Ketika Wei Wuxian memutuskan untuk angkat kaki dari kediaman Jiang hingga melarikan diri ke luar negeri, sekalipun ia tak berpikir akan kembali ataupun bertemu dengan kenalan masalalunya.
Baginya, hidupnya bersama mereka telah berakhir saat itu, dan ia memutuskan untuk menutup rapat buku kehidupannya disana.
Ia tidak egois apalagi pengecut.
Wei Wuxian setiap hari mempertimbangkan semuanya.
Ia berpikir, jika ia kembali, bagaimana ia akan menjelaskan tentang putranya? Tentang kondisinya?
Terlebih, siapa ayah dari bayinya?
Ia tau pasti watak Madam Yu apalagi Jiang Cheng.
Jika ia kembali, bukan tidak mungkin mereka akan mengetahui rahasia gelapnya, bahwa Wei Wuxian telah melahirkan putra dari kakak iparnya sendiri.
Lalu bagaimana dengan perasaan Jiang Yanli?
Apa yang akan wanita itu lakukan jika mengetahui suaminya pernah tidur dengan adik yang selama ini ia rawat?
Bahkan hingga memiliki seorang putra.
Wei Wuxian tak akan pernah sanggup melihat kakaknya terluka apalagi dengan cara seperti itu.
Ia lebih nemilih membawa semua bebannya dan menyimpannya seorang diri.
Itu lebih baik.
Akan tetapi.
Sekarang
Tanpa pernah ia duga sekalipun,
Ia dipertemukan kembali dengan sosok sedingin es itu.
Salah satu kenalan dimasalalunya.
Ia tak pernah siap dengan pertemuan yang tiba-tiba seperti ini.
Maka tanpa ia sadari, Wei Wuxian melangkah mundur perlahan dan berbalik pergi.
"Wei Ying."
Sekali lagi suara Lan wangji menyebut namanya.
Suaranya datar, namun entah kenapa hatinya terasa teremas ketika mendengar suara itu memanggilnya.
Wei Wuxian terpaku, tangannya sedikit gemetar.
Ia berbalik menatap Lan Wangji.
Mata keemasan itu tertuju lurus padanya, seolah menusuk tepat kedalam bola mata abu miliknya.
Wei Wuxian tidak tau, tapi melalui tatapan itu, ia seolah bisa merasakan emosi yang membuncah dari Lan Wangji.
Membuatnya tenggelam, namun ia tak ingin menepi.
"Wei Ying, bagaimana kabarmu?"
Wei Wuxian tersadar dari lamunannya. Ia berkedip beberapa kali saat menyadari jaraknya dan Lan Wangji sudah terkikis jauh, ujung sepatu mereka bahkan hanya berjarak hitungan centi.
Wei Wuxian masih menatap wajah rupawan itu, membuatnya sedikit gugup dan canggung.
"A ah, ha ha. Lan Zhan. Aku baik. Bagaimana denganmu?" Hatinya sudah merutuk, kenapa ini sangat canggung?
"Baik." Jawab Wangji Singkat.
Keduanya kembali hening. Mata Wei Wuxian bergulir ke kiri dan ke kanan, mencoba memikirkan topik yang akan menghilangkan rasa canggung diantara mereka.
"Kau kuliah disini?" Tanya Wangji tiba-tiba.
Wei Wuxian tersentak, "apa? Ah, ya, aku kuliah disini. Kau juga?"
Wangji mengangguk kecil.
Ini masih sangat canggung. Wei Wuxianpun heran kemana pergirinya dirinya yang bebal seperti dulu? Yang senang menggoda Lan Wangji?
"Apa karena aura yang makin dewasa ya?" Ia berbisik pada dirinya sendiri.
Ia menggeleng kecil lalu berdehem. "Lan Zhan, mengejutkan bisa bertemu denganmu disini. Apa kau baru saja pindah?" Ia berusaha bersikap normal seperti yang Wei Wuxian dulu, meski pikirannya mulai kalut akan rahasia yang berusaha ia sembunyikan.
Akan semakin sulit jika Lan Wangji ada di kota yang sama dengannya.
Ia hanya berharap, Lan wangji tinggal ditempat yang sangat jauh.
"Mn. Aku baru masuk hari ini."
"Kau peelu bantuanku untuk ke kantor administrasi? Aku akan mengantarmu." Ia menawarkan diri bersama cengirannya yang khas.
"Mn."
Keduanya berjalanan beriringan masuk ke area kampus.
"Kapan kau sampai di Jerman?" Tanya Wei Wuxian.
"Seminggu yang lalu."
"Seminggu yang lalu? Dan kau baru masuk hari ini?" Wei Wuxian berlari kecil kehadapan Lan wangji dan berjalan mundir sambil menghadapnya.
"Aku harus mengurus dokumen kepindahanku dan menyelesailan administrasinya."
Wei Wuxian mengangguk kecil. Ia kembali berjalan disamping Lan wangji.
"Kenapa kau memutuskan sekolah disini? Aku yakin pamanmu tidak setuju. Dia tipe orang tua yang overprotecrive." Ia sedikit mendumel ketika menyinggung soal Lan Qiren, bagaimanapun, pak tua itu adalah salah satu kenangan buruknya disekolah.
Pak tua yang paling sering memberinya hukuman berat.
Untuk pertanyaan ini Wangji tak langsung menjawab.
Ia terdiam beberapa saat membuat Wei Wuxian heran.
"Lan Zhan?"
"Aku ingin mengejar gelarku disini."
Wei Wuxian hanya mengangguk.
Mereka telah sampai dikantor administrasi, Wei Wuxian tak ikut masuk, ia memilih menunggu Lan Wangji diluar.
Ia memainkan kakinya, jarinya mengepal.
Rasa khawatir kembali menyerangnya.
Bagaimana jika Lan wangji tau tentang kondisinya? Sedang ia tak bisa menghindari pemuda itu.
"Wei Ying."
Wei Wuxian menoleh, "kau sudah selesai?"
"Mn. Ini." Wangji menyerahkan kertas berisi jadwal kelas yang ia ambil.
Wei Wuxian meraihnya dan membacanya.
"Wah, kau mengambil semua kelas yang sama denganku. Lan Er Gongzi, apa kebetulan memang semengejutkan ini?" Wei Wuxian tersenyum jenaka, namun Wangji tak menjawab, ia mengambil kembali jadwalnya.
"Ck, Lan Zhan. Ini bahkan sudah dua tahun dan kau masih bersikap dingin padaku." Wei wuxian merengut jengkel.
Lan Wangji tak mendengar, ia berjalan menuju kelasnya.
Wei Wuxian menghentakan kakinya kesal dan menyusul Lan Wangji.
.
.
Kelas sudah berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Wei Wuxian menguap untuk kesekian kalinya, ia masih merasa ngantuk.
Semalaman ia tak bisa tidur nyenyak karena putranya sedikit rewel.
Wei Wuxian menelungkupkan kepalanyanya ke atas meja dan memejamkan mata.
Tak menyadari Lan Wangji yang diam-diam menatapnya. Tuan muda Lan itu bahkan berani mengabaikan professor yang sedang menerangkan teori didepannya.
Untuk saat ini, ia tak ingin kehilangan momen untuk melepas rindunya menatap wajah itu.
Dua tahun adalah waktu paling menyiksa baginya.
Ia seolah kehilangan tujuan hidupnya. Hatinya semakin dingin, wajah mono ekspresinya semakin beku.
Lan Wangji menjalani hidup tanpa arah.
Ia adalah salah satu manusia cerdas yang begitu dikagumi, namun sebuah perasaan bernama cinta sanggup membuat hidupnya jungkir balik seperti itu.
Hingga membuat Lan Qiren marah besar ketika mengetahui bahwa keponakannya telah jatuh cinta pada si pembuat onar nomor satu di akademi gusu.
Ia menghukum Lan Wangji dengan menarik semua fasilitas mewahnya, namun Lan Wangji tak pernah menyerah dengan perasaanya.
Meski seseorang yang ia cintai telah pergi, namun perasaanya seperti sesuatu yang telah melekat abadi.
Ia tak akan pernah bisa berhenti mencintai Wei Wuxian.
.
.
"Ah, tubuhku terasa sangat pegal." Wei Wuxian meregangkan tubuhnya, kelasnya sudah berakhir tanpa satupun hal yang ia tangkap.
Wei wuxian benar-benar tidur nyenyak di kelasnya.
"Lan Zhan, tumben sekali kau tidak membangunkanku? Jika di SMA dulu kau pasti sudah menghukumku membersihkan ruangan kelas."
"Kau ingin aku hukum?"
"Tentu saja tidak!!" Ia menjerit tak terima.
Lan Wangji diam diam tersenyum sangat tipis; sampai tak disadari siapapun saking tipisnya, ia suka ekspresi Wei Wuxian yang berlebihan seperti itu.
Mereka berjalan ke arah halte bis.
"Kau menunggu bis disini?" Tanya Wei wuxian.
"Mn."
"Lan Zhan, aku masoh tak percaya bisa bertemu denganmu disini."
"Apa itu buruk?"
Wei Wuxian tersentak, "tidak, tentu saja tidak. Aku hanya... sedikit terkejut." Ia memelankan kalimat terakhirnya.
"Anggap saja takdir." Cicit Lan Wangji pelan.
"Apa?"
"Bisnya sudah datang."
Ia menarik tangan Wei Wuxian dan memilih bangku di ujung bis. Mereka duduk berdampingan.
"Lan Zhan, apa ada hal yang terjadi disana?"
Wangji mengerri maksud 'disana', ia menoleh ke atah Wei Wuxian yang sibuk melihat keluar jendela bis.
Menatap mata itu lewat pantulan kaca.
"Banyak hal yang terjadi, Wei Ying."
"Seperti?"
Diam sejenak.
"Pernikahan Nona Jiang dan Jin Gongzi."
"Lalu?"
"Kelahiran putra pertama Nona Jiang dan Jin Gongzi."
Wei Wuxian menoleh menatap Wangji, "kenapa semuanya harus tentang Jiang dan Jin?" Ia merengut.
"Lalu kau mau mendengar tengang siapa?"
Wei wuxian terdiam.
"Apa shijie baik-baik saja?"
"Mn. Dia baik."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki."
"Namanya?"
"Jin Ling."
Wei wuxian mengangguk. "Syukurlah. Anak itu pasti sangat tampan." Ia tersenyum kecil.
Namun Wangji bisa melihat kilat kesedihan disana, meski sangat samar.
"Wei Ying."
"Lan Zhan, aku berhenti didepan." Wei wuxian membenarkan tasnya dan turun ketika bis berhenti dihalte dekat rumahnya.
Ia mengernyit heran.
"Lan Zhan, kenapa mengikutiku?"
"Aku tidak mengikutimu."
"Lalu?"
"Rumahku juga berada dijalan ini."
Wei wuxian tersentak. Apa ini juga sebuah kebetulan?
Kenapa hal-hal mengejutkan selalu terjadi padanya secara bertubi-tubi?
"Ma.. ma.."
Wei Wuxian merasa jiwanya melayang. Ia mendapati A Qing, adik Xiao Xingchen tengah menggendong putranya dan membawanya kearahnya.
Apa rahasianya akan terbongkar secepat ini?
Jiwanya mencelos ketika ia mendapati A Qing yang melambai ceria kearahnya dan menoleh menatap Lan Wangji dengan ekspresi datarnya.
"Xian Gege, kau sudah pulang?"
Lutut Wei Wuxian terasa lemas. Ia mengangguk lemah ketika gadis itu sudah berdiri dihadapannya.
"Ma.." A Yu mengangkat tangannya, meminta untuk digendong.
Wei Wuxian meraihnya. Ia tak berani menatap Wangji.
Apa yang harus ia jelaskan?
Ia ingin berbohong tentang identitas putranya, tapi..
Ia tak sanggup.
A Yu tak memiliki siapapun selain dirinya. Jika iapun tak mengakui A Yu sebagai putranya, ia akan sangat egois.
Wei Wuxian menggigit bibirnya kecil, "A Qing, kau pulanglah duluan."
Gadis kecil itu mengangguk dan melambai.
Hening.
Lan Wangji pasti merasa kaget saat seorang bayi berumur satu tahun memanggilnya mama.
"Siapa namanya?"
Wei Wuxian tersentak kaget.
Ia tak pernah berpikir bahwa itu akan menjadi pertanyaan pertama seorang Lan Wangji.
"Xiao Yu, Wei Xiao Yu."
Wangji mendekatinya dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi gempal itu.
"Dia sangat lucu."
Wei Wuxian masih menatap Wangji dengan lekat. Ekspresi pemuda itu tampak teduh."
"Lan Zhan, apa kau tidak ingin bertanya?"
"Tetang?"
"Tentang Xiao Yu, dan kenapa dia memanggilku mama?" Ia merasa was was karena telah bertanya demikian.
Wangji beralih menatapnya, "Wei Ying, jika kau tak mau mengatakan apapun maka jangan katakan. Aku juga tidak akan bertanya hal yang tak ingin kau bicarakan."
Wei wuxian tak tau, jika Lan Wangji memiliki sisi yang seperti ini.
Selama ini, ia selalu menilai bahwa laki-laki itu hanyalah manusia es tanpa hati yang sering menghukumnya.
Dan sekarang, kenapa kalimat yamg diucapkan dengan nada sedatar itu bisa membuatnya terharu begini?
"Dada.."
Keduanya kaget.
Suasana haru seketika pecah.
Wei Wuxian menunduk menatap putranya yang sudah menjulurkan tangan kearah Wangji.
Tapi bukan itu, yang membuatnya shock adalah kata yang diucapkan Xiao Yu.
Apa katanya?
Dada?
Apa anak itu baru saja memanggil Lan wangji dengan sebutan ayah?
.
.