Chereads / Arcadian Crusader : Great Flower Plain / Chapter 19 - La Giustizia #2

Chapter 19 - La Giustizia #2

Malam telah tiba.

Lampu-lampu kota telah dinyalakan. Lentera, obor, dan lampu listrik semuanya dinyalakan untuk meramaikan suasana kota. Orang-orang keluar di malam hari untuk merayakan sebuah festival. Sebuah festival yang tidak aku ketahui sama sekali.

Mereka berjualan berbagai macam makanan disini. Sate-satean, permen kapas, panekuk, dan berbagai macam makanan lainnya hingga takoyaki juga ada disini. Orang-orang disini juga tidak hanya menjual makanan, ada yang menawarkan permainan untuk mendapatkan keuntungan disini.

Aku disini berjalan-jalan sebentar sendirian sambil menikmati suasana festival. Entah festival apa yang akan diramaikan disini namun aku menikmatinya sebisa mungkin dengan membeli sosis bakar dan membawakan permen apel untuk Jeanne. Sayang sekali dia tidak mau keluar dan menikmati pemandangan yang luar biasa ini.

Tak lama kemudian, aku bertemu dengan Jack dan adiknya Masviel. Mereka sedang berjalan berduaan sambil memakan permen kapas. Pakaian yang mereka kenakan juga cukup santai untuk sebuah festival.

"Hoi, Jack ! Masviel !" panggilku sambil melambaikan tangan.

Mereka menengok. Kemudian mereka mendekatiku dengan wajah yang berseri-seri seakan tidak percaya aku masih ada disini. "Tuan August, saya tidak mengira anda akan bermalam disini." ujar Jack.

"Bukankah anda punya tugas penting yang diberikan Sang Raja ?" tanya Masviel.

"Tentu saja aku punya. Tugas itu tidak boleh dianggap remeh meskipun sangat simpel. Harus ada pengetahuan dan informasi yang cukup demi bisa menyelesaikannya." ujarku menceramahi. "Karena itulah aku disini untuk mengumpulkan informasi tersebut."

"Tulis itu Masviel, tulis itu."

"Tenang saja, kakak. Aku sudah merekamnya di otakku."

Mereka nampak antusias dengan apapun yang aku bicarakan. Kebetulan ada mereka disini, aku akan menanyakan apapun tentang festival ini. "Apakah kalian tahu festival apa yang sedang berlangsung ini ?"

Tiba-tiba, setelah aku bertanya, wajah mereka nampak bingung. Seolah-olah mereka memang tidak tahu apa yang sedang aku tanyakan ini. "Festival ?" Jack bingung.

Tak lama kemudian, Masviel tertawa kecil. "Ahahaha.... Tuan August, sepertinya saya tahu apa yang anda maksudkan. Kota ini tidak melakukan festival sama sekali saat ini. Hanya saja, kota ini memang seperti ini di malam hari."

"Oh itu ! Kami melakukannya demi menarik dan membuat pendatang nyaman dengan kota ini. Anda tahu, kota ini memiliki daya tariknya sendiri yang membuat pengunjung berdatangan, seperti barang-barang kami yang berkualitas. Namun di sisi lain, kami juga tidak mau pengunjung kecewa karena kami harus pindah ke tempat yang tidak mereka sangka lagi. Atau bisa disebut, kota ini sebenarnya Nomaden." ujar Jack menjelaskan.

Nomaden ? Orang-orang ini berpindahan dengan membawa kotanya ? Bagaimana itu bisa dilakukan sementara kota ini sudah lumayan besar. Berbagai pertanyaan mengelilingi otakku. Kota ini ternyata cukup ganjil dari yang aku bayangkan. "Bisa kau jelaskan, bagaimana kalian bisa berpindah dengan kota yang sebesar ini ?"

"Oh itu mudah saja. Selama ada batu yang bersinar di tengah kota itu dan menggunakan kekuatan unik walikota kami, semua bisa dilakukan olehnya. Dan juga, yang menjaga batu itu adalah Walikota sendiri." jawab Jack.

"Akan tetapi, Tuan August. Mengenai hal itu, hanya sampai disana kami bisa menjelaskannya. Sebagiannya adalah rahasia." ujar Masviel. "Ah ! Tapi kalau Parade ada di kota ini tiga hari lagi. Saya harap anda bisa menyaksikannya."

"Walikota juga akan ikut berpidato disana." ujar Jack.

Ini melebihi ekspektasiku. Tidak disangka bahwa kota ini cukup keramat hanya karena batu tersebut. Aku tidak sabar ingin melihat seperti apa wajah walikota yang memimpin kota ini. "Baiklah aku hargai usaha kalian menjaga amanat kota ini. Kalau begitu sampai jumpa nanti, aku akan melanjutkan pesanan yang dititipkan Jeanne kepadaku."

"Baiklah sampai jumpa lagi, Tuan. Titip salam kami kepada Nona Jeanne." ujar Jack.

Aku berjalan melewati mereka berdua kemudian melambai-lambaikan tanganku di udara tanpa melihat wajah mereka. Ini saatnya aku belanja ke toko sihir dan membeli apa yang Jeanne titip kepadaku.

Toko sihir pada umumnya buka dua puluh empat jam karena penyihir tidak biasa tidur selama beberapa hari sebelum mereka kelelahan.

+---+---+---+---+

"Jeanne ! Aku kembali."

Aku buka pintu kamar kami berdua menginap. Jeanne terlihat sedang memahat sebuah pisau dengan paku yang telah dicampuri cairan berwarna merah. Nampak gerah, Jeanne hanya memakai baju dalam dan celana pendek. Ototnya menonjol begitu dia memukulkan palunya ke paku tersebut sedikit demi sedikit.

"Apa kau membawa barang yang aku suruh ?" tanya Jeanne.

"Tentu saja. Ini ambillah." jawabku sambil melempar botol berisikan cairan yang berasap-asap.

"Terima kasih." Jeanne menyiram cairan itu dengan perlahan ke ukiran yang ia pahat. Seketika ukiran itu bersinar sesuai cairan yang diukir oleh Jeanne. "Sekarang aku selesai. Aku telah membuat sekitar dua puluh empat pisau dengan efek beragam. Ku harap kau bisa menggunakannya dengan bijak, August."

"Tidak, bukan aku tapi kita."

"Kau sangat perhatian rupanya."

Jeanne kemudian berdiri dan memakai bajunya kembali. Dia mengambil handuk dan peralatan mandinya. "Hei, August. Mau ikut mandi di pemandian air panas ? Aku dengar mereka punya yang seperti itu disini."

Aku tidak pernah menyangkanya. Ternyata kota ini lebih asyik dari dugaanku. Langsung saja aku terima tawaran Jeanne yang diberikan kepadaku. "Oh ! Aku membelikanmu permen apel sewaktu aku dalam perjalanan."

"Whoa kau ternyata tahu apa yang aku suka. Sudah lama sekali rasanya aku tidak dibelikan ini oleh ib---" Jeanne termenung sejenak. "Ah lupakan ! Permen ini akan lebih enak apabila dimakan di pemandian sana."

"Kau benar. Aku juga akan makan sosis bakar ini disana."

Kami berdua kemudian berjalan bersama menuju pemandian air panas. Jeanne berjalan disisiku dengan anggun. Sementara itu, aku berjalan disampingnya terlihat seperti penjaga pribadi Jeanne.

Tak lama kemudian, kami sampai di tempat pemandian air panasnya. Tempat pemandian itu terpisah untuk laki dan perempuan. Dengan begitulah kami terpisah dan mandi di tempat masing-masing. Aku berjalan ke lorong sebelah kiri dan Jeanne ke sebelah kanan.

"Baik sampai jumpa August. Nanti kita bertemu disini lagi ya."

"Oke....." ujarku sambil berjalan dan melambaikan tangan di udara tanpa menengoknya.

Aku masuk ruang ganti pria, membuka bajuku, dan berendam di kolam air panas yang cukup panas. Dinginnya malam hari membuat pemandian ini begitu cocok untuk menghangatkan badan. Kurendam seluruh tubuhku dan sejenak, mencoba untuk menghilangkan beban dalam pikiranku.

Tak lama kemudian, aku tiba-tiba merasakan sebuah keganjilan disini. Mataku terbuka kemudian mengamati orang-orang yang berendam satu kolam denganku. Ada seorang laki-laki berambut silver panjang, mengenakan handuk sampai dada di kolam air panas ini. Tatapan matanya menggangguku sejak tadi. Akupun mengacuhkannya dan menutup mataku mencoba tenang.

"Ah enaknya air panas ini....." aku bergumam.

Gelombang air mendekatiku. Seseorang sepertinya datang menghampiriku. Mungkinkah itu adalah laki-laki yang dari tadi menatapku ? Kalau iya sepertinya aku harus cepat-cepat menjauh. Aku sama sekali dan tidak akan pernah tertarik dengan sejenisku. Bahkan aku akan membunuh mereka apabila perlu.

"Hei, laki-laki berhidung belang. Jangan mengabaikanku dan lihatlah mataku. Ada orang yang ingin berbicara denganmu loh...." seseorang mengajakku berbicara.

Suara itu lembut seperti seorang wanita. Akan tetapi, suaranya berat bersamaan. Siapakah orang yang ingin berbicara denganku ini ? Dia sangat menggangguku saat aku ingin tenang. Sifatku ini tiba-tiba menyerupai Jeanne.

Pada akhirnya, aku membuka mataku. "Ya ? Ada apa ? Aku bukanlah laki-laki berhidung belang jadi cepatlah berbicara."

Aku tiba-tiba terkejut. Laki-laki yang barusan menatapku itu tiba-tiba duduk di sampingku. Kulitnya itu begitu putih dan mulus seperti wanita. Akan tetapi, otot-otot di tubuhnya menandakan dia adalah seorang lelaki jantan.

Hawa-hawa keganjilan menusuk-nusuk tubuhku. Aku merasakan firasat buruk tentang lelaki ini.

"Aku mencium bau wanita di tubuhmu. Katakan kepadaku, apakah kau seorang playboy atau semacamnya ?" tanya lelaki tersebut.

"Apakah kau pernah diajarkan sopan santun ? Pertanyaan itu sangat menggangguku." jawabku kasar sambil mengerutkan alisku

"Aku bisa anggap itu sebagai jawaban tidak. Ya kalau begitu aku bisa tenang berendam di sebelahmu. Aku tidak suka berendam sendirian."

"Cobalah untuk tidak menggangguku, oke ? Saat ini aku hanya bisa meladeni pertanyaan ringan."

Lelaki itu kemudian mengangguk dan duduk berendam di sampingku. Dia menyandarkan punggungnya kemudian menatap bintang-bintang di langit dengan santai. Jujur saja, dia sama sekali tidak menggangguku. Malahan aku lebih suka apabila ada seseorang yang menemaniku juga.

"Hei... Wanita itu, apakah dia pacarmu ?" tanya laki-laki itu.

"Bukan... Dia hanya teman satu petualangku saja." jawabku.

"Kau menyukainya ?"

"Tidak... secara perasaan. Iya secara kehebatannya. Dia sangat berharga bagiku karena selalu berguna untukku."

"Kalau dia mendengar pasti dia akan marah. Bukankah begitu ?"

"Tidak. Aku sangat mengenalnya."

"Benarkah ?"

"Tidak..."

Aku membuka mataku lagi dan menatap langit-langit. Kebetulan sekali langit sedang cerah malam ini. Mataku habis dicuci olehnya. "Boleh aku tahu namamu ?" aku bertanya.

"Tidak." dia menjawab.

"Kenapa ?"

"Belum saatnya."

"Kenapa ?"

"Ada banyak orang. Aku tidak menyukai apabila tiba-tiba ada orang yang memanggilku tanpa aku tahu dirinya."

"......." aku terdiam.

Kami terdiam kembali. Merasakan panasnya kolam air panas ini. Suhunya benar-benar membuat tubuh kami rileks.

Tak lama kemudian, laki-laki itu berdiri. Dia keluar dari kolam air panas dan bersiap untuk membilas badannya. "Aku pergi duluan ya. Semoga malammu menyenangkan."

"Ya, sampai jumpa. Begitu juga dirimu, kawan."

"Oh iya aku lupa mengatakannya." Lelaki itu menengokkan kepalanya, "Perhatikan terus Jeanne baik-baik selama tiga hari ke depan."

"Iya iya....." jawabku santai.

Tiba-tiba aku terkejut. Badanku langsung keluar dari kolam air panas ini dan aku mencari keberadaan lelaki tersebut. Akan tetapi, aku kehilangan jejaknya dan dia tidak berada di kamar mandi manapun.

Kenapa dia bisa tahu nama Jeanne padahal aku sama sekali tidak memberi tahunya. Mungkin bisa saja karena Jeanne itu terkenal meskipun tak banyak orang yang mengetahui tampangnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa aku berduaan dengan Jeanne itu sudah terlalu jauh.

Segera aku membilas tubuhku dan keluar dari pemandian ini. Namun saat aku hendak meninggalkan pemandian ini, aku teringat pesan Jeanne agar menemuinya di lobi. Aku tidak menemukannya dimana-mana. Mau bagaimana lagi, aku harus menunggunya keluar dari pemandian wanita.

Namun tak lama kemudian, ada seorang nenek penjaga pemandian ini memanggilku. "Tuan Muda, apakah kau lelaki yang bersama gadis kecil itu ? Dia menitipkan surat kepadamu."

Aku ingin sekali mengambil surat itu dengan cepat. Akan tetapi, alangkah tidak sopannya aku karena bersikap dingin kepada nenek tua yang tersenyum kepadaku tersebut. Jadi kuambil surat itu dengan perlahan dan menjawabnya dengan ramah, "Terima kasih, Nenek."

Langsung saja aku baca surat itu dengan cepat. Sesuai dugaanku, Jeanne sudah pulang terlebih dahulu ke penginapan. Dia menitipkan surat ini sebagai gantinya. Pasti dia sudah menyadarinya dari tadi.

Akupun memberi salam kepada nenek itu kemudian keluar dari pemandian dengan perlahan. Namun saat aku di luar, aku langsung menggunakan sihir anginku agar bisa sampai ke penginapan dengan cepat. " ! ! Mourning Gale ! ! "

Angin bertiup dengan tajam. Aku dapat melesat menuju penginapan dalam waktu yang cukup singkat. Akan tetapi, perasaanku tidak enak. Hatiku berdegup kencang saat aku akan membuka pintu kamar.

Jeanne..... Aku harap kau tidak seperti yang aku bayangkan. Menyendiri di kamar sambil tersenyum tanpa sebab. Kau memeluk lutut kakimu sambil gemetaran. Bulu kudukmu juga hingga berdiri tanpa sebab yang aku tidak ketahui. Semoga saja tidak seperti itu.

Aku memberanikan diriku untuk membuka pintu kamar kami. Bagaimanapun kondisinya, aku tidak boleh panik melihat Jeanne yang panik. "Jeanne apa kau baik-baik saja ?" ujarku begitu aku membuka pintu.

Dia sama sekali tidak baik. Badan Jeanne ditutupi selimut dan dia menutup matanya. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya seperti panda. Suhu tubuhnya panas sekali begitu aku menyentuh dahinya. "Jeanne bangunlah, aku sudah di sini."

Tak lama kemudian, Jeanne membuka matanya. Dia terlihat lemah saat menatap wajahku. "Aku menemukannya, August. Aku menemukannya....." ujar Jeanne perlahan-lahan.

"Menemukan apa ? Dan kenapa kau bisa demam seperti ini ?" tanyaku panik.

"Celestial... Aku menemukan Celestial."

"Mustahil. Mereka sudah punah seratus tahun yang lalu." aku membantah. Jeanne mungkin telah dihipnotis sampai bisa-bisanya dia mengatakan sesuatu yang tidak benar adanya. Namun kebanyakan cerita dari petualangannya adalah mengenai memburu Celestial. Mungkin saja dia benar-benar menemukannya kali ini.

Jeanne tidak menjawab. Kesadarannya kemudian menghilang begitu saja, terlelap tidur. Melihat botol yang diminumnya, dia sepertinya telah meminum obat. Semoga saja kau cepat sembuh seperti biasanya.

Akupun hendak pergi ke ranjangku yang terpisah dua setengah meter darinya. Ku simpan topiku dan kubuka jaket kulitku dan mulai berbaring di kasur. Tak lupa aku lepas sepatuku karena itu sangat menggangguku saat tidur.

"Sepertinya aku harus sudahi dulu hariku disini. Tubuhku benar-benar dibuat rileks oleh air-air panas tadi."

Aku balik tubuhku membelakangi Jeanne. Perlahan-lahan kesadaranku menghilang. Akupun tertidur dengan pulas bagaikan orang yang baru tidur selama beberapa bulan. Segar rasanya aku bisa tertidur selelap ini lagi.

+---+---+---+---+

"Selamat datang, Nona Muda. Bagaimana ? pemandian anda di kolam air panas tadi."

"Satu pesan telah disampaikan. Tinggal menunggu waktu kapan kami bisa bertemu. Hubungan antar ibu dan anak perempuannya."

"Saya sangat menunggu rencana hebat anda, Nona."

"Berhentilah memujiku seperti itu. Aku hanya bertindak sesuai keinginanku. Itu saja."

Bersambung