Ada banyak hal yang mengejutkan terjadi pada hidup Wei Wuxian.
Dimulai dari fakta bahwa dia bisa mengandung layaknya perempuan sampai fakta pahit tentang ayah dari putranya yang ternyata adalah kakak iparnya sendiri.
Pertemuan tak terduganya bersama Lan wangji, juga....
Fakta bahwa rumah kosong disamping rumahnya kini ditempati oleh si tuan muda kedua Lan.
Wei Wuxian merasa takjub dengan semua hal yang terjadi padanya.
Rencana hidupnya sejak awal adalah berlari dan bersembunyi dari masalalunya.
Namun kemudian Lan Wangji datang dan mengacaukan semuanya.
Ia tak ingin menebak hal mengejutkan apalagi yang akan ia temui dimasa depan.
Namun ia sangat berharap, bahwa identitas dari siapa ayah dari bayinya akan tertutup rapat. Ia tak ingin shijienya terluka dengan fakta itu.
"Mama.." Wei Wuxian menoleh pada putranya yang baru bangun. Anak itu mengucek matanya dengan kedua tangannya dengan masih duduk di dalam box bayinya.
Wei Wuxian yang tengah mengerjakan tugas kuliahnya menghampiri Xiao Yu. "Pangeran tampan sudah bangun, hm?" Mama muda itu mengangkat putranya kemudian mengecup kedua pipinya gemas.
Jam sudah menunjukan pukul 8 pagi, biasanya putranya itu akan bangun pukul 6 pagi. Namun sepertinya Xiao Yu terlalu kelelahan setelah kemarin bermain bersama Lan Wangji hampir seharian penuh.
"Maa, main.. dada." Xiao Yu menatap sang mama dengan mata berbinar.
"Sayang, ini masih pagi. Dan panggil Shishu, bukan dada. Okay?"
"No, dada!" Wei wuxian menghela napas lelah. Seperti halnya ia meminta anak itu memanggilnya papa, mengajari Xiao Yu memanggil Wangji dengan sebutan pamanpun akan percuma.
"Maa.. main, dada!"
Anak itu kembali meminta. Sepertinya Xiao Yu sudah sangat lengket dengan temannya itu.
Wei Wuxian mendekap Xiao Yu didadanya dan berjalan ke arah gorden kamar yang masih tertutup, "A Yu, ini masih pagi. Wangji dada mungkin masih tidur."
Sebelah tangannya menyibak gorden kamarnya dan seketika ia merasa menyesal.
Wajahnya tiba-tiba saja terasa panas saat retinanya menangkap sesuatu.
Lan Wangji yang telanjang dada dengan hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam tengah memunggungi jendela kamarnya yang terbuka lebar.
Selain fakta bahwa rumah mereka bersebelahan, hal yang membuatnya berkali-kali melapalkan nama tuhan adalah kamar mereka yang juga saling berhadapan.
Wei Wuxian sangat mengutuk kebetulan mengerikan yang ia alami ini.
"Tu.. dada, maa!" Xiao Yu yang melihat ke arah yang sama memekik senang sambil menunjuk Wangji dengan telunjuknya.
Dadanya sudah bangun, artinya ia bisa bermain lagi sekarang.
Wangji yang mendengar suara itu langsung membalikan badan dan menemukan dua orang menggemaskan beda usia tengah memandang kearahnya.
Bayi yang satu melambai riang padanya, dan bayi yang satu lagi melotot tanpa berkedip.
Ia segera memakai kaus putih yang ia pegang kemudian mendekati teralis balkon kamarnya.
"Selamat pagi A Yu."
Wei Wuxian tersadar dari lamunannya. Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri karena telah memandang Wangji seperti itu.
Memalukan.
Tapi, tubuh atletis Lan Wangji benar-benar sesuatu yang...
"Wei Ying?"
"Ah ya? Apa?"
Ia mendapati Wangji yang menatapnya khawatir.
"Kau melamun." Ujarnya. Wei Wuxian tertawa canggung.
Situasi sialan.
"Dada, main!!" Xiao Yu bergerak heboh digendongan Wei Wuxian hingga membuatnya kewalahan.
"A Yu, tenang sayang. Tangan mama bisa patah menahan tubuh gendutmu."
"Yu nda endut, ma!"
Wei Wuxian melongo mendengar bayinya protes.
Sejak kapan putranya bisa bicara begini? Ia takjub sekaligus senang mendengar Xiao Yu yang mulai lancar bicara.
"Iya, A yu tidak endut. Cuma gembul ya?" Ia menoel pipi mochi putranya yang sedang manyun.
Wei Wuxian tertawa ketika Xiao Yu malah memalingkan wajahnya.
"Kalau A Yu ngambek, Wangji dada tidak mau main sama A Yu lagi, lo. Iya kan, dada?"
Ia mengerling pada Wangji diseberang kamarnya.
Sedang pemuda itu menumpukan sikunya diteralis besi. Menikmati interaksi dua orang yang telah membuatnya jatuh cinta bahkan sejak pertemuan pertama mereka.
Dan ketika pemuda itu tanpa sadar memanggilnya dengan kata dada, meski tidak ditujukan langsung, hatinya berdesir.
Hasrat prianya menggebu ingin segera mendekap pemuda itu dalam pelukannya dan tak akan pernah ia lepas.
Keringat dingin tanpa sadar menuruni pelipis Wangji.
Oh tidak, pikiran liarnya mulai berlari kearah berbahaya.
"Lan Zhan, mau sarapan bersama?" Ia mengusir pikiran kotornya, menatap Wei Wuxian yang menatap lurus padanya.
"Baiklah." Ia mengangguk.
"Okay let's go! Kita akan sarapan bersama dada, A Yu senang?" Wei Wuxian mengangkat putranya tinggi-tinggi sambil kembali masuk kekamarnya. Xiao Yu ikut mengangkat kedua tangannya antusias. "Yeay, dada!"
.
.
"Mama, miii." Xiao Yu menunjuk botol susunya yang ada di atas meja. Wei Wuxian yang sedang menyiapkan piring untuk Wangji meraih botol itu dan memberikannya pada putranya.
"Wei Ying, biar aku saja." Wangji mencoba menghentikan Wei Wuxian yang tengah mengalas sarapannya.
"Lan Zhan, kau tamuku. Jadi aku harus menjamumu dengan baik." Ia beralasan, tangannya dengan cekatan mengisi piring Lan Wangji dengan nasi dan berbagai lauk yang ia masak.
Jika diperhatikan, mereka persis seperti pasangan muda dengan satu anak.
Wei Wuxian hanya tidak menyadarinya saja.
"Dada, nti main cama Yuu agi!" Xiao Yu memainkan botol susunya dan menatap sang dada.
Wangji menyelesaikan kunyahannya, "iya, nanti main sama dada setelah A Yu beres sarapan."
"No! Yu nda mau mam. Nti endut." Xiao Yu menyilangkan tangannya, Wangji yang melihat itu tak tahan untuk tersenyum.
Tingkah anak Wei Wuxian memang seajaib itu.
"Kalau A Yu tidak gendut tidak akan lucu lagi dong." Sang mama menyahut.
"Yu mau tampan cepelti dada, ma." Ia menangkup pipi berlemaknya dengan kedua tangan. Mencoba terlihat tampan didepan kedua orang dewasa didepannya.
Wei Wuxian tak bisa menahan tawanya.
Sejak putranya sering bermain dengan Wangji, anak itu jadi semakin banyak bicara, bahkan kosakatanyapun bertambah meski banyak yang aneh-aneh seperti itu.
"Lo, kenapa tidak seperti mama? Mama juga tampan!" Ia protes sambil menyuapkan sesendok penuh sarapan kemulutnya.
"Mama nda tampan. Mama cantik."
Wei Wuxian segera tersedak setelah mendengar penuturan Xiao Yu.
Wei Wuxian meraih gelas yang disodorkan Wangji. "Akh, Lan Zhan! Sebenarnya apa yang kau ajarkan pada putraku?" Ia mendelik tajam pada Wangji yang masih tenang.
"Wei Ying. Bukankah bayi selalu berkata jujur?" Jawab sang pemuda Lan enteng.
Wei Wuxian tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Apa secara tak langsung, Wangji mengatakan dirinya cantik?
Sialan, kenapa pipinya terasa panas begini? 'Hoy jantung. Kau kenapa?' Ia membatin sableng pada jantungnya yang berdegup seperti habis dikejar anjing.
Ia bahkan tak peduli pada Wangji yang kini menyuapi Xiao Yu dengan makanan tim sayuran yang tadi ia buat.
Ada apa dengan dirinya?
Kenapa ia merasa panas dingin tiap kali Wangji mengatakan hal menjurus seperri itu?
.
.
Seharian ini mereka memutuskan untuk tidak keluar rumah.
Cuaca sedang mendung, ditambah hari ini cafe miliknya sedang libur jadi ia tak memiliki aktifitas lain selain berdian diri di rumah.
Jika biasanya ia hanya akan berbaring bersama Xiao Yu sambil menonton kartun favorirnya, maka setelah kehadiran Wangji pola itu mulai berubah.
Wangji mengajarkan Xiao Yu banyak permainan yang melatih ketangkasan motorik dan sensoriknya. Pemuda Lan itu bahkan tak ragu memesan mainan seharga seribu dollar demi merangsang kemampuan motorik putranya itu.
Melihat itu, Wei Wuxian kadang berpikir. Apa tak apa-apa Wangji melakukan semua itu?
Apa yang sebenarnya ada dipikiran seorang Lan Wangji? Hingga tak ragu melakukan hal-hal sejauh ini untuknya dan putranya?
Ia mengecilkan volume TV nya. Tersenyum kecil ketika menatap dua orang beda usia itu jatuh tertidur di ruang tengah.
Untuk sesaat ia terdiam. Melihat bagaimana nyamannya Xiao Yu yang tertidur dengan posisi telungkup diatas dada Wangji, dengan sebelah tangan Wangji yang berada dipunggung sempit putranya. Seolah tengah melindungi Xiao Yu agat tak terjatuh.
Sejenak, Wei Wuxian merasa bahwa Xiao Yu sudah terlalu nyaman dengan Wangji.
Dan ia khawatir, bagaimana jika suatu saat Wangji harus pergi untuk melanjutkan kehidupannya sendiri.
Lalu bagaimana dengan Xiao Yu?
Bagaimana dengan...
Dirinya?
Wei Wuxian tersentak dengan pikirannya sendiri. Ia memukul kecil dadanya yang terasa sedikit sesak akibat pikiran anehnya.
Ia lalu amelihat jam yang menunjuk pukul satu siang kemudian menguap. Dirinya juga merasa ngantuk.
Wei Wuxian mengambil bantal sofa dan merebahkan dirinya diatas lantai berlapis karpet beludru yang tebal dan lembut.
Ia berbaring disamping Lan Wangji.
Mencoba melupakan apa yang baru saja ia pikirkan.
Ia hanya tak ingin kembali berharap, kemudian pada akhirnya ia harus jatuh dan hancur oleh harapannya sendiri.
Jika dikatakan trauma, ya dia trauma.
Dia trauma atas kebodohannya dimasa lalu.
Yang tak memikirkan segala konsekuensi dan hanya mengandalkan instinh dan perasaan.
Dan kini, dirinya tak ingin mengulangi hal yang sama.
Dirinya tak akam berharap lebih pada semua sikap Lan Wangji.
Ia, takut untuk kembali terluka.
.
.