo rasakan sekarang? Apakah pusing?" tanya Putra yang selalu setia berada di sisinya.
"Sedikit pusing, tapi itu tidak penting sekarang. Putra, apa lo tahu tentang keadaan papaku sekarang?" tanya Naya penuh harap.
"Sorry, tapi gue nggak tau. Gue sejak tadi ngejagain lo. Gue khawatir lo kenapa-napa."
"Gue baik-baik aja kok. Put, apa lo sekarang bisa antar gue untuk bertemu dengan papa?"
"Sebaiknya lo istirahat dulu. Kesehatan lo juga penting."
"Tapi gue sangat ingin bertemu dengan Papa."
"Baiklah, gue akan antar lo menemui beliau."
"Thanks."
Putra terus mendampingi Naya untuk bertemu dengan papanya. Naya mampu berjalan sendiri, tapi Putra dengan setia menjaganya, memastikan agar Naya tidak kembali jatuh pingsan. Naya terlihat tersiksa saat menyaksikan papa kesayangannya terbaring lemahbtak berdaya dengan berbagai alat medis yang melekat di tubuhnya. Namun, Naya tetap berusaha tegar, ia menahan sekuat tenaga air matanya agar tidak tumpah dihadapan papanya. Naya tidak banyak bicara, ia hanya menyapa Papanya sekali, kemudian menggenggam lembut tangan papanya yang sudah terpasang selang infus.
Remuk rasanya perasaan Naya. Ia merasa tersiksa melihat tubuh papanya terpasang begitu banyak alat medis. Bunyi khas dari bed set monitor membuat hatinya semakin miris.
Ntit ... ntit ...
Irama detak jantung yang tergambar dalam grafik layar monitor di atas ranjang papanya, membuat Naya beberapa kali menahan nafas. Ia terlalu takut untuk menerima kenyataan paling buruk sekalipun. Saat ini Naya hanya bisa berdoa semoga papanya lekas sembuh dan kembali bersama dengannya, menghabiskan hari-hari indah sambil bertukar cerita. Hal yang sejak lama ia rindukan.
Naya kemudian keluar saat waktu berkunjungnya habis. Naya kemudian melihat Papanya dari balik jendela. Naya tidak menyangka jika papanya dalam kondisi Koma seperti saat ini. Ada sedikit rasa sesal didalam lubuk hatinya yang terdalam. Kenapa ia baru pulang sekarang dan malah melihat Papanya dalam kondisi yang seperti ini. Naya ingin memperbaiki semuanya. Ia kini hanya ingin berada didekat Papanya. Naya tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktunya untuk tinggal berjauhan dengan papanya. Mungkin sudah waktunya bagi Naya menerima keadaan dan berjuang untuk kebahagiaan orang yang ia sayangi dan dirinya sendiri. Naya harus bisa move on dari masa lalunya.
"Putra, apa lo kenal dengan pria paruhbaya yang tadi dimaki-maki oleh Fisa?"
"Bicara secara langsung dengannya belum pernah, tapi aku tahu cara menghubunginya karena pria tersebut sering berhubungan bisnis dengan perusahaan milik keluargaku. Ada apa?" tanya Putra penasaran.
"Gue ingin bertemu dengannya. Gue penaaaran dengan kronologinya, Apa lo bisa mengantarku untuk bertemu dengannya?".
"Tentu, gue bisa minta nomornya dari sekretaris papa di kantor. Lo sebaiknya bersantai, biar gue yang atur pertemuan kita dengannya."
"Gue ngandelin lo. Tolong ya?" Naya reflek memeluk Putra dan menyenderkan kepalanya di dada bidang Putra.
"Iya, lo bisa andalin gue" Putra mengusap lembut kepala Naya.
Hari berikutnya Putra sudah mengatur pertemuan antara Naya dan Pak Reza, orang kepercayaan Papanya Naya.
Pak Reza menjelaskan kronologi kejadian secara lengkap hingga Papanya Naya bisa menjadi seperti sekarang ini. Rupanya tuan Luwin begitu shock setelah menerima telepon dari CEO perusahaan lawan bisnisnya. Hingga membuatnya mendadak memegangi kepalanya, lalu lunglai dan kepalanya tidak sengaja terbentur saat tuan Luwin terjatuh. Pak Reza mengaku bersalah karena terlambat menangkap tubuh tuan Luwin yang limbung.
"CEO perusahaan lawan bisnis papa? Apa nama perusahaannya? Dan siapa pemimpinnya?" tanya Naya penasaran.