....
Ini bukanlah tentang sebuah perjalanan yang bisa dijabarkan dengan mudah, terlalu sulit diartikan. Bahkan menunggu sang waktu tiba, seolah – olah hanyalah batu sandaran. Aku dan dirinya tetap akan dihadapkan pada sebuah titik dimana kita akan terbentur oleh sebuah pilihan. Meski pilihan itu terkadang tidak mengenakan, namun sebagai manusia kita tak dapat menghindarinya.
Apakah aku terlalu naif, jika berfikir bahwa dunia ini terlalu baik. Apakah aku salah jika menginginkan suatu hal yang sempurna, meski ku tahu bahwa di dunia tidak ada yang sempurna. Apakah aku terlalu bodoh berharap bahwa cinta yang direstui akan dapat dimiliki seutuhnya. Apakah aku terlalu kejam merebut kebahagian orang lain hanya untuk mendapatkan kebahagian ku sendiri. Tapi, bukankah manusia memang terkadang ada yang melakukan hal itu.
Tertawa diatas penderitaan orang lain. Lalu mengapa aku tidak bisa melakukannya. Hati & pikiran seakan tidak pernah sejalan. Ia memiliki tujuannya tersendiri, sepertinya halnya cinta ku pada Green.
Aku memang tidak bisa membohongi diri ku sendiri, jika sebenarnya diriku menginginkan untuk terus bersamanya. Tapi, dinding itu terlalu tebal. Aku terlalu takut untuk mendobraknya.
Tuhan, apakah tidak ada pilihan lain selain menyerah dan terus berjuang. Aku ingin tetap tersenyum tanpa melukai perasaan orang lain, tapi aku juga tidak kuat jika harus menahan pedih yang dalam. Tuhan aku percaya bahwa kau adalah Maha Bijak dalam segala hal. Berikanlah aku petunjuk, agar jalan yang ku pilih ini adalah yang terbaik untuk semuanya.
...
AKHIRNYA SANG WAKTU DATANG….
Hari yang dinanti pun telah tiba.
Kami saling bertatapan dibawah gelapnya langit malam. Suasana yang hening seolah menambah kebiusaan diantara kami. Tidak ada satu pun yang memulai perbicangan. Kami
Sembari menghela nafas aku mencoba membuka pembicaraan malam itu.
"Mei, Green. Aku sudah putuskan bahwa." Aku terdiam sejenak,aku tidak kuat jika harus meneruskan kalimat ini.
"Katakan saja An, aku akan menghargai apa keputusan mu" Ujar Green sembari memegang tangan ku.
Air mata ku terjatuh. Dengan suara agak terbata – bata aku melanjutkan lagi.
" Aku sudah putuskan bahwa Kau & Green lebih pantas." Green menyela pembicaraan ku. " An!, apa maksudnya ini!".
"Bukankah kau tadi berkata bahwa akan menghargai segala keputusan ku. Lalu mengapa sekarang kau seolah menolaknya?"
Kami terdiam sejenak, sembari menatap satu sama lain.
"Apakah ini keputusan dari hati mu sendiri atau karena kau kasihan dengan ku?" Tanya Mei.
Aku menatap Mei. Lalu meraih tangannya.
"Mei, dalam beberapa situasi kita terkadang memang tetap harus memilih, meski pilihan tersebut tidak mengenakan. Biarlah luka ini aku yang merasakan"
Sekali lagi, air mata ku menetes. Begitu juga dengan Mei. Meski Green terlihat tegar namun kesedihan yang tergambarkan dirawut wajahnya seakan tidak bisa disembunyikan. Ia seolah pasrah, sedih tapi juga tidak bisa berbuat apa – apa.
Malam itu menjadi perpisahan terakhir bagi cinta kami bertiga. Kini, tidak ada lagi cinta diantara kami. Green & Mei memutuskan untuk terus melangkah bersama. Bagi ku melihat mereka bahagia, seperti halnya melihat kebahagiaan ku sendiri. Aku percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagi setiap hambanya.
….
Meski Green & Mei sudah menikah namun pertemanan kami tidak lekang oleh waktu. Aku hampir setiap bulan sekali mengunjungi mereka. Makan bersama atau pun sekedar berbagi cerita. Kini cerita kami bertiga tidak lagi dihalangi oleh dinding sosial. Aku, Green & Mei seolah dileburkan atas nama "Keikhlasan".
….
Tapi, cerita ini belum berakhir. Aku masih merindukannya. Ia telah pergi menemui sang pencipta namun tak pernah hilang dari lubuk hati ku terdalam. Dion, sang pujangga cinta akan terus terukir namanya di hati ku. Selamanya….
"Jika Ada yang lebih tinggi dari kata cinta itu adalah Ikhlas"
_ Ansyah Ibrahim _