Aku membawa nampan berisi 5 minuman dan beberapa waffle ke meja nomor ....
"Astaga! Kenapa mereka semua ada di sini?"
"Kenapa, Joon?"
"Paman, ini biar kuantar ke meja yang lain saja, boleh ya?"
"Kau bercanda? Itu kan pesanan gadis-gadis yang berada di meja nomor enam."
"Assh! Baiklah!" Aku mengantar pesanan ke meja nomor enam. Semoga mereka tak mengenaliku. Setelah meletakkan pesanan mereka, aku buru-buru balik ke dapur.
"Fiuuhhh ... hampir saja."
"Arjun, antar ini lagi ke meja nomor tujuh!" Kini giliran Paman Ujang yang ganti memerintah.
"Aku sibuk, Paman."
"Jangan banyak alasan! Cepat antar atau paman adukan pada ayahmu?!"
"Haish, iya. Iya."
Aku mengantar pesanan kembali ke meja nomor 7. Para gadis di meja nomor 6 juga masih mengawasiku. Aku meletakkan pesanan di meja dan berbalik.
"Tunggu, Tuan!" Salah satu dari mereka memanggilku. Haduh, tante-tante ini.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?"
"Kenapa hidung Anda ditutupi seperti itu?"
"Apa Anda sedang bercosplay?"
"Apa Anda mengidap flu mematikan yang menyeramkan akhir-akhir ini?"
"Atau Anda terlalu malu karena muka Anda jelek?"
"Atau mungkin gigi Anda tonggos ke depan?"
Pertanyaan dari kelima tante tadi bertubi-tubi, dengan pertanyaan yang sungguh tak berbobot.
"Ini hanya agar saya terhindar dari virus, Kak," jawabku asal.
"Tidak mungkin! Pasti Anda menyembunyikan sesuatu di balik masker itu kan?"
Mereka masih penasaran rupanya.
"Buka sendiri atau kami yang memaksanya? Apa yang Anda sembunyikan di balik masker itu, heh?" ucap tante yang mengecat rambutnya warna coklat tua, cukup keras hingga membuat para pelanggan menoleh ke arah kami.
"Sebenarnya aku ..." Aku sengaja menggantung kalimat untuk menarik perhatian mereka. Aku membuka masker dan berucap, " menyembunyikan KETAMPANANKU."
Aku mengibaskan rambut dan menyisirnya menggunakan jari, membuat para gadis, tante, kakak berteriak histeris.
"Gyaa! Tampannya!" teriak mereka, bersamaan. Baiklah, aku memang mempesona dari sejak lahir kok.
"Huwow, sini duduk bersama tante, Dek!"
"Jangan! Duduk sama kakak saja sini! Nanti kakak traktir makan!"
"Gyaaaa! Tau gitu dari tadi kami ingin kau layani, Anak Manis."
Itu suara tante yang ada di meja nomor 7 tadi.
Tunggu! Aku melupakan para gadis yang berada di meja nomor 6. Sejenak aku berbalik ke arah mereka dan ....
"Gyaaa! Huwaakh, JOON-CHAN! Aku merindukanmu!"
Kelima gadis-gadis itu langsung mengerubungiku seperti lebah yang mengerubungi madu. Aku memang manis, kuakui itu. Tapi, kumohon jangan seperti ini di sini, Kawan!
"Hey, lancang! Dia itu Joon milikku!" Yang Sisca mendorong Winda.
"Sejak kapan, hah!" elak Winda.
"Jangan sok kenal, Jalang! Aku dan Joon lebih dulu menjalin hubungan daripada kau!"
Itu suara Mona sambil menunjuk-nunjuk Shintya.
"Cih! Hanya tiga bulan pebih dua hari saja bangga!!" Shintya tak mau kalah.
"Hentikan! Joon pasti lebih memilihku! Jadi, kalian menyerah saja!" Kali ini suara milik Rena.
Mereka pun akhirnya terlibat pertengkaran yang tak elit seperti biasanya karena memperebutkanku. Asal tahu saja, kelima gadis itu adalah barisan para mantanku saat duduk di bangku SMP. Mereka memang bersahabat setelah putus dariku. Kurasa mereka punya komunitas 'mantan kekasih Joon-chan'. Jangan salah, biarpun kata orang aku manja sekali di rumah, tapi kalau soal memikat hati perempuan, beuuh aku jagonya. Entahlah, aku juga tak paham itu. Sepertinya dalam diri ini tersembunyi kemampuan memikat hati perempuan.
Tapi, masihkah mereka mengidolakanku setelah tahu fakta sebenarnya? Fakta bahwa aku kalau di rumah manjanya tidak ketulungan. Oke, aku memang baik, imut dan tampan. Tapi, selama ini aku hanya berusaha baik saja pada semua teman perempuanku. Entah kenapa, mereka selalu saja menyalah artikan perhatian ino. Jadi, bukan salahku, kan?
Ah, entahlah! Peduli amat!
Aku lebih memilih menghindar dan kabur ke dapur.
Oh dengarlah, bisikan para tante dan para kakak itu!
"Oh ... jadi nama anak manis tadi Jun?"
"Kyaaa! Aku mau operasi plastik saja agar terlihat seumuran dengan anak manis itu."
"Aku ingin jodohkan dia dengan putriku saja"
"Ah, kalian sadar umur, oi! Aku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin mengadopsinya."
"Oi! Sama saja itu! Intinya kamu tetap menginginkannya!"
Dan masih banyak bisik-bisik yang tak penting lainnya. Tahu begini, aku pakai saja maskerku sampai pulang nanti.
Tampan itu relatif, namun ketampanan yang terpancar dari seorang Arjuna Raizaski ini adalah beban. Beban yang harus ditanggung seorang yang tampan sepertiku lebih berat dari beban orang jelek ataupun orang susah. Ini bukan narsis, tapi ini kenyataan.
Sejak aku duduk di kelas 1 SMP, semua gadis di sekolah memperebutkan diri yang tak berdosa dan polos ini. Bahkan, ibu guru yang masih single pun selalu memperlakukanku dengan istimewa. Aku bukan siswa yang pandai, bahkan IQ-ku pun standard. Sering bolos sekolah, sering dapat nilai merah, bahkan tidak pandai dalam bidang olahraga. Entah kenapa, mereka begitu mengidolakanku. Apa aku memiliki demonic charm?
Aku masih ingat, waktu itu setiap hari aku akan mendapat pernyataan cinta dari seorang siswi, loker penuh dengan tumpukan surat cinta, memiliki banyak stalker, mendapat cokelat melimpah saat hari Valentine. Bahkan, aku akan menjual cokelat itu kembali bersama Gilang, hahaha otak dagang papa menurun padaku sepertinya.
Dan itu semua menjadi beban menurutku. Jangan bilang aku kurang bersyukur! Aku tetap selalu mensyukuri semua anugerah Tuhan yang diberikan padaku kok.
Dahulu, itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi diri ini. Aku bukan tergolong pria yang pandai memperlakukan perempuan dengan baik padahal. Aku cenderung kasar terhadap mereka. Justru menjadi Joon yang dingin, cuek, kejam menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Entahlah, aneh bukan selera teman-temanku itu? Banyak teman lelaki yang menjuluki diriku sebagai fakboy, termasuk Gilang asal kalian tahu, dia itu memang pengkhianat. Semua mengira aku suka gonta-ganti pacar padahal mereka saja yang menyalahartikan perhatianku. Kalian juga pasti pernah, kan? Namanya juga pubertas, benar?
Tapi itu dulu, saat ini aku merasa kalau ini adalah waktu yang tepat untuk berubah. Aku berencana untuk menjadi anak yang baik dan berbakti pada ketiga ayahku.
Oh iya, mengenai honorofik -chan yang mereka sematkan pada namaku, itu memang karena aku lahir di Jepang. Jadi, mereka lebih sering memanggilku 'Joon-chan' daripada 'Arjun' saja.
"Joon-chan! Apa mau Winda bantu nyuci gelas?" ucap Winda salah satu mantanku dengan manjanya.
"Tidak perlu!" ketusku.
"Gyaaaa! Kejamnya sungguh keren!!" Itu masih suara Winda.
"Joon-chan, Jae-in traktir makan yuk!"
"Aku sudah kenyang tau!"
"Huwaahh ... dinginnya membuat hatiku meleleh," seru Mona dengan mata berbinar seolah aku sedang memujinya kalau dia gadis tercantik di dunia.
Aku sungguh heran, kenapa mereka bisa begitu? Ini adalah trik yang kupelajari dari konsultan orang tampan, Papa Kevin. Trik menjadi pria 'badass'. Dia itu sebenarnya tidak jomblo, dia hanya tidak ingin menjalin suatu hubungan. Itu membuat papa terkekang katanya.
Kebanyakan gadis itu menyukai pria yang misterius, cuek, dingin dan sedikit angkuh. Dan itu semua dapat ditemukan pada diri Joon-chan.
"Joon-chan!"
Astaga, bahkan semua mantanku kini sudah memenuhi dapur cafe. Aku menjentikkan jariku. Aha! Aku punya ide.
"Baiklah, aku akan jalan dengan kalian, tapi lakukan sesuatu untukku!" ucapku sambil tersenyum miring ala om-om antagonis di drama yang sering ditonton daddy. Tentu saja ditanggapi dengan suka cita oleh mereka.
***
"Yeay~! Gak perlu kerja!" sorakku gembira sambil menyembulkan kepala ke jendela atas mobil sport milik Gilang.
"Mau kemana kita, Joon?"
"Kemana lagi? Seperti biasanya lah!" ucapku sambil mengedipkan mata ke arah Gilang.
"Hahaha, aku mengerti, Kawan," sahut Gilang masih dengan seringaian ala psikopat yang lagi marak di perindustrian film negeri tetangga itu.
Kami pria keren memang menjadikan mereka sebagai panutan. Walau kami sebenarnya tahu, kami itu lebih keren dari mereka saat kami dewasa nanti.
Ini bukan narsis, ingat? Ini adalah upaya untuk menanamkan kepercayaan diri.
***
Aku bersantai, duduk di tepi dermaga sebelum para gadis lai mengerubungiku kembali. Mereka terlibat aksi saling dorong dan tanpa sengaja mendorong tubuhku hingga ....
Jebuurr!!!
Bersambung ....