Janji adalah sesuatu yang harus kau tepati dan tak bisa diingkari. Seperti janji ku padanya. Janji ku untuk bersama Mei, ketika dirinya sudah tak ada. Tapi mengapa janji ini seolah pisau bermata dua. Mengapa janji ini seakan menusuk diri ku sendiri. Dan juga orang lain. Apakah aku salah jika ingin menepati janji ku pada Green. Apakah aku salah jika kembali kepada cinta lama ku. Meski pun aku tahu cinta yang pernah ada dulu tak akan bisa kembali.
Cinta ku pada Mei saat ini mungkin tak akan sama seperti halnya dulu, di saat kami masih saling memiliki. Cinta yang aku berikan saat ini hanyalah sebatas formalitas. Tapi, bukankah itu lebih baik daripada tidak ada cinta sama sekali. Aku tahu ini memang tidak mudah bagi Mei. Tapi bukan berarti semua ini mudah bagi ku.
Setiap kali aku memikirkan janji ini, aku seolah membenturkan kepala ku ke tembok. Sakit. Perih. Tapi aku seakan tak memiliki pilihan. Aku tak mau janji yang pernah aku ucapkan untuk diingkari. Pantang sekali bagi ku untuk mengingkari janji. Sekalipun itu tidak mengenangkan bagi diri ku, pasti aku tetap aku jalani.
Tapi, bagaimana dengan dirinya. Ia tetap saja berkilah. Ia berusaha menepis semua kenyataan yang ada. Ia mencoba kuat untuk menghadapi segala masalah ini sendiri. Padahal aku tahu ia adalah wanita yang rapuh.
Aku ingin menjadi sandaran bagi dirinya. Aku ingin menjadi harapan di saat asa itu mulai tiada. Aku ingin menjadi bintang, meski tak seperti sinar mentari. Dan aku ingin berada disisinya, untuk menemaninya. Menemani hari – harinya yang mungkin saja akan terasa gelap.
….
Sudah beberapa hari ini Mei tidak mengangkat telpon ku. Bahkan pesan singkat yang ku kirimkan melalui WA pun tak juga ia balas. Pikiran ku semakin tak karuan saat acap kali memikirannya. Apakah ia sedang sedih. Apakah ia baik – baik saja. Atau jangan – jangan ia malah bahagia. Entahlah, aku seakan menerka – nerka sendiri apa yang akan terjadi. Andai semua ini dapat berjalan dengan baik, pasti rasanya tidak akan sesulit ini.
Andai saja dulu aku tak membiarkannya masuk ke dalam kehidupan Green pasti semua tidak akan seperti ini. Pasti semua akan baik – baik saja bukan. Bernahkah….Apakah dengan menyesali masa lalu akan mengubah masa depan. Apakah dengan merasa bersalah atas tindakan di masa lalu akan mempercantik harapan yang akan datang. Tidak…semua yang telah berlalu tidak perlu diratapi.
Sekalipun aku menyesali atas apa yang telah terjadi hal itu tidak akan mengubah segalanya. Mengubahnya cintanya dan juga kehidupannya. Wanita yang dulu pernah bersama ku kini sedang berada dalam masa – masa sulit. Demikian juga diri ku. Aku berusaha menjadi seorang malaikan dihadapannya. Tapi yang ada aku malah terlihat seperti iblis yang menakutkan. Haruskah aku menyerah dan membuang janji ini. Janji yang pernah aku katakan kepada Green.
Bodohnya diri ku. Mengapa aku dengan mudahnya mengatakan iya saat Green meminta ku hal seperti itu. Mengapa aku terlalu rapuh dan bodoh saat berhadapan dengan cinta. Padahal dulu aku adalah orang yang kuat dan tangguh. Tidak… aku memang lemah. Bahkan sangat lemah saat berhadapan dengan cinta.
Sering kali aku yang menjadi pemeran utama dalam sebuah kisah asmara malah menjadi korban. Mungkin itulah yang membuat diriku mudah dibohongi oleh mereka yang mempermainkan cinta. Padahal cinta itu suci. Dan sudah seharusnya dijaga dengan sepenuh hati.
Aku yang kerap kali terlalu percaya kepada cinta – cintanya seolah hanya dijadikan permainanannya. Ditinggalkan.Dicampakan. Bakan tak jarang sakit hati adalah sebuah hal yang pasti aku lewati. Apakah perjalanan kisah cinta ku memang tergariskan seperti ini.
Apakah benar, cinta dalam dunia yang tak direstui sulit menemukan kebahagiannya. Mengapa dunia ini seakan tak adil. Mengapa cinta hanya terbatas antara pria dan wanita. Tidak bisakah cinta itu tak mengenal jenis kelamin. Tak bisakah cinta yang dianggap tabu ini menjadi kekal dan abadi.
Sepertinya memang tak akan pernah bisa. Dinding sosial dan hukum yang ada begitu tebal. Bahkan terlalu mustahil untuk dihancurkan hanya dengan tekad. Bahkan mungkin dinding itu akan tetap ada sampai puluhan dan ratusan tahun lagi. Apakah harus aku sudahi saja semua ini. Semua asa yang aku impikan.
….
Seminggu sudah aku tak menyapa dirinya. Bahkan aku mencoba membiarkannya untuk larut dengan kesedihannya sendiri. Lagi pula untuk apa aku memikirkan orang lain yang tak sama sekali bisa mengharapkan kehadiran ku. Hidup ku terlalu berharga untuk diratapi.
Green…Maafkan diri ini yang tak bisa sepenuhnya menepati janji mu. Janji untuk merawat Mei ketika kau sudah tak ada. Aku bukannya tak mau. Tapi segala usaha telah aku upayahkan, namun semuanya hanya berakhir dengan kesia-siaan semata. Setiap kali aku mencoba untuk mendekatinya, memperbaiki cinta yang rusak itu, ia seolah menolaknya. Aku tahu bahwa apa yang aku lakukan ini hanya untuk sekedar menepati janji ku pada mu. Tapi…apakah aku salah. Jika memang aku salah, maka lebih baik aku mundur dan membiarkan dirinya hidup dalam kesepian. Seperti halnya diri ku yang menanti dirinya kembali, meskipun itu mustahil.
….
"Makan siang apa hari ini" Tanya Tama pada ku yang sedang berusaha mengacuhkan pertanyaannya.
"Kau duluan saja, aku belum lapar" Jawab ku dengan sangat ketus.
"Kalau begitu aku akan menunggu disini, sampai kau lapar dan mau makan siang bersama ku".
Aku melemparkan senyuman sinis kepadanya " Kalau gitu tunggu saja…"
….
30 menit berlalu sudah dan pria ini seolah tidak menyerah. Ia masih saja setia menunggu ku. Aku yang sedang bekerja untuk mengejarkan laporan hari ini pun dibuat tak konsetrasi oleh dirinya.
"Ok, ayo kita makan". Pada akhirnya aku pun mengalah. Mengapa pria yang satu ini seolah begitu tangguh dan sabar menghadapi ku. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan bahwa diri ku belum bisa untuk menerimanya. Tapi ia seolah tetap maju dan berusaha merebut hati ini. Apakah cinta yang ia miliki kepada ku begitu kuat sampai – sampai ia terus bertahan sejauh ini.
Tidak…tidak mungkin ada cinta yang sekuat itu. Paling – paling juga dalam beberapa bulan ke depan ia akan mendapatkan cintanya karena lelah menananti diri ku.
…
"Kau tunggu sini saja, biar aku yang pesankan"
"Seterah kau lah"
Semakin aku melawan cintanya, mengapa ia semakin tak menyerah ya. Sama seperti Dion. Yang tak pernah menyerah untuk meraih hati ku..
Andai saja kau ada disini Dion, pasti aku akan bahagia sekali. Bisakah. Bisakah sekali saja aku melihat mu.
"Tentu bisa". Suara itu seperti aku kenal, namun aku berusaha menepisnya. Aku menolehkan wajah ku dengan perlahan – lahan.
"Di…Dion"
….
Bersambung..