Entah Papa menyadari tapi berpura-pura tidak tahu atau memang sama sekali tidak sadar, bahwa aku hanya berjanji untuk menemui Si Bandot-Alvan itu. Bukan setuju untuk menikah dengannya.
Lagi pula, apa aku terlihat seperti gadis gila? Aku baru berumur dua puluh satu tahun, banyak hal yang ingin kulakukan dan menikah dengan bujangan lapuk berumur tiga puluh tahun tidak masuk ke dalam daftar rencanaku.
Sebaiknya Papa juga si Bandot-Alvan tidur saja, untuk bermimpi masalah aku menyetujui pernikahan yang diatur itu. Bahkan aku yakin, dalam mimpi pun aku akan menolak rencana itu.
Satu lagi, meski aku menyetujui untuk bertemu dengan si Bandot-Alvan, bukan berarti aku akan duduk diam dengan tenang menunggu sampai hari di mana kami akan dipertemukan tiba. Tidak. Aku tidak akan duduk diam dengan manis. Itu tindakan yang diambil oleh gadis lain, tapi tidak pernah dan tidak akan mungkin menjadi tindakanku.
Maka itu, dengan memberikan alasan bohong pada Papa, aku memacu mobil menuju sebuah klub malam bernama Black Tortoise. Tempat yang merupakan salah satu cabang dari kelompok bisnis yang Iraloka, yang merupakan usaha milik keluarga Alvan. Juga menurut informasi yang kukumpulkan merupakan lokasi yang sering dikunjungi oleh Alvan.
Letak Black Tortoise berada di jantung kota. Aku sudah tidak asing lagi dengan lingkungan di sekitarnya, dikarenakan banyaknya plaza berdiri di wilayah tersebut. Meski begitu, klub malam milik si Bandot-Alvan merupakan wilayah baru bagiku.
Papa tidak pernah melarangku secara keras untuk datang ke tempat sejenis klub malam. Bagi Papa, aku sudah mencapai umur di mana aku bisa bertanggung jawab saat mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Tapi, aku pribadi tidak begitu tertarik untuk mengunjungi tempat hiburan dewasa seperti klub malam.
Wajar saja jika aku sedikit banyak terkejut saat melihat eksterior Black Tortoise, yang sangat jauh berbeda dengan apa yang kubayangkan tentang sebuah klub malam. Di mana aku berpikir akan disambut dengan lampu sorot bersinar acak, lengkap dengan lampu dekorasi yang ramai.
Klub malam milik si Bandot-Alvan, sama sekali tidak seperti itu.
Dari luar, penampilannya seperti sebuah rumah makan kelas atas yang hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu. Dengan gaya yang formal namun santai, didominasi penuh oleh warna hitam seperti namanya—Black Tortoise. Mau tidak mau aku harus melayangkan sebuah pujian pada si Bandot-Alvan atas selerahnya—atau para perancang yang disewa orang itu.
Setelah menuruni tangga, yang mana pintu masuk dirancang berada di bawah tanah, aku dihadang oleh penjaga saat akan masuk ke dalam. Alisku mengerut, menyatakan ketidaksukaan menemui sebuah halangan untuk mencapai tujuanku.
"Ada apa?" Aku bertanya tanpa menutupi perasaan kesal yang kurasakan.
Pria bertumbuh tinggi dan mengenakan pakaian serba hitam yang menghadangku, dengan suaranya yang rendah berkata, "Bisakah Anda menunjukkan kartu keanggotaan Anda?"
Kerut di dahiku semakin dalam saat mendengar kalimat itu. Kartu anggota? Aku sama sekali tidak berpikir jauh sampai ke sana. Melihat bagaimana penampilan Black Tortoise, yang menyiratkan keekslusifan tidak mengherankan jika sebuah akses masuk dibutuhkan.
"Apa tidak bisa diganti dengan kartu identitas? Aku hanya perlu masuk sebentar," kataku mencoba bernegosiasi.
Untuk beberapa saat, penjaga itu memandangku. Entah berdasarkan patokan apa yang penjaga dari lihat dari penampilanku, akhirnya dia menyetujui negosiasi yang kutawarkan. "Asalkan Anda berjanji tidak akan membuat keributan dan membuktikan Anda sudah berusia dua puluh satu tahun, saya dapat mengizinkan Anda masuk. Dengan didampingi oleh saya selama Anda menyelesaikan urusan Anda."
Mendengar itu, aku pun langsung membuka tas tangan yang kubawa untuk mencari kartu identitas. Seakan menyetujui persyaratan yang diajukan untuk diizikan masuk, meski aku tahu dengan baik, permintaan untuk membuat keributan pasti dengan segera kulanggar setelah bertemu dengan bandot tua yang berpikir bisa menikahiku.
Setelah beberapa waktu mengeksplorasi tasku dengan cukup lama untuk ukuran yang begitu kecil. Aku tidak menemukan sedikit pun tanda-tanda keberadaan kartu identitas yang akan memberiku akses masuk sementara.
Penjaga keamanan seperti tahu ketidakhadiran kartu identitasku di dalam tas yang kubawa mengucapkan, "Saya mohon maaf, jika Anda tidak memiliki kartu identitas untuk menunjukkan bahwa Anda telah berumur dua puluh satu tahun dan juga jaminan sementara untuk masuk, saya tidak bisa mengizinkan Anda memasuki tempat ini."
Aku mengejan dan langsung menyuarakan sebuah protes atas keputusan ini. "Biarkan aku masuk. Aku sudah dua puluh satu tahun, dan aku hanya perlu masuk sebentar ke dalam."
Aku bersikeras karena tidak ingin kehilangan kesempatan dan membuang waktu sedikit pun untuk mengkonfrontasi pria yang dalam waktu dekat ini akan Papa kenalkan sebagai calon suamiku. Tapi penjaga keamanan malah mendesah. Dari tindakan itu aku tahu bahwa apa pun alasan yang kuberikan, jika tidak didampingi oleh kartu identitas di tangan, maka hal itu tidak berarti apa-apa.
"Saya benar-benar menyayangkan, tapi mohon maaf Anda tidak diperkenankan untuk masuk." Bersamaan dengan kalimat itu terucap, penjaga tersebut membentangkan tangan. Menghalangi aku yang baru saja akan melangkahkan kaki masuk ke dalam.
Bibirku merenggut atas larangan itu, dan melemparkan sebuah tatapan tajam. Melihat penjaga keamanan yang bergeming di bawah tekanan yang kuberikan, aku memilih cara lain. Jika memang aku tidak diizinkan untuk ke dalam, maka pilihan lain adalah meminta untuk membawa keluar si Bandot-Alvan. "Kalau memang aku tidak diperbolehkan untuk masuk, bawa keluar pria yang bernama Alvan Adhyastha Nirwashita."
Ekspresi rama yang semula ditunjukkan oleh penjaga keamanan berganti dengan ekspresi datar. Dengan sebuah isyarat, dia memanggil petugas lain yang segera datang menghampiri mereka. Ketika itu, aku sadar bahwa mereka akan mengusirku secara paksa dari sini. Sebelum niat penjaga terlaksana, seorang pria datang dan masuk ke adalam situasi yang sangat mungkin berubah menjadi adegan memalukan jika dia tidak datang.
"Ada apa ini?" Pertanyaan itu dikeluarkan oleh pria yang baru saja datang dan masuk ke dalam situasi yang saat ini berlangsung.
Entah kenapa, atas perkataan itu petugas yang semula berniat untuk melemparkanku keluar dari wilayah Black Tortoise mengurungkan niat. Aku yang penasaran dikarenakan rekasi tersebut, melemparkan pandangan pada pria pendatang baru itu.
Kesan yang pertama kali kudapat adalah pria itu bertumbuh tinggi. Sangat tinggi. Memakai pakaian serba hitam, dari turtleneck, blazer dan celana yang dia gunakan. Apa yang dipakai oleh pria itu menyiratkan kemewahan dengan samar. Karena meski tidak ada satu pun logo brand perancang kelas dunia, pakaiannya memiliki kualitas yang sangat bagus dan merupakan hasil jahitan tangan, bukan sebuah produksi massal.
Yang membuatku merasa heran. Dengan kehadiran pria itu di sini, seluruh perempuan yang berada di sekitar kejadian, memberikan sebuah tatapan mendamba padanya. Serupa dengan ekspresi ketika melihat bongkahan es di hari yang sangat panas. Atas reaksi itu, membuatku bertanya-tanya seberapa aneh wajahnya, hingga membuat perempuan yang melihatnya berekspresi seperti itu.
Saat aku mengalihkan pandangan ke atas, untuk melhat wajah pria yang menghindarkanku dalam keadaan memalukan, aku menemukan sebuah kekecewaan. Pria itu tisak memiliki tiga mata, dua mulut atau pun empat hidung yang berjajar di wajahnya.
Semua normal. Wajahnya memiliki proporsi ideal dengan rahang kokoh yang menyiratkan kekeraskepalaan. Memiliki rambut hitam dan bermata cokelat tua pada umumnya. Tidak ada yang aneh atau pun istimewa. Pria itu kurang lebih memiliki kesan yang ditampilkan Papa pada masa mudanya yang kulihat melalui foto, namun dengan wajah yang berbeda.
Tapi aku kemudian mengingat, bahwa Papa sampai saat ini masih menerima tatapan yang sama dari perempuan layaknya pria itu. Apa itu berarti wajah Papa dan pria tinggi di depanku ini tergolong aneh? Kalau memang begitu, Wajahku pun juga termasuk aneh. Karena aku pun sering mendapatkan tatapan sepura, meski dari para pria ketika berada di tempat umum.
"Ada apa, Gadis Kecil?" tanya pria tinggi yang wajahnya aneh itu.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk melihat siapa gadis kecil yang dia maksudkan. Kemudian aku sadar, bahwa akulah yang dipanggil gadis kecil olehnya. Dengan serentetan kejadian, mulai dari Papa yang berniat menikahkanku, penjaga yang mempertanyakan kelayakanku untuk masuk karena tidak yakin akan umurku, dipanggil orang yang baru kukenal bukanlah suatu hal yang membuatku bereaksi menyenangkan.
Bibirku pun merenggut, sangat tidak menyukai panggilan yang digunakan pria itu untuk memanngilku. "Aku bukan seorang gadis kecil."
Dia yang mendengar pernyataanku, tersenyum dan berkata, "Baiklah kalau begitu. Nona yang Telah Dewasa ini memiliki keperluan apa jika boleh kutahu?"
Diberi lampu hijau, aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung menyatakan keinginanku. "Aku ingin bertemu dengan pria bernama Alvan Adhyastha Nirwashita."
Pria di hadapanku yang sampai detik lalu masih menebarkan senyum, membeku seketika ketika aku mengucapkan nama si Bandot-Alvan. Aku pikir pastilah reaksi itu sangat kuat hubungannya dengan si Bandot-Alvan, di mana ada kemungkinan—jika bukan pasti—pria yang kusebutkan namanya memiliki reputasi yang amat sangat benar-benar buruk.
"Nona yang Sudah Dewasa ini ada keperluan apa dengannya?" tanyanya saat kebekuan yang semula ada lenyap dan memunculkan kembali senyuman di wajahnya. Meski jika aku harus berkomentar, senyumnya kali ini mengeluarkan kesan sedikit aneh.
Dengan kemungkinan yang sudah sangat kecil dipertemukan oleh Bandot-Tua-Alvan, aku pun menumpahkan apa yang ingin kusampaikan pada pria di depanku. Berharap perkataanku akan sampai ke telinga si Bandot-Alvan.
"Tolong katakan pada pria itu untuk tidak bermimpi untuk menikahi seorang gadis muda. Aku, Kalina Adira Halim, sama sekali tidak pernah berniat untuk menikah dengannya. Bahkan dalam mimpi sekali pun. Lebih baik dia mencari perempuan yang lebih pantas untuknya dibanding mengganggu dan memangsa seorang gadis muda." Usai mengatakan itu, aku langsung menyilangkan tangan dengan rasa puas.
"Gadis Kecil, kamu Kalina?"
Lagi-lagi pria itu memanggilku dengan panggilan gadis kecil. Membuatku memutarkan mata sebelum mengatakan sebuah protes. "Aku bukan gadis kecil! Aku harus mengatakannya berapa kali supaya kamu paham? Tapi, ya, aku Kalina."
Tidak ada