Jin Jixuan meremas lembaran kertas ditangannya.
Ia sudah membaca laporan orang suruhannya berkali-kali namun ia masih belum percaya.
Informasi tentang Wei Wuxian begitu tertutup.
Seolah seseorang melindunginya habis-habisan.
Namun ia tak menyerah. Jin Jixuan rela mengeluarkan dua koper uang hanya demi 5 lembar informasi Wei Wuxian.
Dan sekarang, saat informasi itu ada dikedua tangannya Jin Jixuan malah semakin tidak tenang.
Fakta yang ia dapatkan memukulnya bertubi-tubi, hingga ia merasa linglung untuk sesaat.
Pertama, Wei Wuxian yang selama ini ternyata melarikan diri ke negara Jerman.
Kedua, Wei Wuxian memang pernah melahirkan seorang bayi disalah satu rumah sakit di Kota Munich.
Dan yang ia yakini itu pastilah bayinya karena Wei Wuxian hanya pernah tidur dengannya.
Ia kembali memutar memori saat dimana ia menerima perjodohannya dengan istrinya, Jiang Yanli.
Malam itu Wei Wuxian meneleponnya berkali-kali.
Kekasihnya bilang ia ingin menyampaikan sebuah kabar.
Apakah saat itu Wei yingnya ingin memberitau perihal kehamilannya?
Jin Jixuan membenturkan kepalanya ke atas meja saat mengingat bagaimana ia memotong kalimat kekasihnya dengan sebuah berita dimana dirinya malah akan menikahi orang lain, terlebih itu adalah kakaknya sendiri.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidup Wei Wuxian hancur didetik itu.
Kekasihnya pasti megalami waktu yang teramat sulit saat itu.
Kepalanya terasa sangat berat dan pening, seolah ditimpa palu besi berkali-kali.
Pikirannya melambung tak berarah, andai saja waktu itu ia mendengarkan apa yang akan dikatakan Wei Wuxian, mungkin mereka tak akan berakhir begini.
Andai saja ia tau lebih awal tentang kehamilan kekasihnya, mungkin ia memiliki alasan untuk menentang perjodohannya dan melarikan diri bersama Wei Wuxian dan bayi mereka.
Ia tau orangtuanya adalah orang paling licik.
Tapi setidaknya mereka tak pernah menyakiti anak-anak.
Apalagi jika itu adalah cucu mereka sendiri.
Namun itu hanya sebuah pengandaian rancu yang ia pikirkan ketika merasa buntu.
Karena pada kenyayaannya, Wei Wuxian, kekasihnya, orang yang paling ia cintai, Wei Yingnya..
Telah menikah dengan Lan wangji.
"Sialan!!"
Jin Jixuan melempar semua barang yang ada di atas meja kerjanya.
Napasnya memburu akibat emosi yang memuncak.
"Kenapa harus Lan Wangji sialan itu?!!" Ia berteriak frustasi.
Bagaimanapun, ia merasa tak rela melihat kekasihnya bersama orang lain. Sisi lain dirinya memintanya untuk memisahkan mereka dan merebut kembali Wei Wuxian kedalam pekukannya.
Ingatannya kembali membawanya kemalam dimana ia melihat Lan Wangji yang begitu mesra memeluk Wei Wuxian dan puteranya dan bagaimana puteranya yang begitu dekat dengan Lan Wangji.
Puteranya memanggil pria itu ayah sementara dirinya tak lebih dari orang asing dimata puteranya sendiri.
Hati Jin Jixuan panas.
Ia meledak dalam letupan emosi dan berteriak seperti orang gila. Ia memukul dinding dengan kepalan tinjunya hingga lecet.
Bagaimanapun Jin Jixuan merasa iri dan tak rela Lan Wangji memiliki orang-orang yang harusnya menjadi miliknya!
.
.
"Mama, kemalin A Yu beltemu paman baik."
Xiao Yu berbicara dengan mulut belepotan bubur bayi yang ia makan.
"Benarkah? Dimana A Yu bertemu dengannya?" Tanya sang mama.
Mereka bertiga tengah sarapan di kamar hotel mereka. Sesekali Lan Wangji mengusap sudut bibir Wei Wuxian serta puteranya.
Like mother like son.
Makan sampai belepotan seperti bayi.
"Di cupelmalket! Paman itu gendong A Yu buat cali mama dan dada."
"Benarkah? Waah, mama harus bertemu dengannya dan mengucapkan terimakasih." Wei Wuxian meraih kedua pipi puteranya dan menciumnya bergantian, " A Yu, dengarkan mama. Lain kali, A Yu jangan pergi tiba-tiba seperti kemarin, oke? Mama dan dada sedih mencari A Yu."
Ia menatap puteranya untuk memberi pengertian.
Xiao Yu mengangguk lucu.
"Mama cama dada nda boyeh cedih." Bocah itu ikut meraih pipi sang mama dan menciuminya membuat Wei Wuxian tertawa.
Kenapa puteranya manis sekali sih?
Keduanya tersentak kaget saat sepasang tangan ikut merangkul mereka.
"Tidak boleh berbicara saat makan." Ujar sang kepala keluarga lalu mencium pipi keduanya, "Lan Zhan, kau juga bicara saat makan!" Protes Wei Wuxian, lebih parah lagi suaminya itu meninggalkan kursi dan malah muncul ditengah-tengah kemesrannya dengan sang putera.
"Aku sudah selesai." Wei Wuxian meniru Lan Wangji dengan gaya mengejek dan dihadiahi sentilan dari suaminya.
"Mama nakal" Xiao Yu tertawa melihat sang mama yang mengaduh sakit.
"A Yu mentertawakan mama?!" Pemuda Wei itu mengangkat Xiao Yu kedalam pelukannya dan menggelitikinya brutal.
"Mama apuunn maa, geyi hihi." Bocah itu meronta-ronta dalam pelukan sang mama.
"Lan Zhan!!!"
Wei Wuxian memekik saat tubuhnya melayang bebas.
Lan Wangji menggendongnya dan Xiao Yu sekaligus.
"Dada hebat, kyaaa!!" Puteranya malah berteriak senang.
"Lan Zhan! Aku belum selesai sarapan!!"
"Dari tadi kau hanya main-main."
"Huh." Wei Wuxian mendengus.
Wangji menurunkan keduanya didepan kamar mandi. "mandilah, kita akan makan diluar."
"Horee!! A Yu, kita mandiiii"
Wangji menggeleng, istrinya memang tak ubahnya bocah seperti Xiao Yu.
.
.

Château de Versailles
Sebuah istana yang berdiri megah dipinggiran kota Paris.
Istana ini sekaligus menjadi sebuah simbol keagungan Perancis pada masa feodal.
Bahkan hingga kini, Istana Versailles masih menghasilkan decak kagum dari setiap pengunjung yang datang kesana.
"Waah, lumahnya becal!!" Mata Xiao Yu berbinar melihat kemegahan bangunan didepannya.
Ini adalah hari terakhir bulan madu WangXian, besok pagi ketiganya harus kembali terbang ke Jerman.
"A Yu suka?" Bocah itu mengangguk antusias. "A Yu mau lumah cepelti itu nanti!!" Pekiknya.
Lan Wangji dan Wei Wuxian hanya tertawa kecil dan melanjutkan penjelajahan mereka.
Mereka menyusuri hampir setiap sudut bangunan itu.
Untungnya, hari ini tidak terlalu ramai pengunjung jadi mereka tak perlu berdesak-desakan.
"Aah, cape sekali." Wei Wuxian merebahkan dirinya di kursi restoran.
Wangji mendudukan Xiao Yu di kursi tinggi yang disediakan pihak restoran khusus untuk anak-anak. Lalu mwngambil tempat duduk disampingnya.
"Kau mau pesan apa?" Tanya Wangji.
"Apapun yang penting pedas!"
"Wei Ying, kau terlalu sering memakan makanan pedas. Perutmu bisa bermasalah nanti."
Wei Wuxian merengut, "ayolah Lan Zhan, aku tidak bisa makan jika tidak pedas. Lidahku menolaknya!!" Ia memelas.
"Kalau begitu kau harus menguranginya sedikit demi sedikit."
Wei Wuxian tidak menjawab, ia sedang melakukan protes sekarang.
"Mau kemana?" Tanya Wangji ketika istrinya beranjak dari kursi.
"Toilet." Ujar Wei Wuxian ketus.
Wangji menghela napas, ia seperti sedang menghadapi bocah sekarang.
"Dada, mama ngambek ya?" Tanyanya polos.
Wangji mengusap kepala puteranya, "mama tidak ngambek, sayang." Ia mengalihkan perhatian puteranya pada menu khusus anak-anak yang ada ditangannya.
.
.
Wei Wuxian baru saja keluar dari bilik toilet. Ia mencuci tangannya dan hendak keluar dari sana sebelum tubuhnya menubruk seseorang.
"Ah, maafkan aku." Ujarnya.
Seseorang yang ia tabrak memakai mantel hitam dan scarf serta beannie yang menutupi sebagian wajahnya.
Pria itu sempat menatapnya beberapa saat sebelum masuk ke toilet.
Wei Wuxian berjalan dengan kernyitan bingung.
Ia merasa mengenal tatapan itu.
Tapi ia tak bisa memastikan siapa dan dimana ia bertemu dengannya.
"Wei Ying."
Sebuah suara lirih berhasil membuatnya membeku.
Ia berbalik dengan cepat namun tak menemukan siapapun.
Ia kembali ke dalam bilik toilet.
Pria itu tidak ada, mungkin masuk kesalah satu bilik disana.
Jantungnya berdegup kencang hingga membuat tangan dan kakinya gemetar.
Ia tak mungkin lupa pada suara itu.
"Sepertinya aku terlalu kelelahan hari ini." Ia mencoba menepis apa yang ia dengar.
Sebelah tangannya mengusap keningnya yang berkeringat dingin lalu berjalan ke arah mejanya tadi.
Ia duduk dikursinya tanpa mengayakan apapu. Wajahnya sedikit pucat dengan guray kecemasan yang kentara.
"Wei Ying, kau baik-baik saja?" Wangji bertanya khawatir.
Seingatnya tadi Wei Wuxian tidak sepucat ini.
Wei wuxian menggeleng kecil, ia menatap Wangji dan tersenyum. "Aku baik-baik saja." Ujarnya.
Tentu Wangji tak akan percaya.
Apa sesuatu terjadi saat ia di toilet tadi?
"Wei Ying-"
"Lan Zhan, aku baik-baik saja." Ia mengusap tangan suaminya berusaha meyakinkan.
Wangji hanya menurut.
Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya.
"Aku sudah memesankan makanan pedas kesukaanmu."
"Baiklah."
Lalu hening.
Mereka makan hanya ditemani oleh ocehan Xiao Yu, tanpa kecerewetan Wei Wuxian seperti biasa.
Pemuda Wei itu sedari tadi hanya mengaduk makanan sambil melamun.
Pikiran Wei Wuxian sedang kacau.
Sebuah suara mampu membuat memori yang coba ia hapus kembali muncul kepermukaan.
Jin Jixuan.
Pria itu tak mungkin menemukannya kan?
Ia sudah berlari sejauh ini, paman Jiang sudah menyembunyikan segala informasi tentangnya.
Pria Jin itu tak mungkin menemukannya.
Benar kan?
Dirinya pasti hanya berhalusinasi tadi.
Ia mencoba mendoktrin dirinya sendiri.
Namun tetap saja, bagian lain dirinya merasa tidak tenang.
Jin Jixuan adalah sebuah trauma tersendiri bagi seorang Wei Wuxian.
Dimana ia harus memilih antara bersikap egois atau melepaskan pria itu demi kakaknya.
Bagaimanapun, Wei Wuxian hanyalah manusia biasa.
Meski ia memilih mengalah, hatinya tetap saja terasa sakit saat melepas kekasihnya dalam keadaan dirinya yang berbadan dua.
Luka Wei Wuxian tidak bisa sembuh semudah itu.
.
.
Jin Jixuan hampir saja kehilangan kendali.
Kekasihnya begitu dekat dengannya, namun ia tak bisa melakukan apapun.
Belum saatnya.
Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk merebut pemuda itu kembali dalam pelukannya.
Katakan Jin Jixuan sudah gila.
Ia menguntit pemuda Wei itu sejak mereka keluar dari hotel dan berkali-kali menggeram ketika melihat mereka tertawa bersama Lan Wangji.
Ia tak akan mengalah begitu saja.
Ia tak peduli jika Wei Wuxian sudah menikah dengan Lan Wangji.
Baginya, Wei Wuxian adalah miliknya.
.
.
"Wei Ying, kemarilah."
Wangji merentangkan tangannya pada istrinya.
Ia tengah berbaring diatas sofa ruang keluarga kamar hotelnya saat Wei Wuxian menghampirinya setelah menidurkan Xiao Yu.
Wei Wuxian menghampiri suaminya dan ikut berbaring disisi Lan Wangji, ia menjadikan tangan pria itu sebagai bantalnya lalu mendusel didada bidang sang suami.
Wangji beralih memeluknya dan mengusap punggungnya lembut, ia mengecup kwning Wei Wuxian untuk memberi ketenangan.
"Mau bercerita?"
Wei Wuxian terdiam sesaat, ia memainkan jarinya didada Wangji.
"Kupikir aku berhalusinasi." Bisiknya lirih.
Rasa kalut dan takut kembali merambati hatinya.
"Saat ditoilet tadi, kupikir aku mendemgar seseorang memanggilku. Aku tidak pernah lupa dengan suara itu."
Wangji tak mengatakan apapun, ia membiarkan istrinya bercerita hingga selesai.
Tangannyapun tak pernah berhenti mengusap punggungnya lembut.
"Lan Zhan, Jin Jixuan tak mungkin menemukanku, kan? Dia tak mungkin tau keberadaan A Yu kan?" Wei Wuxian mendongak, ia menatap Wangji dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana tadi benar dia? Bagaimana jika dia menemukan kami? Bagaimana jika dia memberitau keluarga Jin dan Jiang? Bagaimana jika shijie tau? Bagaimana jika-"
"Wei Ying."
Wangji merangkum wajah istrinya, ia tatap mata itu dalam-dalam untuk menyalurkan ketenangan pada Wei Wuxian yang mearacau panik.
Ia mengecup kening Wei Wuxian dalam.
"Wei Ying. Aku akan melindungimu dan A yu apapun yang terjadi." Ujarnya.
Ia memeluk tubuh gemetar Wei Wuxian. "Kau tidak akan menghadapi semuanya sendirian. Ada aku disampingmu."
Lan wangji tidak bisa menjamin bahwa rahasia Wei Wuxian akan tetap aman.
Cepat atau lambat, orang-orang akan tau keadaan Wei Wuxian yang sebenarnya.
dan ia yakin, Jin Jixuan tak akan melepaslan istrinya saat tau Wei Wuxian pernah mengandung darah dagingnya.
Lan Wangji mengeratkan pelukannya pada pasangannya.
Ia akan melindungi pemuda itu apapun yang akan terjadi.
Ia tak akan membiarkan Jin Jixuan menyentuh keluarganya.
Lan Wangji tidak akan lernah membiarkan siapapun melukai keluarganya.
.
.