AKU YANG BERUSAHA MENGACUHKANNYA
Aku berusaha mengacuhkan Green. Setiap kali aku melihat dirinya, aku berusaha untuk menghindar. Bukan tanpa alasan, aku tidak ingin terjerumus ke dalam cinta yang tak berujung lagi. Aku berusaha bersikap realitis. Mencoba menjalani hidup ini dengan penuh logika tanpa harus membawa perasaan. Lagi pula bukankah hidup memang harus dengan logika.
Tapi, semakin aku mengacuhkannya dan menjauhinya, ia semakin menjadi – jadi. Sempat suatu ketika ada sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal di Ponsel ku. Aku pun membiarkannya. Sekali, dua kali, namun tetap saja panggilan itu terus berdering. Aku yang tak tahan pun akhirnya menyerah dan memilih untuk mengangkat panggilan tersebut.
Aku lalu hanya berdiam. Aku sengaja tidak ingin berkata – kata, sampai aku tahu siapa yang menganggu ku.
"Kenapa kau tidak mengangkat panggilan ku" ujar pria itu. Dari suaranya seperti tak asing bagi ku. Otak ku mulai mencari – cari kedalam memori terdalam, tentang suara siapa itu.
"Kau pasti sedang bertanya – tanyakan, aku ini siapa. Kau lupa, aku Green".
Ah, benar saja. Astaga. Kenapa pria itu lagi. Kenapa dia bisa tahu nomor ponsel ku. Aku pun lalu membentaknya. Namun Green justru hanya membalas dengan tertawa. Aku pikir dia sudah gila. Aku membentaknya tapi kenapa membalasnya dengan tertawa. Dasar pria yang menyebalkan.
Aku lalu mematikan panggilan tersebut dan memblokir nomornya. Aku pikir itu sudah menyelesaikan masalah, nyatanya tidak. Ia seperti pemburu yang sedang membidik mangsanya. Tak bisa menghubungi ku melalui telepon, ia pun Aku pun berniat untuk memblokir instagramnya, tapi hati ku seolah ragu. Jari – jari ku seakan tak kuasa untuk menekan tombol Block. Ah, sudahlah. Aku pun menyerah dan dan membalasnya pesannya.
Pesan yang dikirim Green melalui Instagram seolah melunturkan tembok penghalang. Tembok penghalang yang telah ku buat untuk tidak lagi percaya dengan cinta. Tapi meski tembok itu telah luntur aku tidak akan pernah larut ke dalam pangkuannya apalagi masuk dalam kisah cintanya.
Aku hanya ingin mencoba menjadi orang yang baik, lagi pula Green juga sempat menolong ku. Apa salahnya membalas kebaikannya, meski hanya dengan menjawab pesannya. Yang terpenting aku tidak boleh sampai kalah. Tidak boleh sampai menjadi tawanan cintanya yang seolah akan menuruti semua keinginannya. Tidak. Tidak akan pernah.
…..
Sudah beberapa hari ini Green tak menghubungi ku. Biasanya dalam satu hari bisa tiga kali dia menghubungi ku. Rasa khawatir seolah menghampiri ku. Tunggu, kenapa aku harus khawatir. Lagi pula aku & Green hanya sebatas teman. Tidak, tidak. Lupakan. Mungkin saja dia sedang sibuk dengan pekerjannya.
Pikiran ku mencoba melupakannya, tapi hati ku seolah berlawanan. Rasa bimbang dan ragu kini seolah merasuki ku. Aku lalu menghubunginya, tapi tak ada jawaban. Ah, sudahlah lagi pula untuk apa aku peduli dengan dirinya. Biarkan saja.
Aku mencoba melawan kenaifan itu, tapi nyatanya aku kalah. Aku lalu menghampiri Green di apartemen pribadinya. Sesampainya disana keraguan itu kembali muncul. Aku bolak – balik didepan pintu apartemnya sembari berfikir apakah aku harus mengetuk pintunya. Apakah aku harus tahu keadannya. Tapi mengapa. Ah, pikiran ini terlalu rancu untuk diterjemahkan.
Aku menarik nafas sejenak, lalu berfikir. Akhirnya aku memutuskan pergi. Namun, saat ingin melangkah, tiba – tiba saja pintu apartemen tersebut terbuka.
Aku mulai bertingkah kebingungan. Aku berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya pada Green.
"Ah, tadi aku habis dari tempat teman" ujar ku dengan wajah yang menutupi kebohongan.
"Oh, aku pikir kau datang karena ingin menemui ku" ujarnya dengan suara lirih.
Aku melihat wajahnya begitu pucat dan tubuhnya yang begitu lemas.
"Kau sedang sakit?" tanya ku.
Meski ia berkata tidak, namun penampilan fisiknya seakan tidak bisa berkata bohong. Aku ingin melangkah pergi tapi kaki ini seakan tidak bergerak. Ah, baiklah. Aku menyerah.
"Kau tak usah bohong. Bagaimana mungkin kau baik – baik saja. Wajah mu begitu pucat" kata ku.
….
Ternyata hati ku memang tidak pernah salah. Saat ia mengatakan bahwa aku harus menemui Green, ternyata memang karena sebuah alasan. Aku pun jadi tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.
"Eh. Apa kau sudah berobat?"
"Ya"
"Lalu, siapa yang merawat mu disini?" tanya ku dengan penuh rasa khawatir.
"Tidak ada. Aku melakukannya sendiri" ujarnya.
Ayo An, jadilah orang yang tahu berbalas budi. Green pernah menolong mu bukan, kini saatnya kau membalas kebaikannya. Anggap saja semua jadi impas dan kau tidak berhutang budi padanya.
Ah, tapi bagaimana caranya aku mengatakan itu padannya.
"Kau kenapa, seperti orang yang sedang kebingungan saja" tanyanya.
"Bolehkah aku merawat mu" pinta ku. "Eh, tapi jangan salah sangka dulu ya, aku melakukan ini karena hanya ingin membalas kebaikan mu saja. Jadi aku merasa tidak ada hutang budi dengan mu"
….
Masa depan adalah harapan yang terkadang tidak bisa diterka. Ia seperti tanda tanya yang seoalah menyimpan sejuta jawaban. Seperti halnya diriku yang menyimpan tanda tanya ini kepada Green. Aku tahu terlalu dini untuk menerka masa depan bersamanya. Tapi, hari – hari belakangan ini yang ku lalui bersamanya seolah menjawab tentang masa depan bersamanya. Namun, keraguan dan kenaifan masih menjadi penghalang untuk ku.
Aku belum bisa menemukan jawaban yang pasti apakah Green adalah pengganti Dion atau hanya penyambung kepedihan ku saja. Aku begitu takut. Takut untuk memulai. Pengalaman di masa lalu seolah mengajarkan ku untuk tidak mudah jatuh cinta. Dan itu pulalah yang aku pegang sampai saat ini. Aku dan cinta adalah dua hal yang tidak akan pernah bersatu kembali. Tidak akan. Selamanya. Bahkan jika sampai pada akhirnya Green membuktinya tentang cintanya pada ku mungkin aku akan menolaknya.
Bukan. Bukan karena aku tidak memiliki perasaan dengannya. Tapi karena aku terlalu takut untuk memulai lembaran yang baru. Aku belum tahu apakah lembaran ini akan terukir indah atau justru malah sebaliknya. Aku mengerti masa depan adalah hal yang tidak pasti, dan terkadang kita sendirilah yang membuat itu menjadi kenyataan. Tapi, bagaimana caranya memulai jika hati masih tertinggal oleh pemilik yang lama.
Dion, mungkin adalah cerita masa lalu bagiku. Tapi cerita itu seakan tidak mudah untuk dilupakan. Kenangan itu terlalu indah untuk dibuang. Cintanya terlalu nyata untuk diabaikan begitu saja. Tapi, haruskah aku menungu. Menunggu harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Dion sudah bersama orang lain. Ia sudah memiliki kehidupan baru. Kehidupan tanpa diriku.
Jika ia saja bisa menjalaninya dengan begitu mudah, mengapa rasanya sulit bagiku.Aku bagaikan bayangan yang ingin terlepas dari raganya. Mustahil. Tapi bersama raga yang tak lagi menginginkan kita adalah kenyataan yang begitu perih. Sampai saat ini, aku seolah masih menunggu. Menunggu Dion kembali. Menunggu cinta itu kembali seperti dulu. Cinta yang dipupuk karena kebersamaan tapi terhalang oleh dinding sosial.
...
ADA APA DENGAN DIRIKU….
Aku seperti menaiki mesin waktu saat bersama Green. Sosoknya yang begitu manis dan menghangatkan seolah mengembalikan ingatan ku pada Dion. Kenapa. Kenapa pikiran ku seolah tidak bisa terlepas dari rantai masa lalu. Apakah aku terlalu lemah. Apakah aku tidak kuat jika harus melupakannya. Apakah aku terlalu bodoh. Ya, mungkin. Mungkin saja memang aku terlalu bodoh. Terlalu sulit melupakannya. Tapi..
Aku ingin sekali membuang kata Tapi. Namun, itu semua hanya sebatas angan - angan di dalam pikiran ku. Dion adalah cinta yang tak mungkin aku lupakan, meski kini sosok yang lebih nyata ada dihadapan ku. Sosok yang membuat ku tersenyum. Sosok yang bisa membuat ku bahagia. Tapi. Lagi dan lagi kata tapi seolah membatasi diriku untuk melangkah dan membuka diri pada Green.
Jelaskan pada ku, bagaimana caranya membiaskan ingatan seseorang dari masa lalu yang begitu pekat.
...
Aku dan Green semakin dekat. Aku semakin memahaminya, tapi belum membuka cinta ku padanya. Meski beberapa kali ia sempat mengutarakan perasaannya pada ku, namun aku masih menggantungkannya. Aku tidak tahu apakah harus menerimanya atau menolaknya. Terlalu ragu & takut bagi ku untuk melihat masa depan bersamannya.
Aku ragu jika masa depan yang akan aku hadapi nantinya hanya akan berakhir sama. Berakhir dengan kepedihan yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku terlalu takut untuk jatuh cinta dan memulai sebuah hubungan baru. Meski aku tahu, masa depan adalah hal yang tak pasti. Tapi apakah dengan bersamanya, kepastian itu akan semakin terlihat. Apakah masa depan ku dengannya akan secerah Mentari yang terbit dari timur atau…
Ah sudahlah, aku tidak mau menerka – nerka lagi….
…..
GREEN & KELUARGANYA
Malam itu Green mengajak ku untuk makan malam di rumah bersama keluarga besarnya. Perasaan ku pada saat itu campur aduk. Diantara ketakutan dan kebahagiaan. Aku takut bahwa kejadian di masa lalu akan terulang kembali.
"Tenang saja. Lagi pula kita kan juga belum menjadi pasangan, dan hanya teman. Kenapa kau seakan ragu." Ujarnya.
Benar juga apa yang dikatakan oleh Green. Aku dan dirinya kan hanya sebatas teman. Untuk apa aku takut bertemu dengan keluarga besarnya.
….
Sesampainya disana kami disambut dengan hangat oleh ibunda Green. Sosok wanita parubaya itu terlihat anggun meski usianya sudah setengah abad. Senyuman manis itu ia tampakan saat melihat diriku. Lalu dari dalam rumah berlari sosok anak kecil berusia sekitar 3 tahun dengan memanggil papah. Aku sontak terkejut, saat anak kecil tersebut memeluk Green.
Pikiran ku semakin kacau. Apakah Green sudah menikah. Lalu, untuk apa yang ia membawa ku kesini. Tanda tanya itu seolah menghalangi pikiran ku. Bahkan saat perjamuan makan malam pun tiba, aku masih dibayangi oleh pikiran tersebut. Pikiran tentang siapa anak itu. Dan dimana istrinya. Aku mencoba mencari tahu dengan melihat anggota keluarga yang datang. Tapi aku seolah tak menemukan jawaban itu. Tak ada satu pun dari mereka yang mendekati Green.
….
….
Ingin rasanya aku bertanya pada Green pada saat itu juga. Tapi ku rasa waktunya kurang tepat. Aku mencoba membiaskan pikiran ku tentang anak itu. Dan mencari waktu yang tepat untuk bertanya kepada Green.
Waktu pun seolah merestuinya. Saat Green mengatarkan anaknya ke dalam kamar. Aku pun memberanikan diri bertanya kepadanya.
"Green. Boleh aku bertanya sesuatu pada mu?"
"Iyaa. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah itu anak mu?".
Green hanya membalas dengan senyuman seraya berkata itu adalah ia. Aku lalu melanjutkan kembali pertanyaan ku kepadanya.
"Lalu, dimana istri mu?"
"Mengapa kau ingin tahu tentang dia?"
"Eh. Aku hanya ingin tahu saja, karena saat tadi makan malam aku tidak melihatnya"
Lalu Green bercerita tentang masa lalunya, masa lalu yang begitu kelam. Masa lalu yang seolah begitu berat bagi dirinya…
….
MASA LALU GREEN
Saat masih kuliah Green sempat berpacaran dengan seorang wanita. Namun, karena satu dan lain hal mereka melakukan hubungan terlarang. Sampai pada akhirnya sang wanita tersebut mengandung anak yang tak diinginkan. Saat itu Green benar – benar tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya sangat kacau. Apalagi sang kekasih masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.
Mereka berdua pun mencoba memecahkan masalah tersebut. Namun, tak ada jalan keluar. Sampai pada akhirnya keluarga kedua belah mengetahui masalah tersebut. Green dan pacarnya pun harus menikah, namun pernikahan secara diam – diam. Tak ada perayaan istimewa. Pernikahan tersebut hanya dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai saja.
Saat sang anak tersebut lahir, wanita tersebut meminta kepada Green untuk merawatnya. Karena orang tua dari wanita tersebut tidak mau jika harus membesarkannya. Dengan rasa terpaksa Green pun membesarkan anaknya seorang diri. Ia menjadi ayah & ibu bagi sang buah hatinya.
Sampai saat ini pun kekasihnya tersebut tak pernah mengujunginya. Bahkan pernikahan mereka pun seolah hanyalah sandiwara belaka. Namun, Green seperti tidak memiliki pilihan. Ia tetap menjalani hidupnya dan membesarkan anaknya seorang diri hingga saat ini.