KITA HANYA BUTUH JEDA…..
Menjalin sebuah hubungan ada kalanya memang kita harus mengambil jeda. Jeda bukan berarti berkahir.
Walau ditengah jeda, rindu terus menghampiri. Namun aku seolah menepisnya. Aku tidak ingin larut dalam bayang – bayang Dion. Hidup dalam sebuah hubungan yang tak pernah direstui. Aku hanya ingin merasakan cinta yang tak terhalang oleh dinding sosial.
Dan itu seolah aku dapatkan dalam kehidupan Rava. Keluarga Rava jauh lebih terbuka tentang sebuah hubungan yang dianggap tabuh. Tapi meski begitu aku tidak ingin terburu – buru memutuskan jalan cerita ini. Hati ku masih bersama Dion. Aku tidak mau melukainya, apalagi sampai menduakannya.
Meski Rava & Keluarga begitu baik pada ku. Namun, hati ku belum luluh. Cinta ku pada Dion terlalu besar. Bahkan lebih besar dari penghalang yang menghadang hubungan kami. Aku tahu, bahwa hubungan kami mustahil bisa mendapat lampu hijau dari orang tua Dion. Apalagi sejak kejadian itu.Rasanya aku hidup tanpa cinta.
Tapi, semakin aku melupakannya, cinta ku padanya semakin besar. Benar kata pepatah cinta pada pandangan pertama memang begitu menakjubkan. Ia seolah membutakan segalanya. Bahkan membutakan logika ku sendiri.
Di dalam hati kecil ku. Aku masih menyimpan sebuah harapan. Harapan untuk terus bersamanya. Bersama orang yang ku cintai yaitu Dion.
…..
Rindu. Apalah artinya Rindu. Apakah dia bayangan tanpa wujud. Atau hanya sebatas impian yang tak berlogika. Rindu ini sangat menyiksa. Sudah beberapa bulan aku tidak bertemu Dion, rasanya seperti terpenjara. Tapi mengapa, bukankah aku yang menginginkannya. Mengapa sekarang aku menyesalinya.
Apakah aku egois, jika berharap ia kembali. Apakah aku naif jika masih mengharapkannya. Apakah aku terlalu bodoh, jika ingin terus bersamanya. Meski di depan mata ada Rava yang begitu peduli terhadap ku.
Ya, sejak hubungan ku dengan Dion agak menjauh. Rava adalah orang yang paling peduli. Ia seolah menjadi bahu tempat ku bersandar. Ia selalu hadir disaat aku membutuhkannya. Bahkan tak jarang ia menghabiskan waktu hanya untuk menghibur ku. Sosoknya memang tidak banyak bicara, tapi Rava seolah membuktikan dengan tindakan nyata.
Ia terus membuktikan pada ku bahwa cintanya telah berlabuh kepada ku. Tapi aku seolah tidak sadar. Bukan. Bukan tidak sadar, aku hanya tidak memikiran cinta Rava pada Ku. Aku masih belum bisa melupakan Dion. Dion adalah cinta pertama ku. Tapi, bagaimana. Bagaimana cara ku merangkai sebuah hubungan yang tak direstui.
Ada yang bisa menjelaskan bagaimana merajut sebuah harapan kosong. Harapan yang jauh dari kenyataan. Sedengkan Rava bukanlah harapan. Keluarganya, Dirinya dan Cintanya begitu nyata . Tapi mengapa. Mengapa aku aku belum bisa menerima cintanya. Haruskah aku berfikir dengan logika. Memilih seseorang yang sudah bisa menerima ku atau menunggu harapan yang belum pasti.
Aku bimbang. Aku tersesat didalam pikiran ku sendiri.
…..
"Hay,kau melamun?" Tanyanya sembari memegang tangan ku.
"Oh.Tidak. Aku hanya sedikit pusing. Bisa kita segera pulang" jawab ku.
Setiap hari pikiran ku seolah mencari sebuah jawaban. Jawaban tentang apa yang harus aku putuskan. Bersama Rava atau melupakan Dion. Terlalu rancu untuk aku artikan. Pilihan itu begitu menyulitkan. Rava memang baik & juga penuh perhatian. Bahkan jika pun kami menjalin hubungan tidak akan dinding sosial yang menghalangi. Hubungan kami pasti akan berjalan mulus dan tak ada yang menghandang. Aku bisa kenal keluarganya dan memulai cinta yang baru.
Tapi….
Tapi bagaimana caranya memulai sesuatu hal yang baru, jika masih ada goresan di halam yang lama. Aku menatap bintang di angkasa. Berharap bahwa harapan itu seterang bintang disana, meski
...
Hari ini Rava meminta ku untuk menemaninya datang ke pernikahan teman lamanya. Aku tadinya tidak ingin pergi bersamanya, tapi entah mengapa hati ku seraya mengatakan iya.
Sesampainya disana, sudah banyak tamu undangan yang hadir. Teman – teman lama Rava pun juga terlihat, termasuk Dion. Detak jantung ku berdebar kencang, saat Rava dengan tidak sungkannya mengenalkan ku dengan teman – teman lamanya.
Namun dari kejauhan aku menatapnya. Menatap wajahnya. Dion nampak berbeda saat itu. Belum pernah aku melihat wajahnya yang semurung itu. Ia seperti orang yang hidup tanpa harapan. Apakah aku salah membiarkannya. Membiarkannya larut dalam kesedihan. Apakah terlalu kejam. Tapi, rindu itu bukan hanya menyiksa dirinya tapi juga diriku.
…..
Melihat Dion yang sedang berjalan ke luar, aku pun mengikutinya.
"Dion" Panggil ku. Ia menghentingkan langkahnya. Namun, wajahnya seolah tidak ingin berpaling. Aku mendekatinya. Meraih tangannya. "Kita harus bicara" kata ku dengan suara lirih. "Tidak ada yang perlu dibicarakan." jawabanya.
Ia mencoba melepaskan genggaman ku, tapi aku mencoba bertahan. "Lepaskan. Seperti halnya dirimu yang melepaskan
Air mata ku pun terjatuh.
"Dion. Aku tidak pernah melupakan mu. Ta, tapi, aku hanya mencoba" aku terdiam.
"Mencoba apa?" tanyanya.
Ia lalu berbalik dan menatap ku. "Kau tahu, cinta ku bukan sebuah permainan yang bisa dengannya kau mainkan".
Aku melihatnya. Matanya berlinang, namun ia seolah tidak ingin menunjukan kesedihan itu. "Saat kau bersama ku akan banyak rintangan yang kita hadapi, dan kau memilih untuk mundur. Memilih jalan mu sendiri. Sekarang, biarkan aku memilih jalan ku. Yaitu bukan dengan mu" ujarnya.
Pertemuan itu pun seolah menjadi titik, bahwa memang hubungan kami tak bisa dilanjutkan. Sebuah kalimat yang telah diakhiri dengan tanda titik. Memang akan selalu dimulai dengan kalimat yang baru. Kalimat yang tak akan sama. Seperti halnya cinta ku padanya.
…..
AKHIRNYA TAKDIR MEMISAHKAN KITA UNTUK SELAMANYA….
Beberapa bulan sejak pertemuan itu aku mendapat kabar yang mengejutkan dari Teo. Kabar yang membuat hati ku hancur berkeping – keping. Kabar yang seolah tidak ingin aku percaya, namun rasanya terlalu nyata.
Teo memberitahu ku bahwa lusa Dion akan segera menikah. Entah karena cinta atau desakan orang tua, namun mendengarnya saja aku sudah tak kuasa. Air mata ku menetes. Aku seolah menepis takdir Tuhan. Padahal diriku sendiri yang membuat semua ini terjadi.
Aku berharap waktu kembali. Kembali ke masa – masa dimana aku dan dirinya bersama. Tapi sang waktu tak akan pernah kembali, dan takdir itu harus aku jalani.
…
"Kau yakin tidak mau mendatangi pernikahannya" Tanya Teo. "Tidak, kau saja. Sampaikan salam ku padanya" jawab ku. Hari itu, takdir telah benar – benar memisahkan kita. Kita yang tak akan pernah bisa kembali selamanya.
….
Aku selalu percaya Takdir, sekali pun itu tidak mengenakan. Aku memang harus menerima kenyataan ini dan membuka diri padanya. Meski aku belum memiliki perasaan terhadap Rava, namun aku yakin takala bersamanya cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Lagi pula tidak ada salahnya membuka diri dengan kehidupan yang baru.
Aku tidak boleh terus larut dalam kesedihan. Terbayang – bayang oleh masa lalu yang tak berkesudahan. Meski perih, meski hancur, namun aku harus kuat. Aku yang memulai dan aku jugalah yang harus menanggung semua resiko ini.
….
RAVA ADALAH IBLIS….
"Sudah tak perlu menangis, semua sudah terjadi" katanya.
"Ya, kau benar Rav. Semua sudah terjadi. Dan aku memang harus menerima kenyataan ini." Jawab ku.
Aku lalu menatap Rava. "Kini, aku akan membuka diri kepada mu" kata ku. "Ha.Hahaha".
"Ke,kenapa kau tertawa?" tanya ku.
Ia lalu mendekati ku dan membisikan sebuah kalimat yang begitu menusuk . "Kau tahu, aku tidak benar – benar mencintai mu. Ini semua hanya tentang balas dendam!".
Aku tidak pernah percaya, bahwa Rava adalah iblis berwujud malaikat. Penampilannya yang begitu baik seolah menutupi hatinya yang begitu busuk.
Aku mempercayainya. Aku mencoba membuka diri untuknya, tapi ternyata semua itu hanyalah rencana busuknya. Rencananya untuk balas dendam. Aku benar – benar menyesal. Tapi semua itu seolah tidak ada gunanya.
Kenapaaaaaaa….
Kenapa takdir ku seperti ini. Disaat aku mempercayainya, ia justru menghilang seperti bayangan yang pergi meninggalkan raganya. Aku tidak mengerti mengapa Tuhan seolah mentakdirkan jalan hidup ku seperti ini.
Kini… aku bersumpah untuk tidak mempercayai cinta siapa pun…
....
PENYESALAN TAK AKAN MENGEMBALIKAN WAKTU YANG TELAH BERLALU
....