Chapter 14 - Vague Hope

Pertandingan telah selesai. Jeanne terduduk di sebuah pohon dekat ladang rumput yang sangat luas pada malam hari. Dia bersandar di pohon tersebut sambil memandang rembulan yang bersinar begitu terang.

Percikan api, hembusan angin malam, dan cerahnya sinar rembulan membuat kondisi yang cocok untuk bersantai di malam hari. Jeanne Abigail tenggelam dalam khayalannya sendiri. Mukanya yang sedih itu mengatakan semuanya.

"Ada apa Jeanne ? Tumben sekali kamu ingin beristirahat." tanyaku sambil keluar dari semak-semak sambil membawa beberapa kayu bakar.

Jeanne membuang wajahnya. Dia mengusap-usap wajahnya kemudian melirikku seperti biasa. "Ah tidak... Hanya saja aku sedikit kelelahan."

Aku mendekatinya. Membawa beberapa kayu bakar dan menaruhnya di sampingku begitu aku terduduk dekat dengan Jeanne. Perlahan-lahan aku bakar kayu itu satu persatu sehingga api unggun tidak menjadi padam.

Momen ini tidak pernah aku sangka akan terjadi. Biasanya Jeanne begitu bersemangat apabila menyangkut dengan petualangan. Namun saat aku menatap wajahnya di atas tebing sebelumnya, aku merasakan hawa yang berbeda dari Jeanne.

Dia..... terlihat seperti wanita yang biasa-biasa saja.

Mudah untuk bahagia, mudah untuk tertawa, dan juga mudah untuk putus asa. Rasanya seperti ada seseorang yang menarik Jeanne jauh dariku. Mungkin suatu saat, Jeanne akan meninggalkanku karena dia telah kehilangan tujuannya. Untuk apa dia hidup, untuk apa dia bertarung, dan juga untuk apa dia menanggung beban seorang High Priestess.

"Hei, Jeanne. Kenapa kamu bisa menjadi seorang High Priestess ?" tanyaku.

"Bukannya itu sudah jelas, karena akulah penyihir dan seorang ahli sihir terhebat di dunia ini." jawabnya hampa.

"Bodoh. Itu lebih terdengar seperti Magician tahu."

"Ahaha... maaf telah mengelabuimu." Jeanne tertawa kecil.

Lagi-lagi dia bersikap seperti itu. Senyuman palsu yang ditujukan untuk menghibur seseorang. Aku sangat membenci orang-orang yang seperti itu. Terutama ketika mereka melakukannya hanya untuk mendapatkan perhatian dariku.

"Aku bersungguh-sungguh..." kutatap Jeanne dengan tajam. "...Kenapa kamu bisa menjadi seorang High Priestess ?"

Jeanne menundukkan pandangannya. Senyumannya patah dan dia kehilangan nafsu untuk berbicara. Meskipun begitu, dia tetap menjawab, "Aku punya banyak sekali pengikut. Mereka telah bersumpah setia kepadaku dan aku telah memberikan rumah kepada mereka. Namun, aku telah mengecewakan mereka."

"Dimana mereka sekarang ?"

"Di dunia para roh. Mereka semua adalah roh orang yang sudah meninggal. Atau lebih tepatnya, orang berdosa yang telah aku bunuh."

"Kau..... membunuh mereka ?"

"Iya aku membunuh mereka. Karena mereka jahat jadi ya sudah aku bunuh saja."

"Lalu bagaimana soal penyucian yang Pan katakan kepadamu ? Menurut perkataanya, bukankah kau telah mensucikan Ibu mereka ?"

Jeanne menyeringai, "Tentu saja semua itu bohong. Namun, aku tidak sepenuhnya berbohong. Orang-orang yang aku bunuh menggunakan sihir Ieros Prosopiko milikku mendapatkan kedamaian bagai telah disucikan. Menarik bukan ?"

Aku terkejut begitu mendengarnya. Bukan karena aku pertama kali mendengarnya namun ini karena Jeanne mengatakannya langsung kepadaku. Sebuah masa lalu yang kelam yang hanya diketahui oleh dirinya dan mungkin tidak ingin disebar luaskan. Namun dia mengatakannya dengan jelas kepadaku.

Jeanne memanglah bukan gadis sembarangan. Dia mungkin terpilih karena tekadnya yang kuat juga kekuatannya yang luar biasa. Dengan begitu, tidak mungkin Jeanne akan terlihat seperti gadis biasa saat ini. Karena gadis biasa akan langsung menggantung dirinya ketika mengalami semua hal yang dialami Jeanne. Seseorang memang ingin menarik Jeanne dari genggamanku.

"Terus kenapa Jeanne ? Kenapa kau terlihat begitu ingin menikahiku ?"

Jeanne Abigail terbelalak begitu mendengarku mengucapkannya. Dia seakan-akan tidak percaya bahwa aku akan mengatakan hal seperti itu. Namun pada kenyataannya, aku memang bersungguh-sungguh mengatakan hal seperti itu.

"Jangan bodoh ! Kau itu---"

"---Aku hanyalah serangga yang suka mengusik kepalamu ! Lalu kenapa kau masih menunjukkan ekspresi semacam itu. Katakan kepadaku..... apakah kau masih mengingat tujuanmu ikut berpetualang denganku ?" aku memotong pembicaraannya.

Jeanne berdiri kemudian menampar pipiku dengan sekuat tenaga. Suaranya begitu nyaring karena kami berada dekat dengan padang rumput yang begitu tenang.

"Jangan katakan itu kepadaku... Aku sangat ingin MELUPAKANNYA !" teriak Jeanne sambil mengeluarkan air mata.

Dia sudah berada di ujung tanduk. Air matanya itu merupakan bukti bahwa Jeanne yang aku kenal sudah menghilang. Akan tetapi, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Setidaknya aku harus bisa membuat dirinya kembali ke sampingku.

"Melupakan ? Apa maksudmu melupakan ? Harapan semua orang yang telah kau tanggung mau kau lupakan begitu saja ? Jeanne....."

"Apa...? Melupakan ? Memangnya apa yang ingin aku lupakan ? Siapa yang pertama kali berkata ingin melupakan ?" Jeanne menjawab dengan nada bingung sambil marah.

Suasana sekelilingku tiba-tiba berubah. Jeanne yang tidak aku kenal tiba-tiba menghilang. Air mata yang barusan dikeluarkan Jeanne menjadi kering. Sebenarnya apa yang terjadi ? Aku merasakan keganjilan lagi.

"Aku tidak akan pernah melupakan mereka lo, August. Semua harapan yang telah diberikan kepadaku terutama mendiang Ibuku tidak akan pernah aku lupakan. Meskipun aku telah mengecewakan tiga bersaudara itu namun aku tidak akan pernah melupakan harapan tersebut-----"

Aku mulai bingung. Apa yang sebenarnya terjadi ? Tiba-tiba saja Jeanne bersikap aneh seperti itu. Akan tetapi, Jeanne juga terlihat kebingungan begitu aku menceramahinya.

"---Memangnya siapa yang mau melupakan hal penting seperti itu." sambung Jeanne.

"Itu kau. Kau yang barusan mengatakannya padaku."

"Perasaan aku tidak pernah berkata seperti itu kepadamu loh, koboi pasir."

"Aku tidak mungkin salah sangka. Kau benar-benar mengatakannya."

Jeanne terdiam. Dia menatapku dengan aneh. Seketika dia membuang nafasnya dan tertawa terbahak-bahak. "Ahahaha aku tahu itu. Kau sedang mengerjaiku kan ? Kau merasa kasihan kepadaku kemudian kau ingin menghiburku kan ? Ahahaha."

Ini sungguh aneh. Dia sama sekali tidak mengingat apapun yang diucapkannya barusan. Bahkan, dia dapat tertawa dengan bebas seperti itu. Keganjilan ini bisa-bisa membuatku gila tanpa kusadari.

"Jangan tegang begitu ayolah aku sudah tertawa." ujar Jeanne sambil mengipas-ngipas lengannya, "Kalau begitu hanya satu jawabannya....."

Jeanne berdiri kemudian meregangkan punggungnya. Suara tulang-tulang yang dipatahkannya nyaring di telingaku. Sekali lagi, Jeanne meregangkan tubuhnya kemudian mengambil nafas dalam-dalam.

"Kalau kamu tegang begitu, coba perhatikan aku baik-baik ya."

Di balik bajunya. Jeanne menyimpan pisau berukiran warna merah yang dibaca "darah". Pisau itu terlihat begitu tajam dan mengerikan karena ukiran berwarna merahnya. Dalam ukirannya itu, pasti ada sihir yang telah ia tanamkan.

Seketika Jeanne memotong urat nadinya menggunakan pisau itu. Darah menyembur sangat deras begitu ia memotongnya. Jeanne kesakitan sehingga menjatuhkan pisaunya dan terduduk memegangi lengan yang ia sobek.

Aku sontak terkejut melihat aksi gilanya. Kini, bukan hanya aksi gila yang aku lihat. Namun percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang penyihir sekaligus ahli sihir terkuat. Langsung saja aku mendekatinya untuk menolongnya.

"Apa-apaan kau ini ! Apa kau sudah gila ?!"

Hendak aku pasrah melihat kondisi Jeanne saat itu. Perkiraanku bahwa dia akan bunuh diri pada saatnya ternyata akan secepat ini. Jeanne yang aku kenal telah pergi dan meninggalkanku. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan berpetualang secepat ini dengannya.

"Aku memang orang gila, August. Namun aku tidak gila seperti yang kau bayangkan..."

"Kenapa..... Kenapa kau melakukan ini ?"

"Dengarkan aku baik-baik." Jeanne menarik kerahku dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Segera..... Aku akan berada dalam ambang kematian. Dan ketika saat itu telah tiba, aku akan kehilangan kesadaranku dan memasuki dunia roh. Tolong lindungi tubuhku ini dan jangan kau berbuat yang aneh-aneh....."

Tubuh Jeanne mulai lemas. Dia mulai melepaskan genggamannya yang kuat dan terjatuh dengan sendirinya. Tanpa aku sadari darahnya itu masih mengalir sampai saat ini.

"Jeanne !" aku memangkunya dengan kedua tanganku seperti tuan putri.

"Berkatmu... sekarang aku tahu apa yang telah merubah sifatku ini."

"Sudah cukup jangan berbicara lagi. Darahmu masih mengalir."

"Tidak apa... Dengan begitu aku bisa di ambang kematian dengan cepat. Ketika saat itu telah tiba, aliran sihir Ieros Prosopiko akan menyembuhkanku dengan sendirinya. Karena itulah..... Terima kasih... aku mengandalkanmu."

Aku telah salah sangka kepadanya. Dia memanglah Jeanne Abigail yang aku kenal. Tidak lengkap rasanya apabila dia tidak menunjukkan kegilaannya. Terutama pada hal kekuatannya. Aku tahu dia bukanlah penyihir biasa.

Jeanne tahu bahwa dia telah diserang. Meskipun musuhnya adalah hal gaib atau tidak, dia pasti mengetahuinya. Karena itulah, dia mencoba bunuh diri. Musuh yang menyerangnya pasti berada dalam tubuhnya. Tidak ada kemungkinan lain selain salah satu dari rohnya yang menjadi pengkhianat.

Karena itulah aku akan membantunya semampuku agar dia bisa selamat bertarung disana. Aku menidurkannya dekat dengan kudaku karena kudaku memiliki perut yang hangat. Pendarahannyapun sudah terlihat mengecil. Tongkat sihir Ieros Prosopikonya telah hilang dari sampingnya dan menjadi kabur.

"Dia berhasil... masuk ke alam sana."

Aku terduduk sambil memegang pedang rapierku membelakangi api unggun. Kali ini aku akan menjaga Jeanne yang sedang tidur terlelap. Semoga saja aku kuat tahan mengantuk sepertinya.

.

.

.

.

.

Pada akhirnya, West August tertidur dengan posisi duduk tegak seperti orang yang berjaga. Tak ada orang yang dapat membedakan dia tertidur atau tidak karena topi koboinya menghalangi mata.

Sementara itu pendarahan Jeanne telah berhenti. Tanganya pulih kembali seperti biasanya. Putih dan mulus seperti anak kecil tanpa adanya bekas luka.

Seseorang menatap mereka dibalik kegelapan malam. Dia membawa pedang yang besar dan memakai baju zirah untuk perang seperti ksatria. Banyak luka di wajahnya menandakan bahwa dia telah mengalami pertempuran yang jauh lebih banyak dari kebanyakan orang.

Orang itu bergerak perlahan. Suara baja yang bertubrukan dari zirahnya, nyaring pada malam hari. Membuat para satwa bangun dan menjauhi dirinya. Matanya merah, rambutnya gimbal kecoklatan, dan setengah wajahnya ditutupi oleh masker yang terbuat dari besi. Setiap orang itu melangkah, tumbuh-tumbuhan yang di sekitar kakinya mendadak layu.

Pedang besar yang dibawa olehnya terlihat begitu berat sehingga membuatnya bungkuk. Terdapat pahatan tengkorak dibagian kenopnya. Dan juga.....

Aura kegelapan menyelimuti pedang tersebut.

Bersambung