Celana dalam favoritku yang memiliki motif bungan dengan bahan renda, sedikit demi sedikit meluncur menuju ujung kakiku. Meski aku menendang-nendang untuk mencegah hal itu terjadi. Apa yang kulakukan memang memperlambat, tapi tidak dapat menghindarinya.
Saat secarik kain itu melewati pergelangan kaki dan sepenuhnya terlepas dari tubuhku, aku tanpa segan melayangkan sebuah tendangan dan mendaratkan telapak kakiku ke wajah Iblis-Bernama-Alvan untuk kesekian kalinya.
Sama seperti sebelumnya, tindakanku sama sekali tidak dipedulikan oleh pria gila itu. Mungkin, jika memang Alvan setan mempedulikannya, orang sinting itu menganggap yang kulakukan adalah sebuah pemanasan untuk memulai kegemaran akan seks yang cukup menyimpang. Terlihat dari senyum pongah yang tergurat di bibirnya.
Jujur saja, senyuman yang Alvan-Iblis tampilkan, memunculkan dengan sangat nafsu dalam diriku saat melihatnya. Nafsu untuk mencakari wajahnya hingga cacat permanen, yang bahkan di bawah dokter bedah plastik handal pun tidak akan bisa menyelamatkan kerusakan yang terjadi.
"Kamu lebih baik berhenti sebelum kami menyesalinya, Bandot Tua!" seruku sebelum Alvan melakukan praktik seks menyimpang dengan aku sebagai objeknya.
Alva-si-Kambing-Melintir malah melebarkan senyuman pongahnya dan membalas, "Memang apa yang akan kusesali, Gadis Kecil?"
Bibirku mencebik mendengar Alvan-Sinting memanggilku dengan sebutan 'Gadis Kecil'. "Sudah kubilang berkali-kali aku bukan 'Gadis Kecil', jangan memanggilku seperti itu!" Sebuah tendangan kulayangkan sebagai penegasan atas ketidaksukaanku.
Alvan-Kambing mengangkat kedua tangannya ke atas, seakan dia menyerah. "Oke, oke, baik. Jangan marah ..., Gadis Kecil."
Ketendang lagi Alvan-Kambing sekali lagi. Tapi kali ini aku terlalu malas untuk menanggapi candaan yang bercampur dengan ejekan atas ketidaksukaanku dipanggil 'Gadis Kecil' olehnya.
"Lepaskan aku! Aku tahu, berteriak minta tolong bahkan sampai suaraku menjadi serak pun percuma, dan melaporkan orang gila sepertimu pada polisi pun hanya buang-buang waktu." Aku berhenti sejenak, menatap langsung ke mata kambing perwujud iblis itu untuk menegaskan ancaman yang akan kukatakan bukanlah suatu hal yang bisa dia anggap enteng. "Aku akan melaporkan perbuatanmu pada Papa. Kupikir itu bukan hal baik untukmu atau pun bisnis keluargamu."
Alvan diam sejenak, tidak menanggapi apa yang kukatakan.
Saat kupikir ancamanku berhasil menekannya, aku mendengar Alvan-Kambung tertawa. Awalnya hanya sebuah tawa yang serupa dengan sebuah bisikan sampai kemudian semakin keras tiap detik yang berlalu. Bahkan atas tawa itu, Alvan sampai tertunduk dan memegangi perut saking kerasnya dia tertawa.
Jikalau sedari awal aku tidak menganggapnya sinting, pastilah melihat Alvan-Gila saat ini aku akan berpikir bahwa dia sudah kehilangan akal. Sayangnya, aku sudah tahu bahwa akal Alvan-Gila itu memang sedari awal tidak ada. Kalau pun ada, itu hanyalah pikiran rusak yang tidak layak diketahui oleh gadis baik-baik sepertiku.
"Kenapa kamu tertawa!? Memang kamu pikir aku bercanda!?" Aku menyela sebelum kegilaan Alvan yang memang sinting semakin menjadi. Aku sudah sangat keberatan berada di dekat Alvan-Sinting saat dia masih bersikap seperti orang normal pada umumnya, jadi mana mungkin aku mau berada di dekatnya saat dia menggila.
Alvan berhenti tertawa. Dengan tangannya, dia mengusap ujung mata di mata karena banyak tertawa air matanya mengenang di sana. "Aku tahu, kamu serius, Gadis Kecil," kata Alvan-Gila membernarkan, "aku tertawa, karena kupikir kamu manis sekali."
Aku melemparkan pandangan bosan padanya saat Alvan-Sinting mengatakan aku manis. Entah orang gila itu mengatakannya untuk memuji atau menghina, aku tidak tahu. Tapi aku tahu alasan di balik dia mengatakan hal itu tidak baik.
Tidak mengacuhkan tatapanku yang merendahkannya, Alvan-Kambing meneruskan. "Kamu naïf, Putri. Kamu pikir aku akan membiarkanmu mengadu pada Papamu?"
"Kamu pikir aku peduli?" balas aku.
Entah apa rencana yang akan dilakukan Alvan-Kambing untuk membuatku menutup mulut, tindakan itu tidak akan menyurutkanku mengatakan apa yang dia lakukan terhadapku kepada Papa.
"Tidak, aku tahu kamu tidak akan peduli," jawab Alvan-Gila.
Kupikir akal sehat pria sinting itu—setelah menerima beberapa tendanganku—kembali, saat dia sedikit beranjak. Hanya saja pemikiran itu sirna dalam sekejap saat Alvan-Sinting membuka ikat pinggang dan juga kancing celana panjangnya.
Oke. Aku melupakan alasan kenapa aku memanggilnya sinting. Itu dikarenakan Alvan memang seadri awal tidak memiliki akal. Jadi kenapa aku berpikir apa yang tidak pernah dimilikinya akan kembali? Aku bodoh!
Kakiku bergerak membabi buta menendangi Alvan-Gila. Setengah berharap kakiku mendarat di bagian depan tubuhnya yang kini hanya tertutupi oleh pakaian dalamnya saja. Sayangnya, mungkin dikarenakan terlalu sering mendapatkan serangan yang sama, Alvan mengantisipasi serangan yang kulakukan dengan baik dalam satu gerakan.
Dengan sigap, Alvan menempatkan satu kakiku di antara kedua kakinya. Lalu dengan tubuhnya, Alvan menekan bagian dalam pahaku. Sementara satu kakiku yang tidak dalam terjebak di antara kedua kaki Alvan, pada bagian bawah menempel di badian depan tubuh Alvan dan bagian bawah mengantung canggung. Aku yang ingin memberikan sebuah tendangan agar Alvan-Kambing menjauh, sama sekali tidak bisa melakukan hal itu karena terhalang oleh tubuh Alvan.
Alvan sedikit bergerak maju untuk menanggapi perlawananku yang menyedihkan itu. Hingga bagian sensitifku bersentuhan dengan bahan celananya. Sebuah sentuhan yang sangat ringan. Tapi dikarenakan bahan celana Alvan memiliki tekstur permukaan yang sedikit kasar, membuat sentuhan tersebut bagaikan sebuah hal yang sangat besar.
Aliran listrik statis seoleh muncul dan menjalar ke sekujur tubuhku. Tindakan Alvan yang seharusnya hanya menyebabkan rasa geli, entah kenapa memunculkan reaksi yang hanya muncul saat aku melihat sebuah adegan ciuman atau pun film dewasa yang pernah diam-diam kulihat. Membuat bagian faminimku bergetar, juga menghasilkan cairan yang memenuhi tiap bagiannya dan menjadikanku merasakan suatu hal yang mengelisahkan di sana.
Alvan menggerakkan kakinya. Tidak lambat juga tidak cepat, tapi secara konstan tanpa terputus dari satu gerakan ke gerakan lainnya. Cairan yang dihasilkan oleh kewanitaanku tidak hanya lagi memenuhi bagian dalam diriku, namun juga sudah menciptakan bekas noda yang kian lama kian jelas dan membesar di celana milik Alvan.
Aku sudah tidak lagi melakukan perlawanan percuma yang sedari tadi kulakuan. Hanya berdiam diri—atau hanya itu yang mau kuakui. Karena kenyataannya, tubuhku seakan memiliki kehendak sendiri dan semakin mendekat juga melekat erat pada tubuh Alvan.
Kakiku yang bebas, kini mengurung tubuh Alvan, sebuah reaksi tanpa sadar yang kulakukan saat ia bergerak sedikit menjauh. Reaksi itu pasti akan membuatku menampari diriku sendiri saat otak yang kumiliki tidak lagi ditenggelamkan oleh hormon-hormon yang sepertinya mengambil kendali penuh saat ini.
Jadi, karena otakku kini berhenti berfungsi dengan baik di mana kucurigai disebabkan oleh kesintingan Alvan-Kambing yang menular, aku hanya mengerang menikmati apa yang terjadi.
Terlebih saat aku sadar, apa yang membuat Alvan bergerak menjauh adalah demi memposisikan lututnya untuk menggantikan paha yang semula menjahiliku. Lutut Alvan memang bukan tergolong berukuran kecil, bahkan besarnya dua kali dari lutut milikku. Tapi, jika dibandingkan dengan paha miliknya, lutut Alvan jauh memiliki ukuran yang lebih kecil. memudahkan dia untuk menekan tutuk tersensitifku.
Alvan yang sudah menempatkan posisi, kembali menyiksaku. Ujung lututnya berada di posisi tepat di bagian kewanitaanku yang mencuat. Mengesek-gerekkan bagian itu dengan ritme yang sama seperti sebelumnya. Mungkin karena kali ini Alvan-Gila benar-benar mengenai sasaran, sensasi yang kurasakan jauh berbeda dengan sebelumnya. Kali ini lebih menjerumuskan.
Tidak hanya puncak dadaku yang mencuat memberi respons, mulutku pun tidak kuasa menahan erangan dan secara otomatis meluncur keluar. Tentu saja erangan lainnya kuusahakan untuk tidak meluncur keluar dari bibirku. Seakan senang dengan reaksi yang kuberikan, kaki Alvan bergerak lebih cepat dan membuat adrenalin di tubuhku berpesta pora.
Aku pun tidak lagi kuasa untuk menahan diri. Tidak lagi mempeduiikan apa pun terkecuali kenikmatan yang akan kuraih.
"Aaagh!" Suara eranganku memenuhi ruangan. Diikuti keluarnya cairan kenikmatan yang membasahi celana panjang Alvan.
Akal sehatku yang semula berkelana entah ke mana, kini kembali pada pos di mana dia bertugas. Membuatku dipenuhi oleh rasa malu yang teramat sangat, lebih dari saat Alvan-Maniak membopongku dan berjalan melalui lantai klub yang penuh. Aku menduga inilah cara Alvan-Iblis membungkamku. Membuat aku larut oleh kepuasan untuk kemudian mengeksploitasinya.
Aku memiliki kecurigaan bahwa Alvan-Maniak itu memiliki gen badak bercula dalam tubuhnya. Karena di saat aku tengah berperang dengan diriku sendiri, mengutuki diri juga Setan-Bernama-Alvan, dengan tidak malunya setan itu mengatakan, "Tubuhmu sensitif sekali. Baru kali ini aku bertemu dengan perempuan yang orgasme hanya dikarenakan sebuah gesekan."
Sebuah gesekan!?
Berani sekali Kambing Sinting ini mengatakan itu. Aku memang tidak berpengalaman, tapi bukan berarti aku terlalu bodoh untuk tahu kalau Bajingan Sialan ini memiliki jam terbang begitu tinggi. Yang bisa dengan mudahnya membuat ia menerima gelar Penjahat Kelamin.
Alvan yang melihatku melemparkan pandanga yang bisa menghanguskan besi, lagi-lagi dan lagi, tersenyum pongah—hal yang tidak mau kuakui, tapi menjadi akrab di mataku—dengan sengaja menyentuhkan lututnya kembali di bagian tubuhku yang masih berdenyut.
Bagian yang semula sudah sensitif, dan semakin sensitif karena telah mencapai kepuasan, merespons tindakan sederhana Alvan dengan Maksimal. Membuatku mengerang akibat sentuhan yang terasa bagi sengatan listrik tegangan rendah.
"Sungguh," kata Setan yang naik dari neraka dengan suaranya yang lembut, hangat, dan licin bagai madu.
Aku yang tidak bisa menerima pelecehan itu, mulai melakukan tindakan yang selalu kulakukan jika semua tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Mataku mulai memicing dan bibirku mulai menekuk-nekuk, sebelum kemudian raungan frustasiku menggema diikuti oleh air mata.