Dia menerima telepon dari wanita lain di luar mobil. Rasanya hati ini seperti di cabik cabik. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak tumpah. Aku hanya bisa menghibur diriku sendiri dengan mengalihkan pandangan ke foto eyang Mas Banyu yang selalu tergantung begitu cantik.
Mereka adalah kedua orang tua Papa. Aku tahu kalau mobil ini adalah hadiah dari eyang putri Mas Banyu. Kata Mama mobil ini diberikan pas ulang tahun Mas Banyu yang ke dua puluh lima. Hampir satu tahun sebelum eyang putri menyusul eyang kakung berpulang. Setiap hari pasti mobil ini yang selalu menemani hari harinya. Mobil kesayangan yang pasti akan dia jaga.
Entah berapa lama dia berbincang sampai. Aku putuskan untuk mengambil ponselku mencari kontak sahabatku yang bernama Nana.
Ingin rasanya aku menceritakan semua hal yang aku alami. Hal pahit dalam batinku ini. Aku sangat merindukannya. Merindukan suara celotehan renyah dari bibir tipisnya. Sayangnya dia tinggal jauh dariku sekarang. Rasanya tidak enak jika mengganggunya lewat telepon. Sepertinya aku harus urungkan niatku kali ini.
Aku kembali memperhatikannya. Dia bisa tersenyum dan tertawa begitu hangat saat menerima telepon dari perempuan itu. Sesekali kita saling bertemu pandang tanpa sengaja. Ingin sekali rasanya aku mengambil ponsel itu dan memaki mereka berdua. Tapi jika aku melakukannya maka Mas Banyu akan semakin membenciku.
Tak berselang lama, dia sudah kembali duduk dibelakang kemudi mobil ini. Tanpa bertanya apa pun, dia segera memacu kendaraan ini begitu cepat.
"Kamu bisa pilih buah yang segar?" Tanyanya saat dia mendadak menghentikan mobilnya di toko buah.
"Bisa."
"Ya sudah, ayo turun. Kamu beli buah buahan lokal yang sekiranya manis dan enak." Perintahnya dengan nada yang begitu dingin.
"Iya Mas."
Kami segera mencari buah buahan lokal yang segar. Aku pilih buah manggis dan kelengkeng yang rasanya tidak perlu di ragukan lagi. Banyak juga khasiat yang ada di dalamnya.
Begitu selesai dengan acara buah buahan, Mas Banyu segera memacu mobilnya lagi menuju kediaman temannya.
Suasana rumahnya enak. Memang tidak terlalu besar. Tapi begitu enak untuk ditinggali. Rumah ini bergaya Eropa sepertinya. Tempatnya sangat bersih. Hanya ada dua mobil yang terparkir rapi.
Mas Banyu segera memencet tombol yang ada di depan pintu. Saat kita masuk ke pekarangan rumah tadi pintu gerbang memang sudah terbuka. Aku begitu penasaran dengan interior yang ada di dalamnya.
"Banyu, akhirnya datang juga. Ayo masuk." Aku masih tidak percaya kalau teman atau yang bisa disebut sahabat oleh Mas Banyu adalah seorang pengusaha muda.
Mas Banyu segera menggandengku untuk masuk ke dalam rumah ini. Ini adalah saatnya untuk kita memulai akting ala suami istri yang baik dan romantis.
Aku melihat pemandangan foto pernikahan yang sederhana ketika pertama kali memasuki rumah ini. Ada juga beberapa foto mereka yang sedang berlibur. Sangat menggambarkan pasangan yang bahagia dan sempurna. Berbeda sekali dengan kami.
"Kalian tunggu di ruang TV saja. Aku panggil Heswa dulu." Dia pergi meninggalkan kami berdua.
"Sayang, ini ada istrinya Banyu." Teriaknya yang dapat aku dengar.
Mereka kembali menemui kami. Terlihat begitu mesra apa adanya. Tidak seperti aku yang ingin sekali tampil mesra apa adanya tapi harus terhalang oleh pembatas.
Aku melihat begitu cantiknya perempuan di depanku ini. Suaminya setengah bule sedangkan dia memiliki wajah cantik khas orang Indonesia. Orangnya manis dan sopan. Pertama ketemu dia langsung melempar senyum kearah kami.
"Heswa" Dia mengulurkan tangannya ke arahku.
"Garin." Aku juga tak kalah antusias saat berkenalan dengannya.
"Mas Jati, aku boleh ajak kak Garin ke dapur kan, kasihan kalau dia dengar perbincangan kalian yang membosankan." Pintanya pada suami yang masih di sebelahnya.
"Tanya sama yang punya dong sayang." Mereka begitu mesra walau hanya saling menimpal candaan yang mungkin biasa saja.
"Mas Banyu, boleh kan kalau kak Garin nemenin aku di dapur."
"Boleh." Mas Banyu langsung tersenyum hangat memenuhi permintaan istri temannya.
"Ya udah, ayuk kak. Kita di dapur aja. Jangan dengerin pembicaraan membosankan mereka."
"Pembicaraan membosankan ini juga buat kasih kamu nafkah sayang." Ucap Jati yang sedikit keras karena Heswa sudah menarikku ke dapur yang tidak jauh dari tempat aku duduk tadi.
"Heswa ini, tadi aku dan Mas Banyu bawa buah buat teman makan."
"Oh sebentar, aku siapkan tempatnya. Makasih ya kak Garin udah repot bawa buah."
"Bukan apa apa kok."
"Kak Garin duduk aja di situ." Dia memintaku duduk di kursi makan.
Mataku di manjakan dengan berbagai hidangan yang sudah tertata rapi. Begitu banyak makanan yang mereka siapkan. Mulai dari rendang, ayam goreng, cumi saus hitam, udang asam manis, udang goreng, sampai tahu dan tempe goreng juga sudah siap.
"Heswa, apa kamu masak sendiri?" Tanyaku sedikit heran.
"Iya, tapi di bantuin Mbak yang biasa bantu bantu. Kak Garin kesibukannya apa?"
"Aku kerja sama Mamanya Mas Banyu. Urusin catering. Kalau kamu?" Jawabku antusias.
"Wah pasti pintar masak. Aku dulu sempat magang di kantor Mas Jati. Sekarang lagi konsentrasi buat design rumah baru kami." Aku menangkap betapa bahagianya dia bisa membuat design untuk rumahnya sendiri.
"Kalau masak sih bisa, tapi ga jago juga. Aku ini orangnya suka makan. Suka wisata kuliner gitu. Kalau kamu kerjanya di rumah atau ikut di kantor sekarang?"
"Wah seru tuh. Aku juga pengen bisa wisata kuliner. Kalau sekarang di rumah, tapi pas baru pulang bulan madu pertama kita, aku diajakin terus ke kantor. Kadang dia sering kerja dari rumah." Anak ini masih begitu muda, tapi suaminya juga bisa bergantung padanya.
"Kapan kapan kita harus sering ketemu berdua. Siapa tahu bisa jadi teman akrab. Nanti aku kenalin ke teman temanku juga."
"Hehe.. Iya kak. Tapi satu hal yang kak Garin perlu tahu tentang aku. Aku paling susah berteman dengan laki laki. Walaupun Mas Jati sudah membantuku tapi tetap saja tidak semudah itu. Aku punya trauma dengan laki laki. Dan hanya Mas Jati yang berhasil memecahkan tembok traumaku. Tapi sekarang aku jadi bersyukur dengan begitu aku tidak akan mudah berkhianat dari Mas Jati."
Deg
Rasanya aku tidak percaya. Gadis yang seceria ini memiliki masa lalu yang berat. Mungkin perjuangannya dengan Jati juga tidak mudah. Gambaran kebahagiaan yang terpancar sekarang pasti ada pengorbanan yang besar dan tidak mudah.
Aku mulai mengerti di setiap kebahagiaan pasti ada pengorbanan yang luar biasa. Seperti ibu yang menanti kelahiran anaknya. Ada pengorbanan besar saat akan bertemu dengan orang orang yang tepat.
Prang
Suara gelas pecah berhasil membuat semua orang kaget termasuk aku.
Aku melihat suami Heswa ini begitu buru buru mendekati istrinya. Seperti benar benar khawatir jika terjadi sesuatu pada istrinya.
"Are you ok?" Pertanyaan pertama yang pasti keluar dari seorang suami.
"Ga apa Mas. Sorry jadi bikin kalian kaget. Aku beresin dulu."
"Jangan."
"Mas, cuma gelas yang pecah. Aku bis.."
"Mbak Lastri! Mbak Lastri!" Dia langsung memanggil asisten rumah tangga tapi malah seorang bapak bapak yang datang.
"Maaf Pak, Mbak Lastri masih ke warung sebentar. Biar saya yang bersihkan Pak. Mbak Heswa permisi saya bersihkan dulu." Ucap pria itu sopan.
"Iya Pak."
"Pak Lukman, jangan sampai ada pecahan yang tertinggal." Laki laki itu begitu tegas dan khawatir pada istrinya yang sekarang sudah berpindah di depanku.
Begitu bahagianya pasangan ini. Mereka saling menjaga satu sama lain. Saling memahami satu sama lain. Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku bisa bahagia seperti mereka nantinya?
"Ada yang luka?" Tanyaku ikut khawatir.
"Ga kok kak. Mas Jati emang gitu. Gampang panik." Heswa melongokkan kepalanya melihat ada dua orang laki laki lagi yang datang.
"Sepertinya semua sudah datang." Aku menebak.
"Mas Langsung makan aja ya." Pinta Heswa saat sudah lengkap.
"Ini istrinya Banyu?" Tanya salah seorang dari dua orang tadi.
"Aku Garin" Aku berusaha memperkenalkan diriku sendiri.
"Aku Rendra." Pria manis itu memperkenalkan diri dengan sopan tapi malah mendapat pukulan ringan dari suami Heswa.
"Jangan diembat. Cari sendiri. Dan jangan coba coba liatin istri orang. Apa lagi kalau mau liat istriku." Ucap Jati yang entah aku juga tidak mengerti.
"Ya udah ayo makan dulu. Ngobrolnya nanti lagi." Heswa segera meminta kami untuk duduk.
Semua makanan rasanya enak. Bahkan Mas Banyu juga lahap saat makan masakan rumahan ini. Dia juga memuji rasa dari masakan ini. Sedangkan masakanku tidak pernah mendapat pujian.
Kini semua sudah selesai. Para pria sedang membicarakan yang entah aku sendiri tidak tahu.
"Kak Garin, mau duduk di teras?"
"Boleh."
"Kak Garin, udah berapa lama nikah sama Mas Banyu?" Entah mengapa sepertinya dia ingin curhat .
"Lima bulan lebih. Kamu kenapa murung?"
"Apa mertua atau orang tua kak Garin ga pernah nanya soal anak?" Sepertinya dia ada rasa tertekan jika membahas soal anak.
"Emmh gimana ya, aku kan baru nikah, jadi belum sampe segitunya. Kamu belum hamil?" Tanyaku menyelidik.