Chereads / PRIA DALAM BAYANGAN / Chapter 6 - PART 5

Chapter 6 - PART 5

Lalu tiba – tiba  Ibunya Dion datang. Membuyarkan  apa yang ingin aku katakan. Aku lantas berpamintan, namun Dion seolah tidak bisa melepaskan ku. Ia memohon agar ku menemaninya malam ini. Aku sebenarnya ingin menolak permintaannya, akan tetapi ibunya memohon kepada ku agar menemani Dion. Lagi pula, ibunya juga nampak lelah karena sudah beberapa hari ini menemaninya.

Aku pun akhirnya mengiyakan permintannya. Sosok yang membuat ku menjadi gelisah. Membuat pikiran dan hati ku belakangan kacau tak karuan. Tapi setelah aku bertemunya, semua hal yang membenani  seakan terasa ringan. Apakah benar yang dikatakan orang. Bahwa saat kita bersama orang yang dicintai maka masalah akan terasa ringan. Tapi bukankah sampai saat ini perasaan ku dengan Dion masih menjadi tanda tanya.

Aku tidak tahu sampai kapan aku akan bertempur dengan perasaan ini. Apakah aku akan sekuat baja hingga bisa melalui semua ini, atau kah aku akan serapuh salju yang saat disentuh akan meleleh. Entahlah, yang dipikiran ku saat ini adalah tentang bagaimana aku bisa merawat dan menjaganya.

….

Malam menyapa kami berdua. Di tengah sunyinya malam, Dion tiba – tiba saja menanyakan hal yang tadi ia tanyakan. "Apakah perlu aku menjawabnya saat ini" Kata ku.

"Iya. Tapi jika memang kau merasa keberatan. Lupakan saja" katanya.

Lalu wajahnya seolah menampakan kemurungan. Apakah aku salah jika masih menyimpan tanda tanya. Apakah aku salah jika belum bisa menerimanya, seperti apa yang ia inginkan.

Pertanyaan itu terlalu rancu untuk aku jawab saat ini. Aku belum bisa menemukan titik terang kemana perasaan ini akan membawa ku. Apakah ia akan membawa ku ke dalam sebuah kebahagiaan atau justru sebaliknya.

Meski aku belum menemukan jawaban atas pertanyaannya, namun entah mengapa hati ku seolah ingin selalu berada di dekatnya. Berada disampingnya. Menjaganya, dan tertawa bersamanya. Tapi mengapa aku seolah ingin mengacuhkan semua itu. Mengacuhkan apa yang hati ku katakan. Apakah karena aku terlalu  takut untuk jatuh cinta.

Tapi mengapa? Bukankah jatuh cinta itu indah. Ya, mungkin saja indah bagi mereka yang belum pernah merasakan apa itu kepedihan karena cinta. Aku yang pernah merasakannya, seolah tidak ingin mengulang untuk kedua kalinya. Aku terlalu takut jika harus kembali jatuh cinta. Apalagi dengan cinta yang berbeda. Cinta yang sebagian orang menganggap ini adalah salah. Cinta yang abstrak, namun terlalu nyata bagi ku.

Aku tidak tahu apakah cinta seperti ini akan terasa berbeda. Apakah akan jauh lebih tulus atau justru sebaliknya. Teka – teki itulah yang belum bisa aku pecahkan. Aku berulang kali bertanya pada hati ku. Meski ia seakan selalu memberikan jawabannya, aku nampak begitu ragu untuk mengikutinya. Mengikuti arus yang tidak aku inginkan. Aku ingin melawan apa yang hati ku katakan. Tapi, semakin aku melawan. Mengapa rasanya semakin sakit.

Aku seperti seorang anak kecil yang terjebak di hutan liar, ketakutan dan berharap adanya keajaiban datang. Namun, saat keajaiban itu datang aku seolah mengabaikannya. Apakah aku terlalu naif. Haruskah. Haruskah aku mengikuti apa yang hati ku katakan.

Sebuah tanda tanya yang masih menjadi misteri. Bahkan sampai saat Dion keluar dari rumah sakit, aku belum juga memberikan jawaban atas pertanyannya. Walau ia mengatakan tak masalah, namun aku yakin didalam hatinya, ia seolah menunggu jawaban yang pasti. Baginya aku adalah cintanya, tapi bagi ku Dion adalah sebuah tanda tanya yang belum bisa dipecahkan dengan logika.

Tapi mengapa cinta harus menggunakan logika, bukankah ia adalah tentang perasaan yang kita rasakan. Mengapa harus berfikir secara logis, jika hati mengatakan bahwa ia adalah orang tepat. Cinta bukanlah sebuah angka yang dikelola dengan rumus matematika. Ia adalah sebuah perasaan yang tertanam dalam hati seseorang. Mengapa harus mencapur adukan antara logika dan perasaan saat bersimpangan dengan Cinta. 

Walau kebingungan itu masih terus mengantui ku, tapi setidaknya hubungan ku dengan Dion mulai membaik. Aku kini tidak lagi menghindarinya. Bahkan saat ia menjemputku, aku tak lagi bersembuyi. Aku justru menghampirinya dengan senyuman.

"Apakah kau tidak bosan selalu menjemput ku?" tanya ku.

"Bagaimana bisa aku bisa bosan, jika hati ku ada dalam diri mu" Ujarnya.

" Kau selalu saja membual" balas ku.

Meski kata – kata Dion selalu penuh dengan kegombalan tapi entah mengapa aku merasa bahagia. Bukan, bukan bahagia karena kata – kata manisnya. Bahagia karena bisa selalu berada didekatnya.

Bahkan mungkin bukan cuman diriku yang merasakannya, namun juga Dion. Wajahnya nampak selalu gembira saat bersama ku. Ia seolah tidak memiliki beban dalam hidupnya. Apakah benar, aku adalah pilihan hatinya. Bahkan jika pun itu benar apakah aku harus membalasnya…

"Sampai jumpa, wahai hati yang belum membalas cinta ku" Katanya. Aku pun hanya bisa tersenyum mendengar kata – katanya tersebut.

Hari demi hari aku lalui bersamanya. Hampir setiap malam kami selalu menghabiskan waktu bersama. Entah untuk sekedar makan mie ayam di pinggir jalan atau hanya sekedar berbincang dengan ditemani oleh segelas kopi hangat. Sesederhana itulah kami. Kami kata yang menjabarkan aku dan dia meski belum bersama dalam sebuah ikatan. Kami adalah kata jalan tengah untuk menutupi betapa biasnya perasaan ku terhadapnya. Perasaanya seolah ingin aku buang, namun rasanya sulit.

Setiap kali aku mencobanya justru perasaan ini semakin tumbuh. Ia seperti sebuah bunga yang sedang mekar. Harum, dan memancing lebah untuk mendatanginya.

…..

APAKAH IA KEMBALI KEPADA MANTANNYA…

Hari minggu adalah waktu yang tepat untuk berolahraga. Aku dan Teo pun telah janjian satu  hari sebelumnya untuk berolahraga

agar pikirannya sedikit terjenihkan. Pikiran yang selalu membawanya untuk menikmati indahnya perselingkuhan. Walau dengan susah payah, akhirnya Teo akhirnya mau ikut dengan ku.

Suasana Car Free Day seperti ini memang sangat aku rindukan. Ribuan orang berkumpul untuk sekedar lari pagi, atau menikmati jajanan tahun 90'an yang sudah sulit ditemui. "Ayo lari!!" Kata ku.

" Kau saja An, aku duduk disini saja" ujarnya. Lalu ia menarik tangan ku dan meletaknya di dadanya

" Kau tidak merasakannya, jatuk hampir copot. Apakah aku akan mati" Ujarnya dengan sedikit lebay

. "Ok. Ok. Kau tunggu disini, aku akan lari satu putaran" Jawab ku.

Aku berlari melewati kerumunan manusia. Teriknya matahari pada saat itu tidak membuat ku lelah untuk menyelesaikan satu putaran. Meski nafas ku sudah terengah – engah, namun aku enggan  untuk menyerah. Aku kembali berlari, sampai pada akhirnya aku benar – benar tidak kuat. Lalu duduk sebentar sembari minum es jeruk seharga 8 ribu rupiah.

Saat aku sedang asyik minum segelas jus jeruk. Aku melihat Dion sedang bersama seseorang. Aku lalu memakai kaca mata agar pandangan ku lebih jelas. Tapi saat aku melihatnya dengan jelas itu justru menyayat hati ku. Dion sedang bersama mantan pacarnya. Ia nampak tersenyum, berjalan bersama layaknya sepasang kekasih yang disatukan kembali.

Meski langit pada hari itu nampak cerah, namun hati ku seakan gelap gulita. Aku yang tadinya memiliki harapan dengan dirinya, kini seakan tertutup kabut hitam. Air mata ku hampir tumpah, namun aku menahannya.

Tunggu…

Mengapa aku harus bersedih. Bukankah aku dan Dion tidak memiliki hubungan. Lagi pula bukankah aku yang selama ini menggantungkan cintanya. Lantas, mengapa kini aku seolah adalah korban. Ada apa ini. Ada apa dengan diri ku. Mengapa aku seakan tidak rela jika Dion bersamanya kembali. Apakah aku..

Apakah aku benar – benar sudah jatuh cinta dengannya. Apakah aku cemburu karena melihat dirinya dengan sang mantan kekasih. Tidak, tidak!!!!..

Daripada aku membuat pikiran ku tambah kacau, lebih baik aku segera pulang.

" Ayo kita pulang" Ujar ku.

" Ha!. Pulang?. Kita kan baru sampai" Jawab Teo.

"Aku sudah lelah" kata ku.

Aku pun mengakhiri hari itu dengan hati yang terbakar. Hati yang seakan tidak rela jika cintanya kembali ke pangkuan yang lama….

…..

Sejak kejadian itu, perlahan aku mulai mengabaikan Dion. Berkali – kali ia menghubungi ku, aku tak pernah menjawabnya. Untuk saat ini aku hanya butuh jeda. Melihat ke dalam diri ku sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Aku sadar bahwa ini terlalu rancu untuk aku jabarkan layaknya sebuah rumus matematika. Namun, ini terlalu nyata. Aku mencoba menepis semua tentang Dion, tapi mengapa disaat dirinya bersama orang lain aku terbakar api cemburu.

Cinta memang membingungkan. Aku terlalu bodoh untuk bisa menentukan jalan apa yang aku pilih. Aku tak ingin terburu – buru apalagi salah langkah. Aku takut. Takut akan jatuh kedalam jurang yang salah. Takut jatuh cinta kepada orang yang salah. Aku takut, atau kah aku terlalu naif.

….

Pikiran ku makin tak karuan, apalagi Dion selalu berusaha menghubungi ku. Hati ku berkata untuk menjawab panggilnya, tapi raga seolah menolaknya. Aku seperti  terjebak dalam pikiran ku sendiri.

Tidak, tidak. Aku harus bisa keluar dari semua ini. Aku tidak boleh lari. Aku harus menyelesaikan masalah ku dengan Dion. Aku ingin pikiran ku tenang dan tidak terbayang – bayang akan dirinya.

…..

Akhirnya aku menyerah dan memutuskan menemui Dion di salah satu café di Jakarta.

"Tak biasanya kau mengajak ku bertemu. Apakah ada hal yang ingin kau bicarakan?" tanyanya pada ku.

Pikiran dan perasaan ku kembali bertempur. Mata ku mulai berlinang. Namun aku mencoba kuat untuk mengatakannya.

"Dion. Bisakah kau menjauh dari ku?" pintaku dengan suara lirih.

" Ta. Tapi kenapa. Apa salah ku?" tanyanya dengan terbata – bata. Aku memejamkan mata. Berharap air mata ini tidak jatuh dan membahsahi pipih ku.

Namun, perasaan ku jauh lebih kuat. Aku terlalu lemah. Air mata itu pun tumpah. Seperti layaknya hujan yang turun di malam hari.

"Aku tidak perlu alasan untuk menjelaskannya. Pilihannya adalah kau yang pergi atau aku yang pergi?". Kata – kata ku seakan membuat Dion semakin bingung. Pria yang nampak tangguh itu pun seolah rapuh karena mendengar kata – kata ku.

Ia lalu meraih tangan ku "Aku sungguh tidak mengerti. Jika memang aku melakukan kesalahan. Tolong katakan" Pintanya dengan suara lirih.

Aku mencoba mengabaikan permintaanya dan berbohong padanya. "Aku sudah punya kekasih" Jawab ku dengan tegas. "Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari seseorang yang menunggu cintanya. Yaitu membohongi perasaannya sendiri. Bibir mu mungkin berkata seperti itu, tapi mata mu seolah tak bisa berbohong" katanya.

Aku memejamkan mata sejenak. Memasuki kembali pikiran ku. Berharap ada jawaban yang bisa aku katakan agar Dion percaya pada ku. Namun, semakin aku bertanya pada pikiran ku sendiri, aku seolah tidak menemukan jawabannya. Aku bertanya pada hati ku. "Kau kan sudah kembali dengan kekasih mu, untuk apa kau menunggu ku?" Tanya ku.

"Kekasih ku?" tanyanya .

Aku lalu menjelaskan padanya tentang apa yang aku lihat pada tempo hari. Dion pun tertawa.

"Mengapa kau tertawa?" Tanya  ku.

" Tidak. Tidak. Lucu saja. Kau marah pada ku karena aku jalan dengan mantan kekasih ku. Tapi kau sendiri seolah mengacuhkan perasaan ku. Lalu mengapa kau marah?" tanyanya.

Ahhhh. Kenapa ini. Kenapa aku seolah sekarang yang menjadi tersangka. Aku kan berharap bahwa semua tidak berakhir seperti ini. Aku menjadi salah tingkah.

"Ah. Lupakan saja. Aku mau pulang saja sudah malam". Aku lalu berdiri. Ia lalu meraih tangan ku kembali. "Biar aku antar" Katanya.

Dion pun mengantarkan ku pulang. Sepanjang perjalanan wajahnya nampak begitu gembira. Sesekali ia melirik ke arah ku.

Beberapa saat sebelum sampai, Dion memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia lalu memalingkan wajahnya kearah ku. "Kenapa kau berhenti?" tanya ku.

Dion terdiam, ia tak membalas pertanyaan ku. "Ayolah, sudah malam. Aku sudah ngantuk".

"Tahukah kau bahwa malam ini aku sangat bahagia?" tanyanya. Aku pun bingung mendengar pertanyaan tersebut.

"Bahagia, kenapa?" tanya ku.

"Aku bahagia, karena pada akhirnya hati mu terbuka untuk ku". Aku menjawab dengan terbata – bata, berusaha menepis pernyataannya.

"Ti.Tidak. Siapa yang membuka hati untuk mu" Kata ku. Aku memalingkah wajah ku. Lalu tersenyum. Aku tersipu malu mendengar ucapannya. Namun, aku tidak boleh terlihat goyah, hanya karena ucapan manisnya tersebut.

"Mengapa kau memalingkan wajah mu" kata Dion.

"Hay" ujarnya sembari menyetuh wajah ku. Detak jantung ku kembali berdebar kencang. Kenapa. Kenapa lagi – lagi aku merasakan hal ini. Mungkinkah, mungkinkah ini….

"Aku boleh meminta mu sesuatu?" tanyanya. "Apa itu?". Dion lalu meminta ku memenjamkan mata. Aku pun dengan bodohnya menuruti permintaanya. Tanpa sadar bibir kami pun saling bersentuhan. Namun, aku  seolah tidak menolaknya. Aku membiarkannya membawa ku dalam sebuah dimensi yang berbeda.

Dimensi Cinta yang tak pernah aku rasakan. Cinta yang berbeda. Dengannya aku seolah menemukan hal baru dan arti cinta.  Dengannya aku larut bagaikan gula dalam segelas air.

....

Malam  menjadi saksi  

Diantara kedua bibir kita yang saling bertemu

Tanpa permisi..