Chereads / The Beloved Liar / Chapter 9 - Ninth Lie

Chapter 9 - Ninth Lie

Dalam hidup, aku sering mempertanyakan banyak hal. Seperti: Kenapa seorang bandot tua sangat terobsesi menikahi seorang gadis belia; Kenapa tidak ada hukum yang membebaskan orang dari segala konsukuensi, jika yang ia bunuh dalah bajingan; Kenapa Papa terkadang kejam sekali; dan pertanyaan yang kini bercokol terus di kepalaku dan sangat kusesali ..., kenapa saat seorang pembunuh amatiran menawarkan jasanya, aku tidak menerimanya dengan senang hati.

Hal yang semula kutolak karena tidak ingin menghadapi kerumitan dan segala komplikasi yang mengikuti. Tapi ini aku berpikir segala apa pun yang mengikuti dari menyewa pembunuh bayaran amatir, jauh lebih menyenangkan dibanding dengan situasi yang kini tengah kuhadapi.

Aku dengan wajah penuh riasan, namun dikarenakan gaya yang diambil masih terlihat sangat natural. Berpakaian dengan gaun bermodel sederhana namun menyatakan kelas. Lalu seakan belum cukup dengan semua itu, tidak lupa dengan perhiasan tinggi dari rumah perancang perhiasan ternama yang merupakan hadiah ulang tahunku yang ke dua puluh satu, melingkari pergelangan dan leher, juga menghias rambutku yang terurai.

Jika aku tidak tahu kenapa aku berpenampilan seperti ini. Aku pastilah berpikir akan menemui orang penting, yang setara dengan penyelamat alam semesta. Sayangnya, bukanlah pahlawan hebat yang mungkin dapat membelah matari yang akan kutemui. Tapi seorang iblis yang naik dari lapis dasar neraka terakhir ke permukaan. Sialnya, inkarnasi dari iblis itu yang Papa pilihkan untuk menjadi suamiku.

Mungkin, jika dipikir lagi, sebelum aku menerima tawaran pembunuh bayaran amatiran. Aku lebih dulu membujuk Papa mengunjungi Om Darius untuk pemeriksaan yang memang menjadi niatku sejak bertemu dengan Alvan-Iblis. Percaya atau tidak, aku benar-benar mengusahakan hal itu terjadi.

Setelah Papa, pada makan malam kami sebelumnya, memberitahukan berita yang setara dengan horor terburuk. Yang menyatakan bahwa kami akan menemui Alvan-Sinting berserta keluarganya. Aku yang semula berteriak, menciptakan suara yang jauh dari apa yang dihasilkan manusia, lalu berhenti karena lelah dan Papa sama sekali tidak bereaksi atas hal tersebut.

Berganti taktik. Mengeluarkan air mata buayaku yang sebelumnya selalu berhasil meluluhkan Papa dan memintannya untuk mengunjungi Om Darius saat itu juga. Entah kenapa, air mataku kehilangan kekuatannya. Papa tidak mengubris itu, dan berkeras akan menemui Om Darius setelah aku bertemu dengan keluarga Alvan-Gila.

Pada awalnya, aku menaruh kecurigaan, pertemuanku dengan Alvan-Iblislah yang menyebabkan air mataku kehilangan keampuhannya. Tapi, setelah aku menelaah ulang, sepertinya bukan dikarenakan makhluk sinting itu memiliki kekuatan dan pengaruh atas efek yang dihasilkan oleh air mataku.

Lebih tepat jika dikatakan, pada sebelumnya Papa tahu tangisanku hanyalah sebuah kepalsuan semata. Tapi karena Papa berhati lunak dan baik—sangat berbeda dengan Alvan-Gila, Papa membiarkanku mendapatkan yang aku mau. Hanya saja kali ini Papa seperti mengeraskan hati, tidak membiarkan air mataku mempengaruhinya.

Membuatku kini mau tidak mau duduk di sisi Papa, pada meja rumah makan yang Papa pilih untuk pertemuan, menunggu kedatangan Alvan-Iblis berserta keluarganya. Tapi, tentu saja aku masih mengusahakan agar hal itu tidak terjadi.

"Papa, kalau mereka telat datang, lebih baik batalkan saja. Kalina tidak mau memiliki hubungan keluarga dengan orang yang tidak menghormati Papa," kataku dengan nada penuh konspirasi.

Papa yang mendengar itu, tidak mengatakan apa pun. Hanya tersenyum sambil mengusap rambutku.

Aku tahu apa yang mendasari reaksi Papa itu. Bertemuan yang akan kami lakukan, direncanakan pada jam delapan malam. Saat ini masih ada tujuh belas menit lagi untuk Alvan-Sinting dan keluarganya datang sebelum dikategorikan untuk terlambat.

Pada biasanya, aku sangat tidak menyukai jika seseorang datang melebihi waktu yang ditentukan. Tapi saat ini aku benar-benar berharap Alvan-Iblis dan keluarganya, melakukan itu. Agar aku memiliki alasan untuk tidak melanjutkan perjodohan, atau pertunangan, atau apa pun yang Papa dan Iblis-Alvan itu rencanakan.

Sayangnya, seperti serentetan ketidakberuntungan yang menimpaku bahkan sejak hanya mengetahui nama Alvan-Iblis. Seperti mengetahui aku tidak menginginkan kehadirannya, saat aku tengah memohon agar ia tidak datang, pintu terbuka dan menampilkan sosok Alvan-Iblis diambang pintu.

Seketika, aku berpikir bahwa tanpa kusadari aku telah masuk dalam sebuah film horor tanpa kuketahui. Karena ada dorongan mendesak yang membuatku ingin berteriak sekencangnya saat melihat Alvan yang kini berjalan masuk ke ruang makan. Jika Papa tidak ada di sampingku, mungkin aku akan menjerit sekuat yang aku bisa. Tanpa memedulikan sekelompok orang yang masuk bersama dengan Alvan.

Saat pikiranku tidak terpusat pada Alvan-Sinting, dan beralih pada orang yang berada di sisinya. Bohong namanya jika aku mengatakan tidak memiliki pemikiran tertentu pada dua orang yang menghasilkan iblis bernama Alvan. Dalam bayanganku, mereka kurang lebih sama seperti hal-nya Alvan-Iblis. Culas, bengkok, dengan sikap dan pemikiran yang jauh dari manusia pada normalnya.

Tapi, ternyata ..., mengejutkan, mereka normal?

"Kalina, sini beri salam pada Om Dani dan Tante Siska," kata Papa yang mungkin mengatakan itu karena aku hanya diam berdiri.

Tanpa perlu Papa menyuruhku kedua kalinya, aku menyapa pasangan normal yang entah kenapa berhasil memiliki iblis seperti Alvan sebagai anaknya. "Om Dani, Tante Siska, salam kenal. Aku Kalina."

Aku melengkapi kalimat perkenalan itu dengan senyum manis yang aku tahu banyak sekali orang yang menyukainya. Sepertinya Tante Siska adalah salah satu dari orang tersebut, karena setelahnya, Tante Siska menangkup wajahku dan mengatakan, "Kamu manis sekali, Kalina."

Aku hanya terkekeh malu sebagai respons atas pujian itu.

Hanya saja, senyum atau tawaku tidak bertahan lama di bibir, saat Tante Siska mendorong lembut mahkluk yang sebenarnya hanya perlakuan kasarlah yang pantas ia terima. Seperti belum bertemu dengan mahkluk yang tak terkatakan itu, Tante Siska dengan baik hati memperkenalkannya padaku. "Kalina, kenalkan ini anak Tante, Alvan."

Selama beberapa detik, aku dan iblis bernama Alvan hanya bertukar pandang dalam diam. Pada akhirnya, baik aku ataupun iblis gila itu mengeluarkan senyum bersamaan seperti memiliki kesepakatan bersama pada sebelumnya.

"Halo, Kalina, senang berkenalan denganmu." Iblis sinting itu mengatakan dengan nada seakan kami baru saja bertemu saat ini.

Yah, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Malah sangat bersyukur atas kepura-puraan yang penuh dengan kepalsuan yang Alvan ambil. Karena alternatif lain adalah di mana pria itu naik ke atas meja dan mendeklarasikan dengan lantang apa yang pernah kam—maksudku, ia lakukan padaku. Suatu hal yang bahkan tidak pernah aku bayangkan di dalam mimpi buruk terliarku dan aku harap tidak akan pernah berada di situasi itu.

Dan aku pun bersikap seperti halnya Alvan-Sinting. Berpura-pura baru saja bertemu makhluk itu dengan mengatakan, "Halo, Om Alvan, salam kenal."

Tidak seperti Alvan-Gila yang mengatakan 'senang berkenalan', aku tidak dapat mengatakan kebohongan besar yang dapat membuatku masuk ke dalam neraka hanya mengatakannya. Sebab, kesenanganku hanya dapat kurasakan dalam situasi yang melibatkan hilangnya Alvan dari bumi.

Entah dikarenakan perkataanku yang bahkan tidak mencoba untuk menutupi ketidaksenanganku, Alvan-Setan tertegun.

Tapi sepertinya, dugaanku salah, karena Alvan-Gila mengulang kata yang membuatnya dalam keadaan itu. "Om?"

Aku menahan diri untuk melengos saat mendengar itu. Beranggapan lucu bahwa Alvan-Sinting terpengaruh oleh kata 'Om' yang sengaja kugunakan untuk memperjelas perbedaan generasi di antara kami. Seharusnya Alvan bersyukur karena aku tidak memanggilnya 'Bandot Tua' seperti yang caraku memanggilnya saat aku berbicara dengan Papa.

"Iya, Om Alvan. Mengingat perbedaan umur kita jauh, aku rasa lebih sopan memanggil Om dengan sebutan itu. Atau ..., Om lebih suka kupanggil dengan sebutan paman?" Tentu saja, meski aku mengatakan seperti itu, baik aku ataupun Alvan tahu, panggilan tersebut bukan dilandasi oleh rasa hormat seperti yang aku citrakan.

Aku rasa, meski belum menyamai skor yang dibuat oleh Alvan-Iblis. Aku mendapatkan poin tambahan atas ini dalam papan skor pertengkaran kami yang entah aku sendiri tidak jelas kapan dimulai.

Seperti biasa, suatu hal yang terjadi saat aku bersinggungann dengan Alvan. Saat aku merasa berada di atas angin, makhluk itu membalikkan situasi. "Bisa kata berbicara secara pribadi?"

The Beloved Liar – 09 Ninth Lie | 14 Nopember 2021