Chereads / Arcadian Crusader : Great Flower Plain / Chapter 20 - A Hunters Dream

Chapter 20 - A Hunters Dream

"Jeanne..... jangan kau melupakan ambisimu. Karena aku tahu..... amibisimu itu benar adanya."

"Tidak tidak tidak..... Jangan tinggalkan aku lagi kumohon jangan ada yang meninggalkan aku lagi...."

Aku menangis. Seorang pria yang baru saja aku kenal, telah mati di hadapanku. Lagi-lagi, orang-orang yang aku cintai meninggal di hadapanku. Ironisnya, mereka semua mati karena telah melindungiku.

"Hiduplah.... untukku..." tangan pria itu tergeletak lemas. Matanya menatap wajahku dengan kosong. Badannya juga telah kosong tak berjiwa.

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Merengek bagaikan bayi yang ingin meminum susu. Hatiku sudah tidak kuat dengan kejamnya dunia ini. Kenapa setiap orang yang mencintaiku dan aku mencintai mereka selalu mati dihadapanku.

"Hiduplah ! Hiduplah ! HIDUPLAH !!!"

Dengan obat-obatanku, aku rasa bisa membangkitkannya kembali. Aku mencoba berbagai obat yang ada di penyimpananku. Kubasahi dadanya yang berlubang dengan salah satu obatku. Akan tetapi, tak lama kemudian, hujan turun membasahi kami berdua. Aku pun sadar bahwa aku tidak bisa mengembalikan jiwa yang telah pergi meninggalkan tubuhnya. Obat-obatanku mengalir dibawa pergi oleh air hujan itu.

"Tidak tidak tidak tidaaaakkk !" Aku menangis kembali. Berteriak karena aku merasa begitu gagal. Sekarang, aku tidak bisa membedakan lagi yang mana air mataku dan yang mana air hujan. Namun, apakah air mataku itu sebenarnya sudah mengering ?

Semua kejadian yang aku lalui terasa seperti sebuah mimpi. Banyak sekali kejadian mengerikan juga memilukan bagaikan mimpi buruk. Apakah sebenarnya selama ini aku hanya bermimpi ? Dan saat aku tertidur, aku itu ternyata telah bangun dari mimpiku ? Realita yang aku alami tidak ada jauh bedanya dengan sebuah mimpi buruk.

Mimpi atau bukan itu semua tidaklah penting. Aku hanya perlu mencari targetku dimanapun mereka berada meskipun mereka telah dinyatakan punah. Itu karena, hanya inilah tujuan hidup yang aku punya.

Sebuah mimpi pemburu ini tidak pernah padam. Hingga semua orang yang aku kenal telah meninggalkan diriku sendirian. Seperti halnya dengan orang yang mati di hadapanku ini.

Dulunya dia adalah seorang pemburu yang hebat. Dan pemburu yang hebat itu sebenarnya memburu diriku ini. Akan tetapi, dia malah mati untuk melindungi targetnya sendiri. Betapa ironisnya pria malang ini.

Akankah aku berakhiran sama seperti dia juga ?

Tiba-tiba, hujan telah berhenti karena aku dinaungi oleh sebuah payung. Air-air hujan itu sudah jarang mengenai kami berdua lagi. Pada akhirnya, dia bisa beristirahat dengan tenang tanpa dibasahi air hujan ini.

Tanganku mulai lemas. Aku menggunakan semua kekuatan yang kupunya untuk menutup matanya. Hanya matanya saja, tubuhku sudah tergeletak menimpa tubuhnya yang mencoba untuk beristirahat.

Pandanganku memudar. Perlahan-lahan aku tutup mataku. Waktunya aku kembali, bangun dari mimpi pemburu yang mengerikan ini.

"Jeanne... betapa malangnya dirimu. Penyihir kecil sepertimu telah mengemban banyak beban sendirian. Bahkan kau telah ditinggalkan oleh orang-orang yang kau sayangi."

+---+---+---+---+

"Jeanne. Sarapan pagi telah siap. Ayo buka matamu."

Seseorang memanggilku dari kegelapan. Sebuah kegelapan yang diciptakan oleh kelopak mataku. Perlahan-lahan aku buka mataku dan melihat sekitar. Badanku dipenuhi perban akibat dari pertarunganku kemarin. Waktu berlalu dengan cepat, kini aku telah melihat matahari pagi kembali.

Temanku duduk di sebelahku sambil membuka plastik makanan. Dia mengeluarkan dua buah nasi bungkus dari dalamnya. Aromanya tercium wangi sekali hanya dengan membukanya saja. Aku sepertinya tahu apa yang ada dalam nasi bungkus tersebut.

"Mau aku suapi pakai sendok atau pakai..."

"Sudah jangan suapi aku ! Aku masih kuat." ujarku sambil terdengar kesakitan.

Fionna Hana, seorang teman masa kecilku yang setia menemani petualanganku hingga saat ini. Dia memiliki nasib yang sama denganku. Kehilangan rumah dan orang-orang tersayangnya. Namun beruntungnya dia, dia masih memiliki aku. Dan aku juga masih memilikinya.

Saat aku bangun dari posisi tiduranku, seketika tubuhku merasa dingin. Telat aku menyadarinya, bahwa aku setengah telanjang dan hanya ditutupi oleh perban saja. "Hei ! Dimana bajuku ? Dan juga, kenapa kau menelanjangiku ?"

"Apa kau lupa ? Kau sudah babak belur kemarin dan tubuhmu itu banyak yang berlubang sehingga aku harus menutupinya." ujar Hana sambil cemberut. "Nasib baik kau masih hidup hingga saat ini."

"Tapi kau tidak harus... baiklah lupakan saja."

Ah aku lupa. Saking sedihnya kejadian kemarin itu sampai membuatku lupa bahwa tubuhku juga berlubang-lubang. Akan tetapi, kekuatan Ieros Prosopiko telah menjagaku hingga saat ini. Rasa sakit itu benar-benar sudah tidak terasa.

"Kemarin ? Apakah itu benar kemarin ?"

"Ahahaha..... Tentu saja tidak. Kau telah terlelap selama tiga hari."

Itu sudah biasa. Namun beruntung sekali, aku masih bisa hidup selama aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Ah aku lupa lagi, sekarang sudah tidak ada pemburu itu lagi yang selalu mengejarku. Apakah aku bisa hidup dengan damai mulai dari sekarang ?

Kubuka nasi bungkus itu kemudian aku menemukan sebuah makanan yang luar biasa. Itu adalah nasi kuning, sarapan favoritku. Langsung saja aku lahap memakannya karena perutku sangat lapar.

"Oi pelan-pelan dong. Habiskan dulu yang ada di mulutmu. Memangnya pencernaanmu baik-baik saja ?"

"Kalau aku sudah lapar, semua bisa kumakan." jawabku sambil mengunyah.

"Dasar Jeanne. Kau tidak berubah sama sekali."

Aku menghabiskan sarapanku dengan cepat. Nasi kuning di pagi hari memanglah nikmat. Lebih nikmat lagi apabila dimakan bersama teman terbaikmu yang telah menemanimu hingga saat ini. "Terima kasih....."

"Ah tidak usah sungkan, Jeanne. Aku lebih kaya daripada yang kau pikirkan. Jadi tidak usah sungkan."

"Terima kasih..... telah menemaniku hingga saat ini."

Rasa sedih menyelimuti perasaanku. Air mataku menetes tanpa aku sadari tanpa aku sadari. Akan tetapi, sedih karena ditinggalkan itu begitu menyakitkan. Aku tidak bisa menahannya begitu saja.

Fionna kemudian mendekatiku dan duduk di sebelahku dikasur. Dia memelukku untuk menenangkan diriku. Entah kenapa, tapi dia selalu mengetahui kelemahanku. Akupun menangis dipundaknya karena tidak sanggup menahan bebanku selama ini.

"Tidak apa, Jeanne. Kau boleh menangis sesuka hatimu." Fionna menepuk-nepuk punggungku. "Aku tahu perasaanmu dan aku tahu kau lebih kuat dariku. Karena itu buat aku lebih bangga, tahanlah tangisanmu."

Kami berdua lahir di tempat yang sama. Kami berdua dibesarkan di tempat yang sama. Dan kami berdua sama-sama menanggung kesedihan yang sama. Itu karena, kami tinggal di kota yang sama dan dihancurkan bersama-sama.

Namun mengapa dia menganggapku lebih kuat darinya ? Itu karena, aku selalu mencintai kedua orang tuaku dan tak pernah meluputkan senyuman kami. Dengan artian, kami adalah keluarga bahagia. Namun semua itu hancur seketika dalam satu hari yang mengerikan.

Kini, tinggal Hana yang tersisa di sampingku. Kita adalah anak yang telah ditinggalkan karena Bencana Besar.

"Jeanne ! Jeanne ! Ayo lihat kesini."

Aku menatap Fionna yang sedang memanggilku ke lantai atas sebuah penginapan. Dia melambai-lambaikan tangannya sambil menaiki pagar yang menghalangi agar tidak ada yang terjatuh. Rambutnya yang diterpa angin membuatku teringat akan seseorang. Tapi dimana ?

Perlahan-lahan, aku mencoba berjalan mendekatinya. Aku berjalan menggunakan tongkat sihirku sebagai kaki penahan. Tak lama kemudian, aku sampai di sampingnya.

"Lama banget sih. Jalan tuh yang bener."

"Hei !"

Fionna tertawa. Dia sangat suka sekali mengejekku. Sampai-sampai, kakiku yang sakit ini dijadikan bahan ejekannya. Namun, seperti itulah sosok teman yang aku sangat harapkan.

Aku menengokkan kepalaku ke jalanan di kota. Kota ini begitu tenang dan juga ramai. Tak ada kegaduhan sama sekali sejauh mata memandang. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak melihat kota yang seperti ini.

Para petualang yang lelah berdatangan dengan rasa bahagia. Bagaikan air yang ditemukan di tengah gurun, mereka nampak senang sekali. Para pedagang disini juga menjual barang-barang yang cukup bagus dan berguna sehingga memikat para petualang yang datang.

Kota ini begitu misterius. Entah mengapa orang ingin berjualan disini padahal kota ini tidak terlalu besar. Orang-orang yang datang juga merupakan petualang biasa. Tidak ada yang spesial dari mereka.

"Hei, Fionna. Kemana kau membawaku ?"

"La Giustizia. Aku menemukannya tidak lama setelah menguburkan pria itu."

Jadi begitu, Fionna menemukan hal yang indah nan berguna lagi. Sudah tak bisa diragukan lagi, Fionna dari kelas penyihir geografi tingkat A. Bakatmu memanglah keuntungan bagi kami. "Kenapa kau bisa tahu Fionna ? Setahuku tidak ada tempat yang namanya seperti itu di sekitar Hasta La Vista."

"Memang. Karena kota ini tidak ingin disebarluaskan begitu saja."

Aku tidak menjawab lagi. Mataku terpaku kepada sebuah gunung yang menjulang di belakang Fionna. Seseorang terdengar memanggilku dari sana. Goyangan pohon-pohon berwarna pink itu bisa aku lihat dari sini. Rasanya aku pernah melihatnya sebelumnya.

"Hei !" Fionna mengejutkanku.

Lamunanku langsung buyar seketika. Suara orang yang memanggilku sudah tidak terdengar lagi. Mungkin itu memanglah khayalanku namun aku merasa ingin kesana sekarang.

"Kamu ini kenapa ? Ayolah jangan melamun terus."

"Aku ingin kesana....." aku menunjuk ke arah gunung tersebut.

"Oh ! Itu adalah gunung Atlas Ijiraq. Katanya apabila kau masuk ke daerah gunung tersebut, maka kau tidak akan pernah bisa kembali lagi kecuali dengan sihir terbang. Apakah kau tertarik ?"

"Iya tentu saja. Seseorang terdengar memanggilku dari sana."

"Oke kalau begitu." Fionna melompat kemudian mengelilingiku dan berdiri di belakangku. Aku berbalik dan melihat wajahnya. "Setelah kaki dan badanmu sembuh mari kita kesana." Fionna tersenyum.

Tak lama kemudian, kepalaku merasa sakit. Senyumannya itu mengingatkanku kepada sesuatu yang ingin aku lupakan. Perlahan-lahan ingatan itu kembali dan meracuni otakku. Kepalaku begitu sakit namun badanku tidak bergerak sama sekali.

Wajahku tersenyum kepadanya. Aku tertawa mendengar topik pembicaraan Fionna. Akan tetapi, kepalaku begitu sakit. Tubuhku tak bisa kugerakkan sama sekali. Mereka hanya bergerak mengikuti suasana.

Aku mengingat kejadian ini. Kejadian ini terjadi sebelum aku kehilangan Fionna untuk selamanya. Fionna diculik dan dimutilasi di depan mataku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi. Akan tetapi, aku tidak bisa mengeluarkan suaraku. Tubuhku bergerak tak sesuai yang aku harapkan. Aku hanya bisa melihat diriku berbincang bahagia dengan Fionna. Kumohon berhentilah.....

Petir menyambar. Hujan badai membasahiku bersama kepala Fionna yang terpisah dari tubuhnya. Aku memeluk dengan erat kepala tersebut dan berteriak sekencang-kencangnya.

Air mataku mengalir lagi. Lagi-lagi aku kehilangan orang yang aku cintai. Hidupku telah rusak disegala sisinya. Hanyalah kekuatan yang besar yang aku miliki namun aku tidak bisa menyelamatkan siapapun.

Merengek seperti bayi, kini tidak ada siapapun yang bisa menenangkan bayi yang menangis ini. Dia ditinggalkan sendirian di dunia yang luas tanpa bantuan orang lain. Hanya mengandalkan alam, agar dia bisa tetap hidup.

Kini anak bayi itu menjadi malapetaka bagi orang yang menentangnya.

+---+---+---+---+

Badanku berkeringat. Aku terbangun dari tidurku karena mimpi buruk. Mimpi itu benar-benar bukanlah mimpi yang indah. Bisa-bisanya demamku ini memicu ingatan yang sangat ingin aku lupakan.

Dan sekarang, aku mengingatnya kembali.

"Fionna....." aku mengepalkan tanganku.

Tak lama kemudian, aku sadar. Aku tidak berada di ranjangku. Melainkan aku berada di ranjang August yang bisa-bisanya dia tertidur dengan kondisi terjepit tubuhku.

August memegang bajuku ketika tertidur. Susah bagiku untuk melepaskannya karena dia menggenggamnya begitu kuat. Jadi aku putuskan membuka bajuku dan membiarkan dia menggenggamnya. Aku tidak ingin mengganggunya yang sedang tertidur dengan lelap.

"Kenapa sih aku harus melindur ke ranjang August segala..... sungguh demam sialan." ujarku sambil memakai baju penyihirku yang lainnya.

Terima kasih, August. Berkatmu aku bisa melupakan semua kejadian yang ingin aku lupakan. Dan maafkan aku, karena telah mengingat semua kejadian itu kembali berkat demamku.

Sekarang aku harus pergi dan mencari petunjuk mengenai aura Celestial yang membuatku demam beberapa jam yang lalu. Maaf aku harus meninggalkanmu karena kau akan menjadi beban dariku untuk sekarang.

Kusimpan surat ini agar kau tahu keberadaanku. Untuk sekarang selamat tinggal.

Bersambung