Meski sulit untuk mengakuinya, tapi aku tahu, aku salah. Aku salah mengenai anggapanku tentang oh-calon-tunanganku itu. Setelah bertemu dan melihat sendiri secara langsung, apa yang semula menjadi asumsiku, hancur. Alvan bukanlah kuda nil dengan tubuh gemuk dan memiliki kulit menggelambir.
Mungkin, dikarenakan dugaan yang kulakukan itu, aku harus meminta maaf ... pada kuda nil. Karena aku dengan begitu kejam menyamakan hewan yang tidak bersalah dan lucu—jika dibandingkan—dengan makhluk sial bernama Alvan.
Maafkan aku, Kuda Nil.
Alvan adalah kambing dengan tanduk melintir, yang merupakan perwujudan nyata dari iblis neraka lapis akhir yang datang ke atas permukaan bumi. Menurutku, itu ucapan yang sangatlah sesuai untuk pria dengan sikap sadis yang dengan begitu tegaknya menganiaya seorang gadis.
Jika orang berpikir aku berlebihan dalam hal itu, aku menyarankan untuk merasakan langsung kekejaman yang Alvan-Kambing lakukan. Seperti halnya apa yang dilakukan oleh Kambing-Bertanduk-Melintir itu kepadaku lusa kemarin.
...
"Papa tolooong!!!"
Aku terus berteriak saat Alvan menggotongku melalui klub malam yang dipenuhi oleh orang. Meski tidak dengan senang hati ikut beroartisipasi, aku yang dibawa layaknya karung berisi kentang oleh Alvan, menjadi atraksi tambahan yang tidak terduga bagi pengunjung.
Lalu si Avlan-Kambing-Betanduk-Melintir dengan tidak tahu malunya, mengumumkan dengan nada banggu dan ceria bahwa kami sedang melakukan pengambilan adegan untuk sebuah film independen.
Aku pikir, sebagian besar—jika tidak seluruh—pengunjung tahu, Alvan berbohong . Terkecuali film independen yang Alvan maksudkan adalah film erotis yang tidak layak untuk diedarkan. Tapi tidak seorang pun melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan itu, mereka hanya menganga, tertawa ata pun mencibir.
Pada akhirnya aku tidak lagi berteriak. Melainkan diam, berpura-pura mati. Selain untuk menyimpan tenaga, dengan itu aku pun bisa menganggap bahwa gadis yang sedang dibawa bagai gadis desa yang diculik oleh penguasa lalim bukanlah aku. Gadis itu adalah orang lain, yang meski sama-sama memiliki nama Kalina.
Karena jika gadis itu memanglah aku, pastilah aku sudah mati karena rasa malu yang teramat sangat. Jadi, untuk mencegah aku mati di usia muda, kuharap orang yang melihatku pun akan berpikir sama.
Alvan sama sekali tidak menggubris atas kediamanku yang begitu tiba-tiba. Pria jahat ini terus membawaku ke suatu tempat yang aku tidak tahu. Kuharap orang kejam ini tidak membawaku ke ruang pendingin untuk menyimpan 'mayat'-ku di sana dan membiarkannya membeku begitu saja.
Tidak lama setelahnya, tubuku dijatuhkan ke sebuah tempat empuk dan nyaman. Aku yang masih berpura-pura mati, berusaha sedikit membuka mata untuk bisa memilihat sekeliling namun dengan tidak begitu ketara—kuharap. Sebuah ruangan yang difungsikan sebagai kamar tidur. Lengkap dengan tempat tidur berukuran California king size, bukan, Alaska king size, karena ukurannya sedikit lebih besar dari tempat tidurku yang berada di rumah.
Sedikit banyak hal itu menimbulkan pertanyaan dalam benarku. Kenapa klub malam terdapat ruangan seperti ini? Tapi aku tidak sedemikian naïf. Aku tahu, jika berurusan dengan uang dalam jumlah banyak, pastilah secara langsung berkaitan dengan bisnis dunia belakang. Bisa dikatakan klub malam milik Alvan-Setan—atau setidaknya, keluarganya—bukanlah sebuah klub malam biasa.
Ada pepatah yang mengatakan, jika terlalu banyak menggunakan waktu, maka waktu akan mengalahkan kita.
Kondisiku kurang lebih digambarkan dengan sempurna lewat pepatah itu. Terlalu banyak berpikir mengenai keadaan yang berlangsung, sampai aku lupa untuk memanfaatkannya. Jeda yang hadir ketika aku dijatuhkan di tempat tidur, tidak kumaanfatkan dengan baik untuk melarikan diri.
Aku malah disibukkan oleh hal tidak penting. Seperti ... mendeskripsikan ruangan!?
Hal ini semakin membuatku tidak mengerti dengan tokoh utama yang ada dalam cerita, yang bisa dengan mudahnya mendeskripsikan sesuatu di tengah keadaan genting. Lalu berakhir dalam keadaan tolol seperti yang saat ini kualami; dengan kedua tangan terikat dengan erat satu sama lain di bagian belakang tubuh.
"Lepaskan! Atau akan kuadukan kamu ke kator polisi!"
Oke, itu ancaman paling inovatif dan sangat bagus dalam abad ini. Tidak perlu melihat reaksi si Gila-Alvan, aku saja memutarkan mata setelah mendengar kalimat itu selesai terucap keluar dari mulutku.
Itu bodoh. Aku tahu. Itu hanya sebuah ancaman kosong. Aku paling tahu. Karena, meski menyedihkan, hukum memiliki sedikit dampak pada orang-orang seperti kami. Di mana memiliki latar belakang keluarga yang memiliki kekuatan juga uang dalam jumlah banyak.
Oleh sebabnya, dibanding mengucapkan ancaman kosong yang akan membuatku malu dan menggali lubang kuburanku semakin dalam tiap detiknya, aku mengambil tindakan lain. Memperhitungkan jarak tepat antara aku dan Alvan-Jahaman-Kejam, menentukan momen yang sempurna, lalu ... dengan kakiku yang bebas, aku menghantamkan sebuah tendangan tepat di wajah Alvan yang Menyedihkan.
Belajar dari kesalahan. Tanpa menunggu atau mendeskripsikan apa pun, aku secera melarikan diri. Tapi ternyata aku melihat diriku di posisi lebih tinggi dari seharusnya. Aku lebih naïf dari apa yang kupikirkan. Dengan siku aku mencoba menurunkan kenop pintu agar terbuka. Setelah melakukan percobaan itu berulang kali dalam panik, daun pintu masih tidak menunjukkan tanda-tanda terbuka. Meski kenop sudah turun berkali-kali.
Tentu saja Alvan-Bajingan tidak bodoh, atau naïf sepertiku. Sewaktu kami masuk, meski aku tidak melihat karena terlalu terfokus pada tempat tidur dan mendeksripsikannya, aku yakin sekali orang jahat itu mengunci pintu.
Tenang, Kalina ... tenang.
Kalau pun tidak bisa melarikan diri dari ruangan ini, setidaknya aku harus terhindar dari Orang-Gila-Pemakan-Gadis-Muda-Bernama-Alvan. Aku pun lari ke arah berlawanan. Di mana sebuah pintu yang kucurigai sebagai akses masuk ke dalam kamar mandi berada.
Baru beberapa langkah kuambil, tubuhku terangkat dan lagi-lagi Alvan kembali mengangkatku seperti karung kentang.
"Turunkan aku! Turunkan!" Aku berseru berulang kali dengan kaki yang terus memberikan sebanyak mungkin tendangan ke tubuh Alvan. Hanya butuh beberapa langkah diambil oleh Alvan, aku pun kembali terlempar ke tengah tempat tidur. Kali ini aku lebih sigap. Tanpa membuang waktu, aku memanfaatkan jeda waktu yang ada dan melayangkan sebuah tendangan ke wajah Alvan.
Seperti halnya aku, Alvan pun belajar dari kesalahan. Tendangan yang kuberikan dengan mudahnya pria jahat itu mentahkan dengan mencengkram pergelangan kakiku. Aku berkali-kali menggoyangkan kakiku yang tertangkap, juga menendang dengan kaki lain yang bebas. Alvan sama sekali tidak menggubris semua itu. Seakan tindakanku hanyalah embusan angun yang lewat begitu saja.
Dengan seringaian iblisnya yang mulai kukenali, Alvan-Setan tersenyum. Tanpa kuduga sama sekali dia melakukan sebuah tindakan menjijikkan, yang membuat bulu di tubuhku naik semua. Dengan lidahnya, Alvan menjelajahi kakiku yang ia cekal. Berawal dari ibu jari, turun ke pergelangan kaki dan perlahan namun pasti menuju bagian atas kakiku.
"Iiih! Hentikan! Ini menjijikkan!"
Aku menghadiahkan sebuah tendangan di wajah Alvan, agar dia berhenti dari perbuatannya yang menjijikkan. Alvan berhenti—meski hanya sesaat. Yang hanya untuk dia gunakan untuk menampakkan senyum pongah yang membuatku akan melayangkan sebuah tamparan jika kedua tangan—atau salah satunya—bebas. Tapi, karena kedua tanganku terikat, aku hanya mendaratkan telapak kakiku dengan cantik tepat di tengah wajahnya.
Sebuah benda dingin dan licin menyelusuri telapak kakiku. Alvan memberikan tindakan yang sama seperti pada kakiku yang ia cekal, menjilatnya. Dengan membabi buta. Aku menendang-nendang ke segala bagian tubuh Alvan yang bisa kukenai. Alvan-yang-Sudah-Bisa-Kupastikan-Gila hanya tertawa atas tindakanku. Melihat itu aku mencurigai bahwa Alvan seorang maniak dengan fetish tingkat berat, di mana dia sangat menyukai disakiti.
Aku tidak lagi mempedulikan fetish aneh milik Alvan-Gila, saat tangan pria itu turun dan masuk ke dalam pakaian yang kukenakan. Kemudian si Alvan-Maniak menarik dengan perlahan celana dalamku.
"Mau apa kamu!?"
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Karena aku tahu apa yang akan dilakukan oleh pria maniak itu, melepaskan celana dalamku. Aku memberontak, menendang, mengata-ngatai Iblis-Bernam-Alvan dengan segala umpatan buruk yang kuketahui. Bahkan aku sampai menyumpahi Maniak Gila itu mati tanpa pemakaman yang layak.
Tapi oarang yang kusumpahi sampai seperti itu hanya tertawa, seakan kemarahan juga segala makian yang kukatakan lucu dan tidak menghentikan tindakannya sama sekali.
Di tengah amukanku, aku berpikir bahwa Papa mungkin sudah mengalami rabun senja atau penurunan otak. Jika Pria-Gila-Kejam-Bagai-Iblis-Neraka-Lapis-Terakhir ini bisa dengan mudahnya Papa kategorikan sebagai pria baik. Jika aku selamat dari cengkraman Iblis Gila ini, hal yang pertama kali aku lakukan adalah membawa Papa ke rumah sakit untuk menyakinkan bahwa mata juga otak Papa baik-baik saja.
Tentu saja aku tidak akan lupa untuk mengatakan "Kubilang juga apa", pada Papa. Karena perkataanku, tentang Alvan di mana dia aneh dan kelainan adalah benar.