Seharian ini Wei Wuxian tampak uring-uringan.
Xiao Xingchen merasa heran karena setelah anak itu pulang dari kampus kemarin wajahnya tampak memerah padam.
Ia masih ingat bagaimana pemuda itu berlari masuk kedalam kafe dan langsung berjongkok dibawah counter dapur sambil memeluk Xiao Yu yang menatap wajah sang mama dengan wajah heran super menggemaskan. Saat ditanya kenapa, mama muda itu hanya menggelengkan kepalanya.
Dan hari ini, yang Wei Wuxian lakukan hanya diam dipojok cafenya sambil mendudukan bokong gempal Xiao Yu diatas meja dihadapannya.
Ia cemberut menatap putranya yang asyik menggigit bikuit bayi.
"A Yu, kenapa kemarin kau memanggilnya seperti itu?"
Ia masih merasa sangat malu. Bagaimana mungkin dipertemuan pertama dirinya dengan Lan wangji harus diakhiri dengan moment memalukan seperti itu?
Bagaimana reaksi Wangji nanti? Apa ia akan marah?
Dan Wei Wuxian bingung, kenapa memangnya jika Wangji marah? Kenapa dia harus takut jika pemuda itu akan marah padanya?
"Aku pusing." Wei Wuxian memeluk perut putranya, ia menghela napas lelah dan memejamkan mata.
Ada sebuah perasaan asing yang mengganjal dihatinya. Namun ia belum mengerti jenis perasaan itu.
Yang jelas, ia takut Lan Wangji akan menganggapnya menjijikan jika suatu saat pemuda itu tau kebenaran dirinya dan putranya.
"A Yu, apa yang harus mama lakukan?"
"Maamm, ma.." Xiao Yu menyodorkan biskuit penuh liurnya kedepan bibir Wei Wuxian.
Pemuda itu tertawa kecil, "A Yu, mama bukan teman sebayamu. Jadi jangan menawarkan biskuit bayi kegemaranmu itu. Huh." Ia mengecupi perut gembul bayinya gemas. Beberapa pengunjung dikedai kopinya merasa gemas melihat pemandangan itu. Dua orang imut beda usia yang selalu menjadi penghibur mereka kala berkunjung kesini.
Suara lonceng diatas pintu berdentang.
Seseorang dengan penampilan rapi masuk.
Beberapa pengunjung remaja bahkan memilih menunda obrolan mereka dengan temannya demi melihat wajah rupawan yang baru pertama mereka lihat melintas dengan gagah.
"Selamat siang, apa yang anda pesan tuan?" Xiao Xingchen bertanya ramah.
Di cafe ini memang hanya memiliki 3 pegawai termasuk Wei Wuxian, namun yang lebih sering berjaga di counter adalah Xiao Xingchen sementara Song Lan lebih sering berada di bilik pantry atau mengecek suply di gudang.
Sedang Wei Wuxian sendiri membantu jika sedang tidak ada kelas, seperti hari ini, meski jika adapun ia lebih sering merecok daripada membantu.
"Satu americano."
Xiao Xingchen menekan menu dilayar touchcreen komputernya untuk memproses pesanan.
"Totalnya 5 dollar, tuan."
Laki-laki itu mengeluarkan kartu kreditnya, dan jujur saja, Xiao Xingchen sedikit tercengang melihat kartu eksklusif berwarna hitam itu keluar dari dompet seorang pemuda seperti laki-laki dihadapannya.
Ia bersehem dan mengambil kartu itu.
"Kartu anda tuan."
Pemuda itu mengangguk dan berjalan mencari bangku kosong.
Mata emasnya menangkap sosok bayi yang melambai heboh kearahnya dan tanpa ragu ia menghampiri tempatnya duduk.
"Dada!!" Xiao Yu memekik senang ketika objek rupawan itu mendekat.
Wei Wuxian yang mendengarnya seketika was was, ia menegakan tubuhnya "A Yu, tidak ada dada. Hanya mama, okay?" Ia membuat wajah protes untuk putranya, namun Xiao Yu menggeleng kencang.
Wei Wuxian mengerang frustasi.
Apa Xiao Yu merindukan papanya? Anak sekecil ini?
Untuk saat ini mungkin ia masih belum mengerti apapun, tapi bagaimana jika ia semakin beranjak dewasa nanti?
Apa yang akan ia katakan tentang ayahnya?
"Wei Ying."
Wei Wuxian membeku.
"Dada!"
Ia tak berani menoleh, bahkan saat uluran tangan Xiao Yu disambut Wangji dengan menggendongnya.
"Selamat siang, A Yu."
Wei Wuxian tidak tau jika orang sedingin Lan Wangji bisa mengeluarkan suara selembut itu.
Ia meremas tangannya yang mulai berkeringat.
Siluet jangkung itu duduk dihadapannya dengan masih menggendong putranya.
"Lan Zhan." Wei Wuxian mencicit pelan.
Lan wangji yang menyadari situasi tak nyaman pemuda didepannya mendongak, gurat kekhawatiran memenuhi wajah itu.
"Wei Ying, kau baik-baik saja?" Ia bertanya khawatir.
Wei Wuxian menggeleng, "aku baik. Hanya saja, A Yu.." ia tak melanjutkan kalimatnya.
"A Yu? Kenapa?"
Wei Wuxian tak langsung menjawab, ia memperhatikan bagaimana putranya yang duduk nyaman dipangkuan orang asing.
Xiao Yu memang tidak takut orang asing, ia tak pernah rewel jika ada orang lain yang menyentuh atau menggendongnya.
Namun khusus untuk Lan wangji, putranya itu seolah lebih nyaman dengannya. Bahkan sampai memanggilnya dada, panggilan yang tak pernah ia katakan pada siapapun.
"A Yu, makan dengan benar." Wangji membenahi pegangan tangan Xiao Yu pada biskuitnya, ia bahkan mengelap bibir belepotan anak itu tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Lan Zhan, maafkan Xiao Yu."
Wangji kembali memandang Wei wuxian, "kenapa dengannya?"
Wei Wuxian memainkan ujung apronnya. "Dia.. dia suka memanggilmu dada." Ucapnya cepat.
"Aku tidak enak padamu." Lanjutnya kemudian.
"Apa itu yang membuatmu melarikan diri kemarin?"
"Lan Zhan!!" Ia memekik, merasa malu ketika kejadian kemarin terulang dikepalanya.
"Tidak apa-apa." Jawabnya tenang.
Wei wuxian mulai berani menatap Wangji. "Tidak apa-apa apanya? Kau masih muda dan sudah dipanggil dada, bahkan oleh anak yang baru bertemu denganmu." Ia cemberut.
"Wei Ying. Aku yang dipanggil dada, kenapa kau yang kesal?"
Wei Wuxian gelagapan. Dalam hati ia merutuk, sejak kapan Lan Wangji bisa jadi lebih santai seperti ini? Membuatnya tidak siap dengan perubahan pada lelaki itu.
"Americano anda, tuan."
Xiao Xingchen datang menyela. Untuk sesaat Wei Wuxian merasa lega.
"Apa kalian saling kenal?" Xiao Xingchen yang sedari tadi melihat interaksi mereka bertanya penasaran.
"Gege, kenalkan. Ini teman SMA ku dulu."
Wangji berdiri dan membungkuk kecil dengan Xiao Yu yang masih digendongannya.
"Lan Wangji."
Xiao Xingchen mengangguk, "aku Xiao Xingchen. Pengasuh Wei Wuxian." Ujarnya bercanda.
"Gege!!"
Xingchen tertawa ketika pemuda Wei itu memukul tangannya.
"Lan Gongzi, aku kembali dulu dan A Xian, layani pelanggan dengan baik." WeibWuxian kembali memukuknya namun kali ini Xingchen bisa menghindar.
Ia kembali kebalik counter dan meletakan nampan di kolong meja. Hari ini cafe cukup ramai, banyak pengunjung yang memenuhi meja disetiap sudutnya.
Namun entah kenapa, dimata Xiao Xingchen, sudut dimana Wei Wuxian dan pemuda itu duduk terlihat lebih bersinar.
Auranya seperti keluarga kecil harmonis.
Ia terkikik ketika memikirkan hal itu.
"Xingchen, kau kenapa?" Song Lan yang baru keluar dari bilik pantry menatap kekasihnya itu heran.
"Songlan, lihat." Xingchen menarik tangan Song Lan dan mengarahkan wajah itu pada titik yang sedari tadi ia perhatikan.
"A Xian? Kenapa dengan mereka?" Ia maaih belum mengerti apapun.
"Bukankah mereka terlihat serasi? Mereka sangat cocok untuk jadi keluarga." Ia kembali terkikik.
Song Lan mencubit pipi kenyal kekasihnya. "Berhenti berpikiran aneh."
Ia lalu menggeser Xingchen dan melayani pelanggan yang baru saja datang.
Diam-diam Song Lan kembali menatap ke arah Wei Wuxian.
Mau tak mau, ia pun setuju dengan perkataan Xingchen.
Mereka tampak..
Bahagia.
"Apa yang kupikirkan." Bisiknya.
.
"A Yu, tangan Wangji shishu bisa patah jika terus menggendongmu. Kemari~" ia hendak meraih putranya, namun Xiao Yu menggeleng dan malah semakin menempel di dada Wangji.
"No ma! Yu Dada!" Tangan gempalnya menepuk dada Wangji, wajahnya merengut protes.
"A Yu sejak kapan tidak mendengar mama? Hmm?" Ia menggelitiki perut Xiao Yu yang masih dipangkuan Wangji, otomatis membuat tubuhnya terlalu condong kedepan hingga ia harus sedikit berjinjit dari tempatnya.
Xiao yu bergerak heboh, mencari perlindungan dari Wangji.
"Ma, geyii.."
Wei Wuxian tertawa melihat putranya yang menggeliat lucu. "Ampun tidak?"
"Hihi, apun maa, apun."
Wei Wuxian terlalu bersemangat mengerjai putranya hingga hilang keseimbangan.
Dirinya terpeleset dan hapir ambruk menghantam meja.
Namun, bukan rasa sakit.
Melainkan sesuatu yang kuat melilit dipinggangnya.
Lan Wangji menahan pinggang Wei Wuxian dengan satu tangan.
Wajah keduanyapun hanya berjarak beberapa senti, sampai-sampai Wei Wuxian bisa menghitung jumlah bulu mata Lan Wangji yang lentik.
Keduanya terdiam.
Sampai suara Xiao Yu yang bertepuk tangan bersama gigglesnya membuyarkan keduanya.
Wangji melepaskan rangkukannya dan Wei Wuxian kembali duduk dengan benar ditempatnya.
Suasana canggung kembali terbentuk.
Wei Wuxian menunduk sedang Wangji kembali fokus pada Xiao Yu yang menatapnya dengan cengiran lebar.
Sepertinya anak itu menikmati pertunjukan barusan.
"Maaf." Cicit Wei Wuxian. Ia merasa malu.
"Wei Ying. Berhenti meminta maaf." Ujar Wangji.
"Tapi-"
Ia tak berani melanjutkan kalimatnya saat pemuda itu menatapnya tajam.
Ia merinding.
"Apa kafe ini milikmu?"
Wei Wuxian mencoba kembali bersikap santai. "Ya, tapi yang lebih berperan untuk mengelola tempat ini adalah Xingchen ge dan Song Lan ge. Aku lebih banyak mengacau."
"Aku tau."
"Apa?"
"Bukankah kau terkenal sebagai pengacau disekolah dulu?"
Wei Wuxian tersentak, "Lan Zhan! Jangan bongkar aibku didepan anakku!"
Lan wangji terkekeh.
Catat.
LAN WANGJI TERKEKEH!!
Wei Wuxian bahkan sampai silau dengan hal itu.
Seumur hidupnya, ia selalu penasaran dengan banyak hal.
Dan yang lebih membuatnya penasaran sejak dulu adalah bagaimana wajah pemuda itu jika tersenyum.
Ia memegang dada kirinya.
"Lan Zhan, jangan melakukan hal itu." Ia memperingati.
"Melakukan apa?"
"Kau.. kau, barusaja tertawa. Apa sebentar lagi dunia akan berakhir?"
Wangji mendengus, "berhenti bicara omong kosong."
Tuan muda Lan itu membenahi posisi Xiao Yu, anak itu sudah jatuh terlelap digendongannya.
"Sepertinya ini waktunya tidur siang."
Wei Wuxian mengecek jam tangannya, pukul 11.
"Ah, kau benar. Kemari, aku akan menidurkannya di ruang staff." Ia mengulurkan tangannya, namun Wangji malah berdiri.
"Biar aku saja. Dimana ruang staffnya?"
"Lan Zhan-"
"Wei Ying."
Wei Wuxian mengalah. Ia menuntun Lan Wangji menuju ruang staff dan menunjukan box bayi yang ada disana.
Ruangan itu tidak terlalu besar, dengan jendela luas berteralis.
Satu set sofa hitam, box bayi, juga keranjang tempat mainan. Seluruh ruangan dilapisi karpet beludru yang halus dan empuk.
Wangji menumidurkan Xiao Yu disana.
Wei Wuxian segera mengambil selimut yang tertata diatas meja di ruangan itu lalu menyelimuti putranya.
Selama beberapa saat ia mengelus kening putranya, untuk membuat tidurnya semakin nyenyak.
Wangji yang melihat pemandangan itu terpaku.
Di momen ini, ia seolah tak mengenali pemuda itu.
Wei Wuxian yang dikenalnya dulu adalah pemuda urakan yang sering berbuat onar.
Namun saat ini. Semua ingatannya tentang Wei Wuxian berubah.
Sosok itu telah bertransformasi menjadi sosok lembut keibuan.
Membuatnya semakin tak bisa melepaskan pemuda itu lagi.
Ia sudah bertekat.
Akan mengejar dan mendapatkan Wei Wuxian bagaimanapun caranya.
Ia taknmau kehilangannya lagi untuk kedua kalinya.
.
.