Chereads / PRIA DALAM BAYANGAN / Chapter 19 - JANJI DI MASA LALU

Chapter 19 - JANJI DI MASA LALU

Mei memeluk jasad suaminya tersebut dengan sangat erat. Air matanya tak henti – hentinya mengucur dan membahasi pipihnya. Dua insan yang dulu bersatu, kini telah dipisahkan dengan alam berbeda.

"Mei yang sabar" Aku mencoba menenangkannya. Memeluknya. Memberikannya kehangantan sebagai seorang teman. Seseorang yang dulu pernah melintas di hati ku. Di kisah cinta ku. Kini telah pergi menemui Sang Pencipta. Ia selalu menghibur ku dikala senja. Ia selalu ada disaat aku terjatuh dulu, kini telah berpisah untuk selamanya. Kedua orang yang pernah melintas di kehidupan ku ini sekarang sudah terlelap. Terlelap untuk selamannya.

….

Pemakaman Yang Penuh Haru….

Para pelayat telah meninggalkan makam Green, tapi Mei seoalah tak bisa melepaskan cintanya begitu saja. Di hadapan makam suaminya ia terus saja menitihkan air mata. Aku tahu perasaan Mei saat ini, pasti begitu sedih. Ditinggal pergi oleh orang yang kita cintai bukanlah hal mudah. Meski orang lain berusaha untuk menguatkan, tapi tetap saja kerapuhan tak bisa dihindarkan.

Cinta bukanlah sebuah kata – kata indah yang ucapakan hanya dalam satu malam, melainkan sebuah gambaran tentang perjalanan dua insan.

Aku begitu mengerti kondisi Mei saat ini. Walau aku tahu semua ini juga karena salah diri ku. Salah ku yang memaksakan cinta yang tak pernah ingin disatukan itu untuk bersatu. Salah ku untuk mengikhlasakan. Salah ku untuk membiarkan mereka menyatu dalam sebuah bahtera yang penuh kelabu.

Entah mengapa aku merasa sangat bersalah. Andai saja waktu dapat diputar kembali. Ingin rasanya diriku melepaskan ikatan di antara mereka. Namun, semua itu tak akan pernah bisa. Masa lalu tak akan pernah kembali. Ia hanya akan menjadi sebuah kenangan. Kini, masa depan yang belum tentu indah telah menghampiri. Menghampiri kehidupan Mei.

"Mei, ayo kita pulang". Ujar ku sembari memegang pundaknya.

"Kau duluan saja An" Tangannya seolah tidak bisa melepas batu nisan yang bertuliskan nama Green.

"Baiklah, aku akan tunggu mu disana" Aku melangkah pergi. Membiarkan dirinya melupakan segala isi hatinya.

Perjalanan Menuju Pulang…

Di sepanjang perjalanan Mei hanya terdiam. Ia tak sama sekali berbicara. Aku yang melihat kondisinya seperti itu begitu khawatir. Aku lalu menempi di tepi jalan. Memalingkan wajah ku arahnya sedang menatap derasnya hujan.

"Mei…" Aku memegang tangannya. Seolah ingin memberikan kehangatan kepadanya.

"Kenapa...." Air matanya kembali tumpah. "Kenapa harus seperti ini An" Ia memeluk ku. Tangis air matanya pun membasahi kemeja hitam yang aku kenakan.

"Kau harus kuat Mei"

Hanya kata – kata itu yang bisa aku ucapkan kepadanya. Kepada sang wanita yang dulu pernah mengisi hati ini. Aku siap. Siap menjadi sandaran tempatnya mencurahkan kepedihannya.

Sudah beberapa minggu setelah kepergian Green, ia masih belum kembali seperti dulu. Seperti wanita yang aku kenal. Wanita yang ceria dan penuh senyum. Mei yang kini seakan menjadi diam seribu bahasa dan memilih bercerita dengan dirinya sendiri. Padahal hampir setiap malam aku berkunjung ke rumahnya. Baik untuk sekedar bertamu atau menghibur dirinya yang tengah kesepian. Tapi tetap saja, rasa sepi itu seakan tak akan pernah memudar.

Cinta itu mungkin masih ada di dalam hatinya, tapi raganya sudah tak lagi bersamanya. Ia bagaikan bayangan tanpa raga. Terasa ada namun tak bisa disentuh.

Melihat kisah Mei saat ini aku seperti membuka lembaran di masa lalu. Lembaran kisah cinta ku dengan Dion. Aku juga pernah merasakan hal yang sama seperti ini. Ditinggal pergi sang kekasih adalah hal terberat dalam hidup ini. Bahkan aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidup ini saja. Tapi untung saja, Tuhan menolong ku. Aku bisa bebas dari rasa sepi itu. Meski tidak sepenuhnya.

Ia yang disana selalu aku nantikan dan rindukan. Seperti halnya musim semi yang hanya datang setahun sekali.

Andai saja kau ada disini, aku ingin bercerita dengan mu tentang hari ini. Tentang kisah kita. Tentang cinta kita yang belum usai di lekang waktu. Andai saja aku bisa berkirim surat kepada dirinya yang ada disana. Aku ingin menyampaikan bahwa cinta ini masih ada. Bahkan tak akan pernah hilang sampai nafas ini terhenti.

Perjalanan Menuju Pulang….

Saat lampu merah disebuah jalan perempatan aku berputar arah. Aku memancu mobil yang sedang aku kendarai dengan sangat cepat. Bagaikan badai yang menghantam bumi.

"Mei…"

"Ada apa An?" Tanyanya dengan wajah yang amat lesu.

"Ayo kita kembali bersama…." Aku memegang erat tangan wanita itu. Namun ia melepaskannya seolah menolak ajak yang baru saja aku utarakan.

"Lebih baik kau segera pulang, aku tidak ingin membicarakan hal seperti itu".

"Mei dengarkan aku dulu" Aku mencoba menjelaskan apa yang permintaan ku.

….

Dahulu saat aku memutuskan merelakan Green & Mei ada sebuah permintaan yang harus aku penuhi. Permintaan sebenarnya aku sendiri tidak tahu apakah bisa memenuhinya atau tidak. Green pernah meminta ku untuk berjanji bahwa jika suatu saat ia sudah tidak ada, ia ingin aku kembali kepada Mei. Pada saat itu aku tidak langsung mengiyakan, tapi Green seolah terus memohon.

Ia akan mengikuti keingnan ku untuk agar bersama Mei asalkan diriku juga bisa menepati janjinya tersebut. Kini, janji itu ingin aku tepati. Meski terasa berat. Bukan karena aku tidak mencintai Mei, melainkan karena hati ini sudah milik yang lain. Milik dirinya yang ada disana.

Tapi aku juga tidak bisa mengikari janji yang aku buat bersama Green dulu. Jika pada akhirnya aku pun ingkar, aku yakin itu tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan menjadi beban dikemudian hari. Aku tidak ingin ada beban dalam hidup ini. Apalagi berhutang janji. Green sudah menuruti permintaan ku untuk terus bersama Mei hingga akhir hayatnya. Kini, aku akan mencoba untuk menuruti permintaannya. Menepati janjinya.

Tapi bagaimana caranya memulainya, jika hati ini saja masih belum terbuka. Bisakah sebuah rumah tangga dibangun bukan atas dasar cinta. Bisakah sebuah rumah tangga dibangun atas dasar kerterpaksaan.

….

"Kau mengerti sekarang kan Mei". Aku kembali menatapnya. Mencoba menyakinkannya.

"Jadi kau ingin kembali kepada ku karena janji mu kepada Green?". Ia menatap ku dengan sangat tajam. Sorot matanya seperti pedang yang siap menebas apapun.

"Ti…Tidak begitu" Kata ku dengan terbata – bata.

"Lalu?...."

Aku memejamkan mata sejanak. Berfikir untuk mencari jalan keluar atas masalah yang sedang aku hadapi ini.

"Aku ingin kau bahagia dan terbebas dari semua kepedihan ini Mei"

Ia menggelengkan kepalanya. Dan berdiri pergi meninggalkan ku.

"Pergi…" Ia membentak dengan lebih keras "Pergi dari sini!!!"

...

Apakah salah jika diriku hanya ingin menepati janji kepada Green. Apakah salah jika pada akhirnya aku terpaksa kembali kepada Mei agar ia bahagia

Bersambung