Chereads / A Boy Named Wei Wuxian / Chapter 14 - chapter thirteen

Chapter 14 - chapter thirteen

Lan wangji tidak mengerti, sejak seminggu yang lalu Wei Wuxian bertingkah aneh.

Saat ia pamit dari kediaman Wei Wuxian waktu itu, pemuda itu enggan menatap wajahnya.

Wei Wuxian terkesan menghindarinya.

Lan Wangji memperhatikan kamar Wei Wuxian yang sepi. Gordennya telah terbuka, tapi tak ada aktifitas apapun yang ia lihat.

Bahkan suara Xiao Yu pun tak terdengar.

Lan wangji mengheka napas. Hatinya khawatir akan sesuatu.

Namun tak tau apa itu.

Ia menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya.

08.00

Hari ini ia ada kelas pagi, Lan Wangi segera mengambil tasnya dan pergi untuk menjemput Wei Wuxian.

Mereka sudah terbiasa pergi bersama.

Lan wangji menekan bel rumah itu, namun tak ada jawaban.

"Wei Ying." Ia beralih mengetuk pintu.

Namun tetap tak ada sahutan. Rumah itu terdengar hening.

"Lan Gongzi?"

Wangji berbalik dan mendapati Song Lan yang menghampirinya.

"Kau mencari A Xian?"

Wangji mengangguk, "apa dia tidak memberitahumu?"

Hati Lan Wangji mencelos. Apa? Ia merasa trauma mendengar kata itu.

Itu adalah kalimat yang ia dengar ketika hari dimana Wei Wuxian pergi tanpa pamit.

"A Xian pagi-pagi sekali datang ke cafe dan menitipkan A Yu. Katanya dia harus keperpustakaan dulu untuk sebelum menghadiri kelas pagi. Ku kira kalian pergi bersama."

Lan wangji menghembuskan napas lega. Tubuhnya terasa panas dengan rasa pening tiba-tiba menyerang kepalanya karena rasa khawatir berlebih yang baru saja ia rasakan.

Wangji mengangguk, "kalau begitu aku pergi dulu." Wangji membungkuk sebelum berlalu menuju halte biasa.

Hatinya gelisah.

Menebak perihal apa yang terjadi pada pemuda itu. Kenapa dia menghindarinya seperti ini?

.

.

"Wei Ying." Wangji memanggil Wei Wuxian yang memasukan barangnya terburu-buru.

Selama dikelas, mereka duduk cukup jauh dan Lan Wangji merasa kesal dengan itu.

"Ah, Lan Zhan. Ha ha, kenapa?"

Ia bisa melihat gurat canggung bercampur khawatir diwajahnya.

"Kau kenapa?"

Mata abu-abu Wei awuxian bergulir kekanan dan kekiri, jelas sekali sedang menghindari tatapan Lan wangji.

"Apa maksudmu? Aku baik-baik saja." Ia menunjukan cengiran lebarnya.

Wangji hendak kembali bertanya namun Wei Wuxian segera menyela, "ah Lan Zhan, aku duluan ya? Aku harus menghadiri kelas lainnya." Si pemuda Wei berlari menjauhi Lan Wangji.

Si pemuda Lan menatap kepergian Wei Wuxian. Sorot matanha sendu.

Ia tau Wei Wuxian berbohong.

Bukankah mereka mengambil kelas yang sama? Ia tau persis, mereka hanya ada satu kelas hari ini.

.

.

Wei Wuxian menghentikan langkah kakinya. Ia mendudukan dirinya di ditaman kampus yang sepi.

Kepalanya merebah di sandaran kursi panjang lalu menutup matangan dengan satu tangan.

Sebenarnya, Wei Wuxian tak mau seperti ini.

Ia juga merasa bersalah pada Lan Wangji.

Tapi, dia harus mulai terbiasa untuk lepas dari pemuda itu.

Bagaimanapun, pada akhirnya mereka akan berjalan terpisah.

Masa depan Lan Wangji itu menjanjikan. Banyak peluang besar yang pasti akan didapatkan Lan Wangji. Dan ia tak mau menjadi kerikil dijalan bersinar itu.

Apalagi dengan kehadiran Xiao Yu.

Terlepas dari semua perlakuan lembut yang pemuda Lan itu berikan. Ia tak mau salah paham apalagi sampai mendamba Lan wangji.

Tidak.

Ia merasa tak pantas.

Wei Wuxian telah menjadi aib bagi dirinya sendiri. Dan ia merasa berpuas dengan apa yang dimilikinya saat ini.

Wei Wuxian merasa tidak pantas untuk berharap lebih.

"Wei Ying."

Ia terlonjak kaget.

Menemukan Lan wangji berdiri dihadapannya.

Menatap lurus hanya padanya.

"Lan Zhan?" Ia mencicit.

Lan Wangji mendekatinya, sebelah tangannya meraih pipi Wei Wuxian dan mengelusnya.

"Lan Zhan. Jangan seperti ini."

Wajah ceria itu telah berubah. Rona wajah itu sepenuhnya ditutupi kekaluta n.

"Kenapa?"

"Lan Zhan. Aku bisa salah paham dengan semua sikapmu. Dan jujur saja, aku tidak mau memiliki perasaan ini. Jadi... bisa kau berhenti bersikap begini?"

Tangan Wangji yang bebas mengepal.

Ia merasa marah dengan apa yang pemuda itu ucapkan.

"Kau tidak salah pahan Wei Ying. Semua yang kau rasakan adalah benar."

Wei Wuxian terkejut dengan apa yang dikatakan Lan Wangji.

Ia menggeleng dan melepaskan tangan Wangji dari pipinya.

"Lan Zhan, jangan bercanda. Kau mungkin hanya terbawa suasana." Matanya melotot ketika Wangji kembali mengentuh Wajahnya, kali ini dengan sedikit tenaga.

"Wei Ying. Apa menurutmu aku sedang bercanda?"

Wangji menangkup kedua pipi Wei awuxian dan menahannya untuk menatap lurus padanya.

Wei Wuxian terpaku, ia menggali kedalam mata Lan Wangji, dan yang ia temukan adalah dirinya yang tenggelam dalam tatapan itu.

Mata Lan Wangji seperti samudra yang luas dan penuh misteri.

Membuatnya ingin menenggelamkan diri sampai menemukan semua hal didalam sana, dan tak ingin lagi menepi.

"Lan Zhan. Kita tidak bisa." Bisiknya.

"Apa yang membuat tidak bisa?"

"Banyak hal yang tidak kau ketahui. Tentang Xiao Yu, tentang apa yang terjadi dimasa lalu. Kau akan jijik padaku dan meninggalkanku pada akhirnya."

Mata Wei Wuxian bergetar.

"Kau memiliki banyak hal yang harus kau capai, masa depanmu masih panjang dan luas. Sedangkan aku, aku hanya memiliki satu jalan. Aku tak mau menahanmu dijalanku yang gelap dan sempit."

Gurat kemarahan terlukis diwajah Lan Wangji. Pemuda itu melonggarkan cengkramannya kemudian terlepas.

Mata Wei Wuxian sudah berkaca-kaca. Hatinya serasa diremas melihat ekspresi pemuda Lan itu.

Ia tak tau apa yang dipikirkan Lan Wangji saat ini.

Mungkinkah ia mulai berpikir rasional dan mempertimbangkan apa yang Wei wuxian pikirkan?

Wei Wuxian tidak tau, dan ia mau menebak.

Kakinya kembali membawanya berlari dari Lan Wangji.

Dan ia akan mulai belajar menjauh dari hidup pemuda itu.

.

.

Terhitung sudah sepuluh hari.

Lan Wangji benar-benar menuruti apa yang ia katakan.

Pemuda itu tak lagi berusaha mendekatinya. Bahkan terkesan mengabaikannya.

Ia merasa semua ini benar, ini yang dia inginkan.

Meski, jauh dalam hatinya sesuatu menjerit merindukan pemuda itu.

Wei wuxian mengabaikannya.

"Maa, mana dada?" Xiao Yu berjalan tertatih padanya. Ia mengulurkan tangannya pada putranya yang segera diraih tangan mungil itu.

Wei Wuxian mendudukan Xiao Yu dipangkuannya. "Sayang, Wangji dada sedang sibuk. A Yu main sama mama saja, ya?"

Ia mencoba memberi pengertian pada putranya. Wei Wuxian tidak bisa melepaskan Wangji begitu saja dari benak putranya.

Pemuda Lan itu seolah telah terpatri dalam kebidupan Xiao Yu.

"A Yu lindu dada."

Lagi-lagi hatinya mencelos. Ia merasa bersalah pada Xiao Yu. Wei Wuxian merasa sangat jahat.

Kehadiran Xiao Yu yang gak diketahui oleh ayahnya sendiri, dan sekarang, ia menjauhkan putranya dari figur 'ayah' yang selama ini menemaninya.

Ia mendekap Xiao Yu. "A Yu, apa yang harus mama lakukan?"

Ia terisak.

Merasa bebannya kembali bertambah dan bertumpu dipundaknya tanpa belas kasihan.

"Jangan nanis, ma" tangan mungil itu mengelus kepala Wei Wuxian lembut, namun bukannya berhenti, tangisan Wei Wuxian semakin kencang.

Terkadang, ia merasa lelah dengan semua yang ia alami dalam hidupnya.

Seperti saat ini.

Wei Wuxian merasa ingin menyerah saja. Satu-satunya yang memberinya kekuatan hanyalah Xiao Yu. Putranya.

Selama ini, ia bertahan hidup untuk putranya seorang.

Setelah beberapa saat, Wei wuxian mulai tenang.

Ia menghapus air matanya dibantu oleh tangan mungil sang putra.

"Mama nda boyeh cedih."

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kecil, meraih tangan putranya dan dikecup berulang kali.

"Mama tidak sedih kok."

"Bohong. Mama balusan nanis lo." Xiao Yu cemberut.

"Mama tidak nangis. Mama hanya meeasa senang memiliki Xiao Yu yang menggemaskan seperti ini." Ia mencubit pipi putranya membuatnya tertawa.

Ding dong

Suara bel pintu menghentikan tawa keduanya.

Wei Wuxian merasa was was namun juga sedikit bahagia.

Apa itu Lan Wangji?

Tanpa sadar ia bergegaa untuk membuka pintu.

Dan ia terkejut melihat seseorang berdiri gagah didepan pintunya.

Seseorang yang sudah lama sekali tak ia temui.

"Paman Jiang!!" Ia memekik dan tanpa sadar memeluk Jiang Fengmian yang kewalahan dengan serangan tiba-tiba putranya.

Pria dewasa itu tertawa dan mengelus punggung sempit Wei Wuxian.

"A Xian."

Wei wuxian melepaskan pelukannya dan menatap Jiang Fengmian. "Paman, kenapa tidak mengabariku jika akan kemari?"

Pria itu kembali tertawa, "kejutan?" Wei Wuxian ikut tertawa, ia membawa koper yang dibawa Jiang Fengmian dan menuntunnya kedalam rumah.

"Mama."

Keduanya menoleh. Jiang Fengmian terpaku ditempatnya berdiri.

Apa itu cucunya?

"A Xian?" Jiang Fengmian bertanya. Pemuda Wei itu mengangguk dan membawa Xiao Yu ke arah pamannya.

"A Yu, ini kakek." Xiao Yu menatap bolak bakik antara Jiang Fengmian dan sang mama.

"Kakek?" Wei wuxian mengangguk. "Iya, ini kakeknya A Yu."

Anak itu otomatis merangkul kaki Jiang Fengmian dan mendongak menatap pria yang masih terdiam.

"Kakek!"

Jiang Fengmian menautkan alisnya terharu, ia segera mengangkat cucunya dan memeluknya erat. "A Yu. Akhirnya kakek bisa bertemu denganmu." Tangannya mengelus kepala dan punggung Xiao Yu.

Ia merasa bahagia.

Setelah sekian lama menahan diri untuk tidak terbang menemui outra dan cucunya.

Akhirnya ia memiliki kesempatan meaki harua menunggu lama.

Wei Wuxian menuntun sang paman kearah ruang keluarga.

Ia membiarkan putranya bermain dengan sang kakek sedang ia menyiapkan jamuan untuk Jiang Fengmian.

"A Yu sudah besar ya. Berapa usiamu?" Jiang Fengmian memainkan tangan gempal Xiao Yu dan mengecupinya berkali-kali.

"Mama bilang A Yu baku catu taun."

Xiao Yu mengangkat dua jarinya.

"Itu dua sayang, bukan satu." Wei Wuxian menyahut.

"Catu, ma!"

"Satu itu ini" ia mengangkat satu jari.

"A Yu calah ya?" Yanya anak itu polos.

Jiang Fengmian tertawa kecil melihat interaksi keduanya.

Ia merasa tak percaya jika putranya yang biang onar itu telah bertransformasi menjadi sosok lembut keibuan.

Membuatnya bangga sekaligus sedih.

Bangga karena keadaan Wei Wuxian yang membaik.

Dan sedih, karena masa muda putranya telah terenggut.

"A Yu. Kakek membawa banyak hadiah untukmu."

"Benal, kek." Jiang Fengmian mengangguk.

Jiang Fengmian hendak beranjak namun segera ditahan Wei Wuxian. "Biar aku saja paman."

Pemuda Wei mengambil koper yang tadi dibawa sang paman dan membuka isinya.

"Waaah, mama mau satu yaa?" Ia mengambil satu hadiah dan menyembunyikannya dibelakang tubuhnya.

"Nda boyeh ma. Mama kan cudah besal!" Putranya protes.

Jianh Fengmian yang melihat itu kembali tertawa.

Ia bersyukur, cucunya tumbuh dengan baik.

Meski, jika diperhartikan, Xiao Yu memiliki banyak fitur Jin Jixuan. Sedikit banyak ia khawatir, bagaimana jika suatu saat seseorang dari masa lalu putranya bertemu dengan Xiao Yu dan menemukan kemiripan cucunya dengan Jin Jixuan?

Ia tak akan pernah membiarkan kedua orang itu terluka.

Mereka sudah cukup banyak melalui hal sulit. Dan Jiang Fengmian bersumpah akan selalu melindungi keduanya.

.

.

Malam sudah larut. Xiao Yu tertidur setelah kelelahan bermain dengan hadiah dari sang kakek.

Wei Wuxian keluar dari kamarnya dan hendak mengambil air minum didapur.

"Paman belun tidur?" Ia bertanya pada Jiang Fengmian saat melihat pria itu duduk di ruang keluaga dengan ponsel ditangannya.

"A Xian?"

Wei Wuxian tersenyum. "Paman mau kopi"

"Tidak. Paman harus mengurangi asupan kafein." Kekehnya.

Pemuda Wei itu membawakan teh hangat untuk sang paman lalu ikut duduk dihadapannya.

"Apa tidak apa-apa paman kemari?"

"Tidak. Kebetulan paman ada urusan bisnis disini. Jadi tidak ada yang curiga."

Wei Wuxian mengangguk.

"Bagaimana kabat shijie?"

Jiang Fengmian sedikit terkejut. Membicarakan perihal putrinya terasa sangat berat sekarang.

Ia tak ingin melihat raut terluka itu lagi.

"Kakakmu baik-baik saja. Dia sangat merindukanmu, A Xian."

Wei Wuxian tersenyum, ia memainkan jemarinya. "Syukurlah. Aku jiga sangat merindukannya." Ia berbisik.

"Bagaimana dengan Jiang Cheng?"

"Anak itu mengalami kemajuan pesat. Ia lebih sering menghabiskan waktu dikampus dan sedang belajar mengelola perusahaan."

Perasaan bersalah kembali menyusup dalam hati Wei Wuxian.

Jianh Cheng. Bagaimana perasaan pemuda Jiang itu sekarang? Ia pasti semakin membencinya.

"A Xian, bagaimana denganmu? Apa kau sudah bertemu dengan Wangji?"

Pertanyaan Jiang Fengmian membuatnya tersentak. Seketika ia menatap pamannya itu.

"Bagaimana paman tau tentang Lan Wangji?"

Kini Jiang Fengmian yang heran. "Apa Wangji tidak memberitaumu?"

Hati Wei Wuxian berdebar.

Apa yang tidak ia ketahui?

"Wangji memohon pada paman untuk memberitau dimana kau tinggal. Apa ia tak mengatakan apapun?"

Wei Wuxian menggeleng.

Ia tak pernah mendengar apapun dari Lan wangji.

"Beritau aku paman."

Pintanya lemah.

.

.