Mataku kini masih terpejam. Rasanya begitu berat bahkan hanya untuk menggerakkan kelopak mataku.
Bledarr!!
Praangg!!
Suara apa itu? Apa terjadi ledakan seperti dulu? Aku jadi ingat tentang ledakan itu. Bibi Kecil Nana mengira ledakan di laboratorium itu karena kebodohanku. Tapi sebodoh-bodohnya aku, aku tak mungkin membahayakan nyawaku sendiri, bukan? Itu konyol.
Aku memang tak sengaja menumpahkan minuman dekat kabel-kabel aneh. Namun, itu tak akan masalah jika tak ada percikan api. Entah percikan api dari mana hingga membuat kabel-kabel itu mengalami konslet. Aku yang begitu syok hanya bisa tertegun melihat percikan api merambat dari satu kabel ke kabel lain hingga terjadi ledakan.
Dan saat itu juga, aku pasrah jika pada akhirnya tubuhku hancur dalam ledakan itu. Namun, aku melihat cahaya yang menyilaukan. Sesosok wanita dengan rambut berwarna Lilac seolah muncul begitu saja.
Aku merasakan dekapan lembut seseorang itu. Dekapan yang membuat kobaran api seolah menjadi matel hangat yang menyelimuti tubuhku. Aku tak tahu sosok itu hingga pada akhirnya aku kehilangan kesadaran.
Traang!!
Prank!!
Astaga, suara itu mengangguku lagi. Sepertinya aku harus membuka mata saat ini juga. Walau berat, aku akan berusaha. Kuhela napas dulu sebelum akhirnya berhasil membuka mata yang indah ini.
Kini, aku seperti berada di sebuah kamar hotel. Astaga, bagaimana mungkin?! Bukankah aku berada di tepi Sungai Lava sebelumnya?
"Aku harus melenyapkan wanita ini sebelum ia melahirkan makhluk terkutuk itu, Lizen!" teriak lelaki berambut hitam legam yang menyatu dengan kegelapan saat ini.
Lelaki itu mengarahkan pedangnya tepat ke seorang wanita yang terlelap tidur di ranjang.
Aku tak dapat melihat wajah wajah itu. Rambut panjangnya menutupi seluruh wajah. Apa yang terjadi padanya? Bahkan, hanya selimut yang menutupi tubuhnya. Ini seperti adegan di JAV yang biasa Gilang tonton. Di bawah ranjang juga tergeletak lelaki tanpa busana lainnya. Entah siapa mereka ini.
Sebelum pedang lelaki berambut hitam tadi mengenai wanita itu, sosok lain menahan pedang tadi dengan tangan kosong. Pria ini berambut keperakan. Rambutnya berkilau saat terpapar sinar rembulan yang tembus dari jendela kaca di kamar hotel ini.
"Aku tak akan membiarkanmu menyentuhnya bahkan sehelai rambut pun, Ryu!" ucap lelaki yang dipanggil Lizen tadi.
Mata perak Lizen tajam berkilat. Rambut panjangnya berkibar mengikuti arah angin. Dia terlihat begitu keren, bahkan saat peluh menetes dari pelipisnya karena masih menahan pedang itu.
Sangat berkharisma, tampan, dan sedikit misterius kurasa. Apakah aku boleh menjadi penggemarnya?
Andaikan saja dia ayahku, pasti sudah kupamerkan saat festival tahunan di sekolah.
"Bukankah sudah kubilang, kita hanya butuh energi kehidupan mereka, Lizen! Jangan sekali-kali mencintai mangsamu kalau kau tak ingin terluka!" bentak lelaki berambut hitam tadi.
Sepertinya Lizen sangat marah saat ini. Ia melemparkan begitu saja pedang yang sejak tadi ia tahan.
Ia mengangkat tangannya di udara, sebilah pedang semerah darah kini sudah berkilau di tangannya.
"Aku akan melindungi wanitaku bahkan jika harus melenyakanmu, Ryu!" ancam Lizen, pria yang berambut putih keperakan tadi.
Ryu menyeringai. Ia melesat ke atas dan mengarahkan pedangnya yang tajam di ujung dan pangkalnya ke arah Lizen.
Terjadi pertarungan sengit di antara mereka. Herannya ke mana saja penghuni hotel lainnya? Lalu, kenapa juga aku harus terjebak di situasi ini?
"Aku telah memasang pembatas, jadi para manusia tak akan bisa memasukinya. Jadi, marilah kita akhiri semuanya di sini, Lizen!" ucap Ryu.
Ryu kembali mengumpulkan tenaga dan menyalurkannya pada pedang. Pedang milik Ryu memancarkan api hitam yang begitu menakjubkan.
Lizen menangkis setiap serangan Ryu dengan remeh menggunakan satu tangan, lalu mendorongkan tangannya ke arah Ryu.
Ryu terpental dan pedangnya terlempar jauh. Benar-benar tak dapat diremehkan kekuatan Lizen ini.
Lizen melesat, secepat sambaran kilat. Menghujamkan pedangnya tepat ke lengan Ryu.
"Kau hanyalah pecundang, Ryu. Kemampuan bertarungmu masih beberapa tingkat di bawahku. Yang kau bisa hanyalah mengendalikan pikiran. Dan saat ini, tak kan kuberi kau kesempatan bahkan sekedar mengacaukan pikiranku." Lizen berucap.
Lizen mencekik Ryu dengan sangat kejam. Aku dapat melihat tubuh Ryu gemetaran. Napasnya terengah-engah.
"Hentikan!" ucapku spontan saat melihat kekerasan itu. Aku sepertinya sudah tak sanggup melihat ini semua. Darah mengucur dari lengan Ryu. Lehernya kini juga masih berada dalam cengkeraman kuat Lizen.
"Siapa kau, hah?" teriak Lizen yang menyadari keberadaanku. Ini sungguh aneh. Kalaupun ini mimpi kenapa ini begitu nyata bagiku.
"A-aku aku Joon, hehehe. Maaf telah mengganggu. Tapi aku tak tahu kenapa aku bisa berada di sini," ucapku kikuk. Semoga mereka tak marah karena aku mengganggu pertarungan mereka.
Lizen melepaskan leher Ryu. Ia berjalan menghampiriku dengan langkah berat. Apa aku akan dibunuhnya? Ah sial!
Kenapa aku harus ikut campur, coba?
"Aakkhh!"
Sialan! Lizen menjambakku dengan kejam.
"Kalau kau sudah tak berkepentingan lagi, segera tinggalkan tempat ini!" bentak Lizen padaku.
Sejenak ia menatap mataku. Aku melihat perubahan dari ekspresinya, seperti ekpresi keterkejutan yang maha dahsyat. Apa ia sedang mengagumi mata indahku? Atau mungkin sebenarnya ia mengenalku?
Duagh!
Tiba-tiba kepala Lizen di hantam sikut Ryu dengan keras.
Ryu membenturkan kepala Lizen ke lantai. Aku dapat mendengar suara 'prak' saat kepala Lizen membentur lantai hingga retak.
Apa aku telah membuat Lizen lengah baru saja? Ah, maafkan aku, Lizen!
Lizen terkapar dengan darah mengucur dari kepalanya. Aku sungguh kasihan melihatnya.
Awalnya, aku merasa iba pada Ryu, tapi sekarang jadi kasihan pada Lizen. Entah sebenarnya aku memihak siapa? Baiklah, aku memang remaja yang labil.
Kini aku mundur beberapa langkah saat Ryu menghampiriku. Mata oranyenya tajam dan berkilat, seolah dapat membunuh hanya dengan sorot mata yang tajam itu.
Ah, aku ingin keluar dari sini. Aku benar-benar takut saat ini. Papa! Ayah! Daddy! Otousan! Kalian di mana?
"Untuk apa kau ikut campur, Manusia Bodoh!" ucap Ryu sambil memiringkan kepalanya.
"A-aku nyasar, Om. Jadi aku akan segera pergi. Maaf ya, sudah mengganggu!" Aku membungkuk sebelum pergi meninggalkan arena ini.
"Tunggu! Karena kau sudah terlanjur melihat ini semua, jadi kau harus ikut lenyap di sini bersama Lizen."
Suara itu terdengar begitu mengerikan.
Ada tangan kekar yang menarik bahuku. Belum sempat aku berbalik, aku sudah melihat tubuh Ryu terpental. Lizen menghajar Ryu dengan sisa tenaga yang ia miliki. Wah, dia benar-benar pahlawanku.
Lizen menghampiriku kembali. Kini ia berdiri tepat di hadapanku. Rambut keperakannya menerpa wajahku saat terkena angin.
Harum, halus sangat berbeda dengan rambut ayah yang selalu bau dan kotor. Lebih dari itu apa dia sedang berusaha melindungiku saat ini?
Apa aku boleh memeluk idolaku ini?
Greb!
Kutak mampu menahannya. Aku memeluk Lizen dari belakang. Entahlah, ini gerakan refleks. Aku seperti begitu merindukan sosok Lizen ini.
Brugh!
Tubuhku terdorong ke belakang hingga membentur tembok. Lizen sialan! Dia baru saja mendorongku.
"Berani sekali kau menyentuhku, hah?! Kau hanya makhluk rendahan. Jadi, jaga batasanmu!" Lizen teriak-teriak enggak jelas.
Dasar aneh! Padahal aku hanya sedikit memeluknya. Kenapa reaksinya berlebihan seperti itu? Apa dia punya Mysophobia? Benar-benar aneh.
"Lizen, awas!" teriakku saat melihat Ryu sudah berada di belakang Lizen.
Lizen berbalik. Ryu mencengkeram kedua lengan Lizen. Mata tajamnya menyorot langsung ke mata keperakan milik Lizen.
Aku tak tahu apa yang dilakukan Ryu saat ini. Yang pasti setelah sekian menit mereka saling bertatapan, tiba-tiba tubuh Lizen melemas. Ia jatuh tersungkur ke lantai. Apa dia baru saja dihipnotis?
Malangnya nasibmu, Lizen!
Ryu memegang dahi Lizen. Tubuh Lizen mengeluarkan kabut putih keperakan. Semakin lama kabut itu semakin banyak dan perlahan meninggalkan tubuh Lizen.
Sudah beberapa menit, kabutnya semakin menipis dan kini menghilang.
Anehnya, rambut keperakan Lizen berubah hitam seiring kabut dari tubuhnya yang menghilang.
Kini rambut hitam Lizen menutupi wajahnya. Aku tak bisa melihat lagi tampangnya yang rupawan tadi. Apa ia sudah mati?
"Lizen bodoh! Kekuatanmu sudah kuserap seluruhnya. Setelah ini kau akan menjadi makhluk rendahan yang namanya manusia. Hahaha, aku sudah lama menantikan saat ini, Lizen.
Tapi tenang saja, Adikku! Suatu saat nanti aku akan mengembalikan kekuatanmu hanya untuk satu tujuan, melenyapkan anakmu sendiri. Buwahahah ...." Ryu tertawa seperti orang kesetanan. Benar-benar norak.
"Apa kau sedang memcemoohku, Manusia?"
Aku tersentak saat Ryu berteriak seperti itu. Apa dia bisa membaca pikiranku.
Dengan seringaian yang mengerikan, dia menghampiri. Aku terus mundur beberapa langkah.
"J-jangan m-makan a-aku, Om! D-dagingku gak enak," ucapku terbata.
Swoosshh!
Ryu mengayunkan pedangnya ke udara dan mengarahkannya tepat ke leherku.
Aku merasakan tubuhku melayang. Bukan, tapi lebih tepatnya kepalaku yang melayang di udara.
Aku masih bisa melihat tubuhku tergeletak di lantai dengan darah muncrat dari leher. Beberapa detik di udara, kini aku merasakan kepalaku jatuh menggelundung di dekat Lizen.
Rambut Lizen tersibak angin, kini aku bisa melihat wajahnya. Wajahnya sangat mirip dengan Ayah Jaya versi remaja.
Ingin rasanya aku memanggilnya 'Ayah', namun pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap.
Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku sempat melihat dua sosok bayangan di sudut gelap ruangan ini. Itu adalah ...
Miryu!!