"Apa maksud Papa!?"
Aku bertanya, meski dengan sangat jelas mendengar—bahkan dapat mengulangi tiap kata—perkataan Papa. Tapi aku berseru, menanyakan maksud Papa, karena aku tidak ingin mempercayai bahwa orang yang telah membesarkanku dengan rasa sayang, akan berlaku setega ini padaku.
"Papa berniat untuk menikahkanmu dengan salah seorang relasi Papa."
Perkataan itu Papa ulang kembali dengan tenang.
Berbalik keadaan dengan aku yang sudah sangat ingin menggulingkan meja makan di depanku, disebabkan oleh emosi yang kian meluap dan hampir tidak terkendali atas omong kosong yang dikatakan oleh Papa.
"Papa serius!? Papa mau mengumpankan aku pada ... pada ...," aku tergagap untuk mencari pandanan yang sesuai bagi seorang bujang lapuk yang akan dipasangkan dengan gadis muda seumurku, "pada Bandot Tua!? Papa tahu? Papa itu pria tua kejam dengan tingkat kekejaman iblis di Neraka Jahaman."
Aku tidak peduli pada perkataanku pada Papa yang terlampau kasar. Salah Papa, yang dengan mudahnya melemparkan aku pada kambing tua jelek untuk dinikahi. Tunggu, kambing tua memang buruk. Tapi bagaimana jika relasi yang disebutkan oleh Papa, merupakan perwujudan dari kuda nil ketika menjelma menjadi manusia? Yang mana gemuk, mempunyai gigi jelek dan berkulit kemerahan dengan bau badan yang busuk.
Tidak! Sampai mati pun aku tidak ingin berpasangan dengan pria seperti itu. Bahkan tidak dalam mimpi yang sangat terburuk di hari yang sama buruknya.
"Aku tidak mau!" kataku menengaskan keinginan yang bersarang dalam hati.
Papa menghela napas panjang. Entah dikarenakan perkataanku yang terbilang kasar atau disebabkan oleh sikapku yang sama seperti gadis berumur lima tahun saat ia menolak untuk memakan bayam, meski tahu makan tersebut menyehatkan.
Tapi dalam keadaan saat ini, di mana aku akan dinikahkan paksa dengan bandot tua, sama sekali tidak ada definisi 'sehat' dari segi mana pun.
"Alvan—pria yang akan dinikahkan dengamu, tidaklah setua itu, hingga bisa disebut sebagai 'Bandot Tua'. Dia baru melewatkan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, dan dalam kondisi prima. Wajahnya pun tidak buruk seperti yang Papa tahu ada dalam kepalamu. Dia tampan, jika kamu sudah bertemu dengannya, Papa yakin kamu akan tertarik," terang Papa dengan seluas senyum di bibir. Mungkin mencoba untuk menenangkan dan menguatkan penjelasannya.
Aku melengos, sama sekali tidak mempercayai perkataan Papa sedikitpun dan dengan sarkastis menambahkan keterangan yang diberikan oleh Papa. "Juga memiliki kelainan dan aneh! Papa pikir aku akan percaya dengan omongan Papa? Kalau memang dia, dalam kondisi prima dan tampan, kenapa di umur tiga puluh tahun dia belum menikah? Padahal dia—seperti perkataan Papa sebelumnya—pengusaha sukses dan pastinya memiliki jumlah uang yang cukup besar dalam rekeningnya.
"Pastilah dia terlalu jelek hingga dengan jumlah kekayaan yang dimiliknya tidak dapat menutupi fakta itu. Jikalau pun dia memiliki wajah tampan—seperti yang Papa bilang, dan sampai saat ini belum menikah, ada kemungkinan dia homoseksual. Papa mau aku menjalani Lavender Marriage, untuk menutupi orientasinya!?"
"Kalina!" seru Papa.
Bibirku merenggut kesal, meski dalam hati aku menciut atas seruan yang Papa keluarkan. Mendapatkan perlakuan seperti itu membuatku ingin menangis dan menjerit. Karena artinya Papa memilih untuk membela kuda nil jelek yang merupakan penyebab awal argumenku dengan Papa.
Hal ini membuatku curiga bahwa bandot tua itu telah mengguna-guna Papa agar berada di pihaknya, atau menculik, kemudian mengganti Papaku tersayang dengan robot yang menuruti keinginannya.
"Aku berhak mengatakan apa pun mengenai penilaianku atas Bandot Tua itu," kataku tidak mau mengalah, "lagi pula untuk apa Papa memaksaku untuk segera menikah? Jangan-jangan ...."
Kalimat yang ingin kukatakan terputus. Memikirkan dugaan buruk bahwa Papa menyuruhku menikah untuk menyingkirkanku dari rumah karena dia ingin menikah lagi.
Tapi beberapa detik kemudian, Papa menghilangkan ketakutan atas praduga-ku tersebut. Seakan apa yang kupikirkan keluar dari kepalaku dan melayang di udara hingga Papa bisa membacanya. "Papa bukan ingin menikah lagi. Papa berniat menikahkanmu karena Papa ingin ada orang yang menjagamu saar Papa pergi dipanggil Tuhan."
Aku terperangah, sementara hatiku mencelus.
Dari setiap hal yang kukarang sebagai alasan atas dasar Papa memaksuku menikah, tidak pernah terbersit sama sekali tentang sebuah kematian yang akan menjemput Papa sebagai alasan. "Papa sakit? Kenapa Papa tidak bilang sebelumnya? Apa karena itu Om Darius sering datang dan pergi ke rumah? Untuk memeriksa kondisi Papa?"
Seharusnya aku menyadari hal seremeh itu sejak awal. Dengan menghubungkan benang-benang peristiwa atas kejadian yang ada di sekelilingku. Mungkin dikarenakan aku terlalu memikirkan diri sendiri dan mendahulukan keegoisanku, hingga tidak menyadari bahwa pria terpenting dalam hidupku menanggung kesusahannya seorang diri.
"Papa tidak apa-apa, Sayang," sambil memeluk kepalaku di bahunya, "hanya saja Papa sudah tidak muda lagi. Papa tidak ingin saat Papa pergi, tidak ada yang menjaga dan memanjakanmu."
"Papa tidak akan mati, Papa akan terus hidup," kataku irrasional.
Sebuah tawa serak keluar dari bibir Papa menanggapi perkataanku yang tidak masuk akal. "Itu tidak mungkin, Kalina Sayang."
"Tapi Papa tidak apa-apa 'kan? Papa tidak sakit atau apa pun?" Aku bertanya untuk meminta kepastian.
"Papa tidak apa-apa, Sayang. Untuk gadis kecil Papa, Papa akan terus berusaha."
Aku hanya berdiam diri dalam pelukan Papa. Menikmati kemanjaan dalam dekapan pria paling penting dalam hidupku. Berpura-pura bahwa dia akan hidup selamanya, hingga anak cucuku lahir, hingga aku menutup mata mengakhiri usia. Meski begitu, sebagian diriku menyadari bahwa tidak ada satu hal pun yang abadi.
Hal itu membuatku melinak pada keputusan Papa yang semena-mena.
"Aku mau," kataku dengan lirih. Kutarik napas dalam-dalam sebelum kembali mengulangi kata-kataku. "Aku mau. Aku akan menemui Bandot Tua itu untuk Papa. Tapi bukan berarti aku ingin menikah dengannya."
"Namanya Alvan, Sayang. Papa senang sekali kamu mau bertemu dengannya." Senyum yang kukenal baik tergurat di bibir Papa. Saat itu aku meyakinkan diri bahwa kekhawatiranku pada kondisi Papa hanyalah kecemasan yang tidak masuk akal.
"Bagiku dia seorang bandot tua." Aku masih berkeras.
"Kalau Alvan seorang bandot tua, Papa lebih dari itu." Papa menyinggung kenyataan bahwa perbedaan umur antara dia dan Mama yang cukup jauh. Karena itu di usiaku yang baru saja menginjak dua puluh satu tahu, papa sudah menyentuh kepala tujuh. Umur di mana dia seharusnya sudah memiliki cucu.
Aku tersenyum menanggapi perkataan Papa. Seakan kami, atau lebih tepatnya aku, pada akhirnya menerima rencana Papa untuk menikahkanku. Di luar aku memang menunjukkan hal itu, tapi di dalam hati, aku bersumpah akan membuat Alvan-si-Bandot-Tua melupakan apa pun rencananya terhadapku dan menegaskan bahwa dia tidak cukup pantas untuk menjadi suamiku.
Meski dalam mimpi terliarnya sekali pun.