Entah mengapa sejak saat itu aku merasakan ada yang aneh. Pasti ada yang salah. Aku harus bisa membuyarkan perasaan ini. Aku tidak boleh sampai terhanyut apalagi masuk kedalam pusaran cinta yang tak berujung seperti ini. Aku sudah muak mendengar kata cinta. Aku tak ingin mempercayainya. Ia adalah hal yang pertama kali membuat ku bahagia, namun juga yang pada akhirnya membuat ku terpuruk. Tidak, aku tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali.
Meski diriku berusaha menghancurkan apa yang aku rasakan saat ini. Tapi entah mengapa perasaan ini justru seakan tak pernah pudar. Apakah aku begitu naif, atau kah aku. Ya Tuhan, bisakah kau memberikan aku jawaban atas apa yang terjadi saat ini. Aku saat bingung. Melawan perasaan ku namun seakan bertempur dengan diri sendiri. Tapi jika aku mengikutinya bukankah pada akhirnya hanya kepalsuan yang akan aku dapatkan.
Saat ini aku benar – benar tidak bisa berfikir dengan jernih. Aku seperti terperangkap disebuah jaring yang tak bertuan di tengah hutan & hanya berharap sebuah keajaiban datang hanya dengan berteriak.
...
Hampir setiap malam saat pulang kuliah, aku melihat Dion di parkiran mobil. Aku tahu dia kesini pasti karena ingin menemui ku. Akan tetapi aku selalu menghindarinya. Berbagai cara aku lakukan agar Dion tidak melihat ku. Mulai dari menumpang di mobil salah satu teman ku sampai di persimpangan jalan. Atau menunggu sampai batas waktu kampus di tutup.
Bahkan pernah aku harus terpaksa pulang jam 11 malam hanya sampai kampus di tutup. Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi untuk menghindarinya. Aku mencoba membuang perasaan ini. Perasaan yang aku anggap salah. Perasaan yang membuat ku bimbang.
…..
Di kala pikiran ku kacau tak karuan seperti ini, aku memang membutuhkan teman curhat. Siapa lagi jika bukan Teo. Tapi bagaimana caranya ku mengutarkannya. Pasti Teo akan mentertawakan ku. Tapi jika aku pendam sendiri, aku akan tersiksa.
Dengan keraguan yang mendalam aku pun memberanikan diri untuk menceritakannya kepada Teo.
"Lalu, apa saran mu?" tanya ku.
"Kau yang merasakannya. Harusnya kau jauh lebih tahu apa yang harus dilakukan" Sahutnya.
Lalu aku bertanya balik kepadanya. "Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?".
Teo terdiam. Ia lalu menghela nafas. "Jika aku jadi kau, aku akan mengikuti apa yang hati ku katakan".
Aku mencoba membatah pernyataannya. "Tapi bukankah ini tak wajar, lagi pula aku sudah tidak percaya dengan cinta".
"Mau sampai kapan kau tidak percaya dengan cinta. Kau itu hanya sakit hati karena kejadian di masa lalu. Itu sudah berlalu. Sudah saatnya kau membuka diri".
Apakah benar yang dikatakan Teo. Apa aku terlalu naif atas kejadian di masa lalu. Tidak mungkin aku mengikuti perasaan ini. Terlalu rancu untuk diartikan apakah aku bahagia atau nantinya akan terluka. Apakah dengan menjalin hubungan seperti ini, cinta itu justru lebih tulus.
Tidak. Tidak. Tidak.
Cinta sesama jenis terlalu berkemelut, hal – hal indah memang sering digambarkan di Film – Film tapi tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Lagi pula dibalik kebualan Dion pasti tersimpan niat busuk yang belum aku ketahui.
Astaga….
Kenapa aku bisa berfikir seperti itu. Ah, rasanya aku ingin menghilangkan pikiranku tentangnya. Tapi apakah aku bisa. Bahkan setiap malam menyapa, yang aku pikirkan hanyalah perasaan ini. Perasaan bimbang. Perasaan yang masih mengandung tanya tanya. Perasaan ku kepada Dion..
...
Malam itu Teo mengajak ku untuk dugem di salah satu club. Aku mencoba menolaknya, karena tidak terbiasa dengan hirup pikuk dunia malam. Namun, dengan memohon Teo meminta ku untuk ikut. Jika bukan karena alasan pertemanan, aku mungkin tidak akan mengiyakan permintaannya.
Benar saja sesampainya disana aku bak kambing conge yang hanya bisa melihat betapa liarnya Teo berjoget dengan para wanita. Rasa ngantuk mulai menyapa ku. Suara musik yang begitu kencang justru membuat pikiran ku makin kacau. Aku pun memutuskan keluar, untuk sekedar mencari angin segar.
Menatap langit ibu kota jauh lebih indah dibandingkan harus melihat kelakuan Teo.
"Akan jauh lebih indah jika menatap wajah ku". "Dion!!" kata ku.
Aku kembali menjadi orang yang salah tingkah.
"Sedang apa kau disini?" tanya ku. Ia mendekat. Lalu tersenyum.
" Bukankah, harusnya aku yang bertanya itu pada mu" ujarnya.
Karena males berdebatan dengannya, aku pun menjauh darinya.
"Kau menghindari ku. Kau takut. Atau kau sedang bersembunyi dibalik perasaan mu sendiri".
Aku berbalik badan. Lalu mendekatinya. "Aku tidak pernah menghindar dari mu. Oh ya, dan satu lagi aku tidak memiliki perasaan terhadap mu.".
" Mari kita buktikan" Katanya
"Maksudnya?" Tanya ku…
" Kita bercinta". "Ha!!!". "Kau jangan senang dulu. Tidak hanya kita berdua, aku akan mengajak satu wanita. Jika memang kau tidak memiliki perasaan terhadap ku. Maka terimalah tantangan ini".
Haruskah. Haruskah aku mengiyakan tantanganya yang begitu konyol ini. Jika aku menghindarinya, aku pasti selalu dihantui oleh pikiran & perasaan ku sendiri. Tapi, jika aku menerima tantangannya, apa yang akan terjadi. Ah, bagaimana ini. Apa yang harus aku pilih. Apakah aku harus bercinta dengannya. Tidak, tidak. Tidak!!!!...
" Fine" sahut ku.
" Ok, kita ketemu 15 menit lagi. Nanti akan aku kirimkan alamat & nomor kamar hotelnya".
Aduh, apa yang barusan aku katakan. Mengapa aku menerima tantangannya. Astaga!!!!.
…..
Dion mulai melepaskan pakaian yang ia kenakan. Ia lalu menikmati setiap lekuk tubuh wanita itu. Tidak ada satu pun bagian yang tak berjejak. Setiap apa yang dilewatinya selalu ia tandai. Ia begitu piawai dalam menjamah tubuh seorang wanita. Sungguh tak diragukan lagi. Ia terlalu lihai. Sampai – sampai wanita itu tak kuasa.
Lalu Dion menyuruh ku mencoba melakukannya dengan wanita itu. Aku pun memulai permainan ku. Mendekati wanita itu, menulusuri setiap lekuk tubuhnya. Namun, aku tidak merasakan apa – apa. Lalu Dion ikut bertempur. Tubuh kami saling bersentuhan, dan aku mulai bisa merasakan nikmatinya nafsu duniawi.
Tidak. Tidak. Ini pasti ada yang salah. Aku tidak mungkin kehilangan jati diri ku sebenarnya.
" Aku selesai. Kalian saja" Kata ku. Aku lantas pergi meninggalkan mereka.
Kenapa, kenapa aku tidak bisa merasakan seperti sebelumnya. Mengapa justru disaat tubuh ku dan Dion bersetuhan, aku mulai terhanyut dalam permainannya. Apa yang terjadi pada diri ku. Terlalu bias untuk aku artikan kejadian ini.
Presatan kau Dion!!!. Kau membawa ku dalam lingkaran permainan mu,hingga aku tak bisa merasakan apa yang seharusnya aku rasakan.
"An. Ada apa?" Sembari memegang tangan ku.
"Lepaskan."
"Tapi,kenapa?".
Aku membentaknya. "Lepaskan!!!!".
Malam yang suram bagi ku. Malam yang penuh dengan misteri yang tidak bisa aku mengerti. Mengapa. Mengapa aku lari… Aku terlalu takut atau kah memang bersembunyi dibalik perasaan ku sendiri.
...
Sejak kejadian malam itu aku jarang keluar rumah. Bahkan belakangan ini pun aku jarang datang ke kampus. Aku ingin menjernihkan pikiran ku dulu. Membuyarkan apa yang terjadi pada malam itu agar lebih tenang, dan terbebas darinya.
Namun, apakah kebebasan itu berarti adalah penghindaran. Apakah dengan cara ini aku justru akan menghilangkan perasaan yang abstrak ini. Sampai kapan. Sampai kapan aku bisa menghindarinya. Bukankah masalah harusnya untuk dihadapi bukan untuk dihindari. Tapi aku terlalu takut. Terlalu lemah untuk menghadapi masalah ini.
Apakah jalan keluar atas masalah ku ini terlalu jauh, sampai – sampai aku tidak bisa menemukannya. Ya Tuhan bisakah kau memberiku petunjuk agar aku terbebas dari masalah ini.
....
Toko buku adalah tempat yang paling menyenangkan bagi ku. Disini aku bisa melihat betapa luasnya pengetahuan. Disini aku seperti orang bodoh yang haus akan ilmu. Namun, tempat ini jugalah yang mempertemukan ku dengannya. Pria dengan tinggi 175 cmn itu menyapa degan ramah saat aku tengah berada di depan kasir. Aku pun membalas sapaannya tersebut.
"Kau juga suka baca novel itu?" Tanya pria itu. "Iya" Sahut ku.
"Harus baca sampai habis, ceritanya bagus" Katanya.
Perkenalan pertama itu membuka pintu pertemanan kami. Kami pun berbincang – bincang disalah satu kedai kopi yang tak jauh dari lokasi toko buku tersebut. Perbicangan itu pun seakan tak mengenal waktu. Sampai sang bintang menampakan cahayanya.
Aku berpamintan kepadanya. Tetapi ia menawarkan tumpangan kepada ku. Aku pun ragu untuk mengiyakannya. Ia mencoba menyakinkan ku. Aku pun pulang bersamanya. Ditengah perjalanan aku tak sanggung lagi menahan ngantuk. Hingga tertidur.
Lalu aku terbangun dengan tangan dan kaki sudah terikat. Aku berusaha melepaskan ikatan itu, tapi rasanya mustahil. Ikatan itu terlalu kencang, bahkan pergelangan tangan ku sampai memerah.
" Percuma. Kau tidak akan bisa lari dari sini" Katanya. Ia lalu mendekati ku. Menyentuh tubuh ku seakan aku adalah budak cintanya. Ia lalu melepaskannya kemeja yang aku kenangan. Aku berusaha menghalaunya, tapi tidak bisa. Ya Tuhan, apakah kau akan mengirimkan malaikat untuk menolong ku.
Doa ku seakan terkabul. Malaikat tak bersayap itu datang. Dion lalu menghajar pria tersebut. Sampai akhirnya pria tersebut menyerah dan pergi.
"Kau tidak apa – apa?" Tanyanya dengan lembut. Ia lalu melepaskan ikatan itu.
Apakah ini benar – benar Dion, atau aku yang sedang berkhalusinasi. Bagaimana mungkin dia bisa ada disini. Cerita ku seperti di film – film saja.
" Kenapa. Kau bingung ya, aku bisa ada disini?".
"Hmmm" Jawab ku.
Ternyata Dion mengikuti kami saat aku berada di toko buku. Karena curiga dengan pria tersebut, ia pun membuntui kami sampai disini. Entah kata apa yang harus ku ucapakan padanya. Aku menjadi malu sendiri. Padahal aku sedang berusaha menjauh darinya, tapi mengapa ia selalu hadir disaat aku membutuhknya. Apakah ini hanya kebetulan semata atau garis yang ditakdirkan Tuhan. Tanda tanya yang masih menjadi misteri..
…..
Sejak kejadian malam itu aku tak lagi menghindar dari Dion. Bahkan kini aku tak sungkan untuk menemuinya selepas pulang kuliah. Meski hati ku masih belum tahu apakah bisa menerimanya atau tidak. Namun, aku berusaha untuk bersikap baik padanya. Setidaknya aku tidak menjadi orang yang tak tahu balas budi. Lagi pula apa ruginya.
....
KEBUSUKAN ITU TERBONGKAR…
Malam itu aku menunggu Dion dibelakang kampus dengan penuh amarah. Aku sengaja memilih tempat ini karena nampak sepi dan jauh dari kerumunan. Sepuluh menit kemudian, Dion datang. Dengan wajah tersenyum ia menghampiri ku sembari membawa segelas minuman segar.
Saat ia benar – benar berada dihadapan ku, tanpa sepatah kata aku langsung menamparnya. Minuman yang ia bawa pun terjatuh.
"Kau kenapa?" Tanyanya sembari memegang pipihnya.
"Kau masih tanya kenapa?".
Dengan nada yang lebih keras, aku membentak "Harusnya kau yang bertanya pada dirimu sendiri!!!!."
Apa yang menimpa ku beberapa hari lalu ternyata adalah ulah Dion. Ia sengaja membuat rencana seperti itu agar aku merasa
"Mulai saat ini, menjauhlah dari hidup ku" Kata ku…..
…..
Aku benar – benar tak percaya Dion bisa melakukan hal itu. Aku pikir dia adalah pria yang baik. Nyatanya aku hanyalah korban dari tipu muslihatnya. Air mata ku seketika menetes, membayangkan betapa pedihnya perasaan ku saat ini. Aku yang mulai percaya padanya, justru harus menelan pil pahit karena mengetahui kebusukannya lebih dulu.
Apakah memang di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya lagi. Atau aku memang yang terlalu bodoh. Terlalu cepat mempercayainya dengan kata – kata manisnya. Aku terlena, terbuai, bahkan hampir terhanyut dalam sebuah drama yang ia mainkan
….
Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Dion. Tadinya ku pikir ia menghilang karena aku yang memintanya menjauh dari hidup ku. Ternyata aku salah. Teo memberitahu ku bahwa sudah beberapa hari ini Dion dirawat di Rumah Sakit. Seketika Mata ku berlinang mendengar kabar itu. Aku merasa sangat bersalah telah memperlakukannya dengan tidak baik.
Aku lantas mengunjunginya. Sesampainya di depan kamarnya, langkah ku terhenti. Aku kembali bingung. Apakah yang aku lakukan ini benar. Ah, bagaimana ini. Apakah aku harus terus melangkah atau justru berbalik arah. Ya Tuhan, berikanlah aku petunjuk..
Saat aku berbalik, datang seorang wanita paruh baya.
" Mau menjenguk Dion, nak?" tanyanya pada ku.
Aku pun seakan tidak bisa berkata – kata. Dan akhirnya melangkah masuk. Aku melihat Dion yang sedang tertidur pulas dengan tangan diinfus. Dengan suara agak pelan aku bertanya
" Maaf bu, jika boleh tahu Dion sakit apa?".
"An" sahut Dion dengan suara pelan.
"Ibu keluar dulu ya nak" katanya sembari memberi senyum.
Rasa gugup itu pun masih menghantui ku. Meski aku berada dihadapannya, entah mengapa bibir ku seakan mati rasa.
" Kau sakit apa?" tanya ku.
"Jika kau ingin tahu. Mendekatlah, aku tidak bisa berbicara kencang – kencang" katanya. Aku pun menurutinya. Mendekatkan wajahku ke arahnya. Dion lalu mencium pipih ku. Aku lantas mencubitnya. "Kau ini, sedang sakit masih sempat – sempatnya mencari kesempatan" kata ku.
Ia lalu memegang tangan ku.
" An. Maaf soal kejadian lalu" katanya dengan memohon. Aku lalu memalingkah wajah ku. " Tidak, untuk apa aku memaafkan mu". Rawut wajahnya seketika berubah. Ia yang tadinya tersenyum, seolah menampakan kekecewaan. " Iya, ya. Sudah aku lupakan juga kok".
"Lalu?".
"Lalu. Lalu apa, maksudnya?" tanya ku.
"Tentang perasaan mu terhadap ku. Apakah kau sudah siap membukanya untuk ku" tanyanya.
Dengan terbata – bata aku menjawab pertanyaanya. " eh,eh, soal itu, aku.."