Seperti biasanya aku bangun sebelum matahari terbit dari tempatnya. Aku lihat suamiku masih terbaring lelap di atas sofanya. Ingin sekali aku membangunkannya agar berpindah ke kasur ini. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi.
Aku berenjak dari tempatku, membetulkan posisi selimutnya. Aku hanya takut kalau dia merasa kedinginan. Aku lihat wajahnya yang rupawan yang selalu berhasil membuatku rasanya tidak karuan. Entah kapan aku bisa menyentuhnya. Mengusap wajahnya, mengelus rambut hitamnya. Aku juga kadang ingin sekali mencubit mesra pipi dan hidungnya.
Saat sedang asik memandangnya tiba tiba saja tubuhnya menggeliat. Aku panik tidak karuan. Dengan kecepatan tinggi segera aku beranjak dari tempatku. Aku segera bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ku lihat kembali ke arahnya sebelum aku memutuskan untuk benar benar masuk ke kamar mandi. Untung saja dia tidak bangun.
Selesai dengan kegiatanku aku seperti biasanya aku selalu menyiapkan pakain untuknya hari ini. Kali ini aku siapkan Kemeja biru dan celana panjang warna cream. Tak lupa aku juga siapkan kaus polos warna putih. Mas Banyu memang hampir tidak pernah berpakaian formal saat bekerja. Mungkin itu juga yang membuatnya enggan untuk menggantikan Papa.
Aku harus segera menyiapkan sarapan untuk semua. Mereka memang tidak pernah menyuruhku. Tapi ini semua murni keinginanku sendiri. Aku senang saat Mama bilang suka dengan sambal buatanku. Aku juga senang saat Papa menyukai Sayur asam buatanku. Tapi ada hal yang membuatku paling bahagia. Itu saat Mas Banyu begitu lahap makan nasi gorengku.
Dia tidak memuji atau mengatakan apa pun. Tapi dengan melihat piringnya yang selalu bersih saat selesai menyantapnya adalah hal yang harus aku syukuri. Sering sekali aku ingin menanyakan ingin makan apa? Atau mungkin aku juga ingin membawakan bekal untuknya.
Oh Tuhan, sampai kapan cintaku harus diuji. Aku sangat mencintainya. Mungkin sudah terlalu dalam aku jatuh hati padanya. 'Garin konsentrasi ke masakan dulu. Jangan kecewakan mereka yang mau makan' Ucapku dalam hati.
"Maaf Mbak Garin, ikannya ini sudah saya bersihkan. Bapak kemarin katanya minta di buatkan ikan goreng." Ucap salah satu mbak di dapur.
"Iya Mbak. Tolong siapkan bumbu ikannya seperi biasa ya mbak. Aku mau cuci sayur dulu."
"Baik mbak. Mbak Garin mau masak nasi goreng lagi untuk Mas Banyu?"
"Iya mbak. Jangan lupa siapkan nasinya ya." Pintaku begitu dia sudah selesai mengambil ikan yang sudah bersih.
Hanya dengan masakan ini aku bisa menunjukkan rasa cintaku pada keluarga ini. Terutama untuk suamiku. Aku selalu menyajikan masakan terbaikku. Inilah aku Garin Lituhayu yang masih saja menunggu ice yang mencair dari hati suamiku.
Aku lihat jam dinding besar yang tergantung cantik di tembok atas TV. Aku lihat sudah hampir satu jam aku memasak. Biasanya jam segini Mama juga sudah bangun. Tapi sampai sekarang masih belum muncul juga.
"Mbak, tolong lanjutkan ya. Ini tinggal tunggu matangnya saja." Aku meminta mbak yang berdiri di sebelahku untuk melanjutkan memasak.
"Baik mbak." Aku segera beranjak untuk mengecek Mama. Entah mengapa rasanya takut jika terjadi apa apa pada Mama.
Aku sudah berdiri di depan pintunya. Ingin sekali aku menngetuk langusng. Tapi aku takut kalau malah mengganggu mereka. Mungkin Mama lelah dengan aktivitas kemarin jadi bangunnya agak telat.
"Garin, Kaget Mama." Ucap Mama saat membuka pintu dan mendapatiku ada di depan pintu kamarnya.
"Maaf Ma, tadi aku mau bangunin Mama. Tapi takut kalau ganggu Mama sama Papa." Ucapku ragu.
"Mama udah bangun dari tadi sayang. Tadi Mama masih siapin baju buat Papa." Lega rasanya saat mengetahui mereka baik baik saja.
"Kamu udah masak? Padahal Mama pengen bantu loh."
"Mama istirahat aja ya. Jangan cape cape." Rayuku sambil mengusap punggungnya.
"Garin, kamu yakin udah bisa kelola catering sendiri?" Tanyanya yang sepertinya tidak tega.
"Iya Ma, udah Mama istirahat aja. Lagian ada Nadia yang bantuin aku. Kalau ada yang aku ga mampu pasti aku hubungi Mama. Semua bisa di atur kok Ma." Ucapku berusaha menenangkannya.
"Mama percaya kamu bisa. Yang penting semua aman dan terkendali. Mama udah tua, memang butuh penerus seperti kamu." Sepertinya beliau bangga padaku.
Tak terasa semua sudah berkumpul untuk sarapan. Papa yang lahap dengan ikan goreng. Mama juga sama. Aku paling suka saat Mas Banyu makan nasi goreng buatanku.
"Banyu. Kamu ke cafe bisa agak siang dikit?" Tanya Mama tiba tiba.
"Mama mau aku anterin ke mana?" Tantangnya.
"Bukan Mama yang diantar tapi Garin. Kamu bisakan antar Garin belanja bulanan?"
"Diantar Kang Badrun ga papa kan Rin?" Tanyanya sambil mengeluarkan senyum palsu seperti biasa.
"Iya Mas." Jawabku pasrah.
"Jangan. Kamu kalau jadi suami yang siaga dong. Istri mau belanja buat kebutuhan rumah masak ga mau nganterin. Itu juga bisa buat kalian latihan kalau kita pergi."
"Iya iya." Walaupun terpaksa tapi aku sangat menyukainya.
Kita mulai bersiap siap untuk pergi. Aku tahu mungkin ini hal adalah hal buruk untuknya tapi sebaliknya denganku. Apa boleh aku berharap kalau misalkan pusat perbelanjaan pindah lebih jauh.
"Udah makin siang, kamu belanjanya jangan lama lama." Ucapnya jengkel.
"Iya Mas." Ingin sekali aku menggodanya. Aku lihat wajahnya masih seperti menahan kejengkelannya.
"Besok, kamu temani aku ke acara nikahan teman sekolahku." Dia masih saja dingin.
"Baik Mas." Ini adalah perintahnya yang wajib aku menurutinya.
Tak terasa kita sudah dekat dengan pusat perbelanjaan.Aku segera turun dan diikutinya dari belakang.
"Biar aku aja yang dorong trolinya." Dia segera mengambil troli belanjaan dari tanganku.
Hal romantis yang selalu dilakukan oleh pasangan muda baru menikah adalah belanja bersama seperti ini. Aku tersenyum senang. Bahkan mungkin di dalam hatiku sudah ada kebun bunga yang bermekaran dengan indahnya. Dentuman jantungku tak kalah hebat dengan senyumku.
"Cepat ambil apa saja yang di perlukan. Aku ikuti kamu dari belakang." Senangnya hatiku.
"Ok" Jawabku singkat.
Ingin rasanya aku menghentikan waktu sejenak. Menikmati waktu berdua saja dengan dirinya. Mas Banyu, rasanya semua penyiksaan batin yang kau berikan selama ini bisa sembuh saat ini.
Aku begitu menikmati belanja bulanan hari ini. Bisakah kita makan siang bersama jika aku ulur waktunya? Tapi dia juga pasti punya pekerjaan yang sudah menunggunya.
Aku melihat dia sedang asik dengan ponselnya. Rasa kesal yang sudah hilang, kini mulai muncul lagi. Haduh bisa atau tidak sih kalau aku bahagia sehari saja. Ini rasanya baru hitungan menit tapi dia sudah berada di dunianya lagi.
Entah mengapa terbesit aku ingin menghilang dari hadapanya. Aku ingin tahu reaksinya sepertia apa.
"Garin, kamu mikirin apa? Cepet belanjanya!" Ternyata dia sudah di belakangku .
"Iya mas. Aku masih nyari lada hitam sama lada putih." Ucapku menahan emosi dan senang secara bersamaan.
Tiba tiba saja tubuhnya malah dekat sekali dengan tubuhku. Dia berdiri dan sangat menempel dengan badanku. Hatiku semakin tidak karuan rasanya. Haruskah aku bahagia? Oh tidak, bolehkah aku bahagia sekarang. Itu yang ada dalam benakku saat ini.
"Sorry." Ucapnya begitu badannya sudah mundur karena tumpukan kardus kardus yang memenuhu jalan sudah melewati kami.
"..." Entah mengapa aku malah membisu.
Aku tidak marah sama sekali. Aku senang dan merasa gugup saja. Kenapa rasanya mulutku malah terkunci.
"Ini lada hitam sama putihnya." Dia berhasil menyadarkan aku.
"Oh, iya Mas."
"Kalau memang ga bisa ambil atau ga samapai bilang aja. Apa kamu pikir aku ini tidak mau membantu."
"Nak Banyu!" Ada seorang ibu ibu paruh baya yang menyapanya. Entah siapa dia.