….
Aku tahu meski kami tak lagi bersama, bukan berarti cinta ini hilang seketika. Raganya mungkin sudah tak lagi ada, tapi cinta ini akan tetap ada selamanya. Aku tak ingin melupakannya. Setiap akhir pekan, aku selalu mengunjungi makam Dion. Berdoa, dan bercerita dihadapan makamnya. Aku tahu ini terlihat gila. Tapi aku percaya bahwa di atas sana ia melihat ku yang sedang menantikan dan terus merawat cintanya.
Waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengan dirinya, tapi kini seolah telah dipisahkan oleh takdir Tuhan. Sakit dan perih rasanya. Jika cinta yang dulu dibina bersama harus berakhir karena suratan takdir. Tapi mau bagaimana lagi, pada akhirnya kita tidak bisa melawan kehendak-Nya.
….
Seorang pria menempuk pundak ku dari belakang. "An"..
"Tama" aku lalu mengusap air mata yang jatuh membahasai pipi ini, namun pria yang berada dihadapan ku ini seolah tak membiayarkannya. Tangannya dengan perlahan menjadi alas dan menghapus segala kesedihan yang membasahi pipi ku. Aku terdiam. Ku pandangi wajahnya yang penuh dengan perhatian dan kasih sayang.
Sosok pria yang menjadi idaman para kaum hawa, namun entah mengapa ia masih setia menunggu ku. Menunggu hati ku akan terbuka untuknya. Apakah cinta sesebar itu. Entahlah, pikir ku pada akhirnya Tama juga akan lelah dan ia akan mencari dambaan hati yang lain. Semoga saja. Aku terlalu jahat. Aku tidak kuat jika terus menggantungkan cintanya yang begitu tulus. Tapi, bagaimana caranya membuka hati yang sudah terkunci dan melupakan orang yang dulu pernah mengisi hati ini.
….
Andai saja cinta adalah sekumpulan rumus matematika. Aku ingin menghitung seberapa jauh ku bisa melupakannya
….
Di sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, sembari sesekali melirik ke arahnya yang sedang serius menyetir.
"Kau kenapa? Dari tadi memandangai ku saja" Ia menembar senyum.
"Tidak, siapa juga yang memandangi mu" Aku berusaha menutupi rasa malu ini dengan mengambil sebuah snack dari dalam tas.
"Apa itu?"
"Makanan ringan"
"Boleh aku coba?" tanyanya dengan nada merayu.
Aku lalu mengarahkan makanan ringan tersebut ke arahnya.
"Bagaimana caranya aku bisa makan, kau tidak lihat ya aku sedang menyetir". Ia lalu melirik ke arah ku sembari menebar senyum.
"Ini". Ku menyuapinya, layaknya ia adalah seorang anak kecil.
"Terima kasih… Ehm, rasanya manis ya"
"Iya, karena ini kan rasa buah" Ujar ku dengan nada sangat datar.
"Bukan kuenya, tapi senyuman mu"
…..
Jadi dilihat – lihat Tama sekilas merip dengan Dion yang selalu membual saat bertemu dengan ku. Meski tak sama, tapi hadirnya Tama seolah sedikit mengurangi kerinduan ini. Mungkinkah rindu akan hilang dan tergantikan oleh dirinya. .
….
KEESOKAN HARINYA…..
Setelah satu minggu bekerja tak ada yang paling istimewa selain rebahan sembari menonton film kartun. Kebiasaan ku hari minggu adalah seperti ini. Bahkan tak jarang sampai malam aku bisa menonton film hingga lupa mandi. Aku lalu membuka laptop sembari menyiapkan cemilan. Namun, disaat aku tangan ini sedang sibuk mencari film, tiba – tiba saja ponsel ku berdering.
Aku lalu menjawab panggilan itu. Suara rintihan tangis terdengar bergitu jelas darinya. Suara kesedihan yang seolah ingin aku datang untuk menemui saat ini juga.
"Ok, ok, aku akan segara kesana".
Aku lalu bergegas menuju salah satu rumah sakit dikawasan Jakarta Barat. Untung saja hari minggu, jadi jalanan ibu kota tidak begitu padat. Sesampainya disana ku lihat dirinya yang sedang menangis di depan ruang ICU.
"Mei…"
"An…" Ia memeluk ku dengan sangat erat. Ia tak henti – hentinya menangis didalam dekapan ku. Air matanya seolah menunjukan kepedihan yang begitu mendalam. Rawut wajah seolah tak lagi menyimpan harapan. Harapan itu telah sirna. Layaknya cahaya yang ditelan gelapnya malam.
….
Pada hari itu Mei bercerita bahwa sang suaminya yang dulu merupakan mantan ku pula sedang di krisis. Green mengalami kecelakaan saat menuju pulang ke rumah. Aku dan kehidupan mereka sebenarnya sudah tidak terlalu dekat beberapa belakangan ini. Karena ku pikir, jika tetap itu aku lakukan maka yang ada hanya akan menjadi penghalang cinta diantara mereka.
Aku membiarkan mereka meluapkan cintanya. Tapi semua itu ternyata salah. Selama menjalani kehidupan dengan Green, ternyata kehidupan Mei tidaklah berubah. Bahkan bisa dikatakan dalam keterpaksaan. Mei tahu, bahwa Green memang tidak pernah mencintainya. Apa yang dilakukan Green selama ini hanyalah untuk menuruti keinginan ku.
Tapi meski begitu, Mei selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Green. Walau hal itu tidak dibalas dengan cinta dan kasih sayang. Aku pikir cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu, mungkin saja dua insan yang dulu tak saling jatuh cinta bisa hidup dalam kebahagiaan. Nyatanya semua omong kosong ku salah. Cinta memang tidak dipaksakan.
Ia bagaikan paku karat yang bengkok. Semakin keras kau memaksakannya untuk lurus, maka yang ada paku itu akan patah. Sepertinya itulah cinta yang dipaksakan.
Setelah mendengar cerita darinya aku merasa begitu bersalah. Aku membiarkannya hidup dalam sebuah penderitaan. Padahal niat ku adalah membuat mereka bahagia. Tapi malah sebaliknya. Dua orang yang pernah aku cintai, nyatanya memang tak bisa merajut asa bersama.
Seketika nafas yang tengah berhembus ini ingin sekali berhenti. Mengapa Tuhan. Mengapa hidup ini begitu pelik. Mengapa sulit rasanya menyatukan dua hati yang tak mau bersatu. Apakah begitu mustahil.
Tanda tanya itu seolah merasuki pikiran ku. Tapi bukankah aku juga merasakannya. Bukan, bukan aku. Tapi orang lain. Yaitu Tama. Aku jadi berfikir untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada dirinya. Mengatakan bahwa aku tidak bisa mencintainya. Aku ingin ia berhenti berharap untuk mendapatkan cinta. Aku tidak ingin ia terus bermimpi.
Walau aku tahu bahwa kenyataan yang akan ia hadapi begitu pahit, tapi bukankah harusnya seperti itu. Bukankah kepedihan dan kepahitan lebih baik dikatakan sedari awal, daripada terus membelenggu dalam sebuah kepalusuan. Alih – alih tidak ingin menyakiti perasaan orang lain justru mengatakan hal yang tidak sebenarnya adalah yang paling menyakitkan.
Hidup memang tidak selalu indah bukan. Dan itulah yang harusnya selalu ditanam dalam setiap insan. Jangan berandai – andai, jika pada akhirnya kau tak akan bisa meraih harapan itu. Harapan yang terlihat manis, namun terasa semu.
….
Beberapa jam kemudian seorang Dokter keluar dengan rawut wajah yang amat gelisah. Metanya terlihat berkaca – kaca.
"Andai istri dari bapak Green?" Tanya sang Dokter kepada Mei.
"Iya Dok, bagaimana keadaan suami saya?" Ia berharap – harap cemas. Berharap bahwa sang Dokter membawa kabar baik untuk dirinya. Kabar yang akan menyejukan hati dan pikirannya.
"Mari kita kedalam"...
...
Bersambung