Menikmati es krim sambil mendengar nyanyian orkestra jalanan itu lebih menyenangkan dari pada mendengar kuliah dosen sambil terkantuk-kantuk.
Kepalaku mengangguk mengikuti irama musik. Rombongan pemusik jalanan ini kerap kali aku temui di kota Jogja. Kadang tak segan aku ikut menyumbangkan lagu. Sedikit banyak aku bisa lah menyanyikan lagu jawa, campur sari. Bukannya sombong, sebagai anggota tim paduan suara kampus, suara merduku sudah tidak diragukan lagi. Biasanya mereka akan dapat penghasilan lebih kalau aku ikut bernyanyi. Tapi kali ini aku sedang menunggu temanku Nana yang sedang bertemu pacarnya di restoran sebrang itu. Jadi, aku absen gabung dengan mereka.
"Re, kita pulang yuk."
Aku yang sedang menjilat es krim membalikkan badan. Nana dengan tampang kuyu sudah berdiri di hadapanku.
"Loh, Na? Lo udah ketemu cowok lo?"
Nana mengangguk. Tapi kenapa mukanya sembab begitu? Dia sepertinya habis menangis.
"Terus kenapa lo nangis?" tanyaku bingung. Sebelum bertemu pacarnya tadi dia terlihat baik-baik saja. Harusnya aku bisa lihat senyumnya yang merekah dong setelah dia bertemu pacar yang sudah beberapa bulan nggak ditemuinya.
"Aku, aku diputusin sama dia."
"Apa? Kok bisa?"
"Katanya aku cewek nggak asik. Dia bilang bosen sama aku, Re! Jahat banget sih!" Nana menangis lagi.
"Berengsek banget sih tuh cowok." Aku ikut geram. "Terus dia mana?"
"Tadi aku tinggalin dia di restoran."
"Dia pake baju apa?"
"Kemeja biru."
"Oke, lo tunggu di sini. Berani-beraninya dia mutusin cewek dengan alasan nyebelin kayak gitu?"
Aku langung beranjak.
"Loh, Re! Kamu mau kemana? Tunggu dulu, Re!"
Sumpah deh, aku emosi sama laki-laki yang model begitu. Meninggalkan pacar karena sudah bosan. Alasan macam apa itu? Seenaknya saja memainkan perasaan orang.
"Re! Rea!"
Aku nggak peduli lagi teriakkan Nana. Aku berjalan cepat menyebrangi jalan dan langsung menuju restoran tempat Nana bertemu dengan pacarnya tadi. Nana bilang laki-laki itu memakai kemeja biru.
Aku memindai isi restoran, mencari sosok laki-laki yang tidak berguna itu. Yah apa coba sebutan laki-laki yang dengan seenaknya mencampakan kekasihnya karena bosan? Tidak berguna, itu julukan yang pas.
Mataku menangkap sosok yang diduga tersangka pematah hati sahabatku Nana. Aku langsung saja menghampiri orang yang duduk dengan seorang wanita cantik itu. Oh, pantas, ternyata ada wanita lain. Jadi, dia bisa seenaknya membuang Nana. Dasar kurang ajar!
Setelah sampai ke meja mereka, aku menjilat sekali lagi es krim yang masih penuh di tanganku. Lalu tanpa permisi lagi, aku tumpahkan es krim itu ke atas kepala laki-laki itu.
Wanita yang ada bersamanya langsung terkejut. Terlebih lelaki itu, tidak kalah terkejutnya. Kini tetesan es krim bukan hanya mengotori rambutnya, tapi juga meleleh ke kemejanya.
Aku dengan santai menyilangkan kedua tanganku di depan dada, menyaksikan kejadian itu.
"Ka-kamu siapa? Berani-beraninya kamu melakukan ini?" Lelaki itu menggeram. Wajahnya nampak merah padam. Wanita di hadapannya langsung menyodorkan sekotak tisu padanya dan ikut membesihkan es krim yang mengotori rambut, wajah serta kemeja lelaki itu.
"Itulah akibatnya buat cowok nggak guna kayak lu, yang seenaknya saja ninggalin pacar lu dengan alasan konyol dan nggak masuk akal!" kataku jengkel memuntahkan kekesalanku.
"Apa maksud kamu?"
"Jangan pura-pura bego!"
Laki-laki itu meraih cup es krim yang ada di atas kepalanya, lalu membersihkan lelehan es yang mengotori wajahnya. Gila, tampan oy! Tapi apa gunanya kalau tampangnya itu digunain buat mainin hati perempuan.
"Hey, Nona!" Dia berdiri dari duduk. "Saya sama sekali tidak kenal sama kamu ya! Dan saya juga tidak pernah merasa bermasalah sama kamu. Tapi kenapa tiba-tiba saya diperlakukan seperti ini?!" Wah playing victim. Sudah biasa ini. Sering sekali aku menemukan orang-orang seperti ini.
"Lu udah mutusin Nana, hanya karena lu udah bosen sama dia! Itu sama artinya lu cari masalah sama gue!"
"Nana? Nana siapa?"
Astaga! Dan sekarang dia pura-pura bego. Mendadak amnesia. Hebat benar aktingnya.
"Nana pacar lu lah! Siapa lagi?"
"Rea!"
Aku menoleh. Dari arah pintu restoran, Nana berlari menghampiriku. Dia meraih lenganku dan berbisik di telingaku.
"Re, bukan dia orangnya. Kamu salah orang."
Apa??!
Seketika itu mataku membulat mendengar bisikkan Nana. Mampus gue! Bola mataku bergerak melihat takut-takut ke arah laki-laki yang kini nampak mengobarkan api amarah.
"Kenapa lu nggak bilang dari tadi?" bisikku gemas membalas perkataan Nana.
"Kamu sih buru-buru emosi duluan. Sekarang kita jadi tontonan gini kan."
Astaga! Benar! Kejadian ini menyita perhatian pengunjung restoran ini.
"Saya tidak terima kalian perlakuan seperti ini ya!" Suara bariton laki-laki itu menggema. Kali ini aku tidak punya nyali sama sekali untuk menantangnya.
"Eee... Mas, Om, Pak eh Bang, duh enaknya panggil apa yah?" Baru kali ini aku mati kutu seperti ini. Haduuuh, Mama, tolong aku....
"Kamu! Akan saya laporkan ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan."
Ya Tuhan! Dia bawa-bawa polisi. Mataku melotot lagi.
"Aduh, Bang, Mas, Om, Pak. Saya minta maaf, saya beneran khilaf. Nggak sengaja. Sumpah deh. Maafin saya ya!"
Amblas mulut tidak sopanku yang ber lo-gue di depannya tadi.
"Kalian sebenarnya siapa?" Wanita yang bersama laki-laki itu akhirnya bersuara.
"Mbak, duh maafkan saya. Saya beneran nggak tahu. Saya, salah orang. Saya pikir Mas ini pacar teman saya. Mbak, tolong maafkan saya."
Wanita itu menggeleng.
"Enak saja minta maaf! Kamu sudah bikin saya malu tahu tidak?!" Laki-laki itu kembali menyemburkan emosinya.
"Iya, tapi saya beneran nggak tahu."
"Kamu akan saya laporkan ke polisi!"
"Jangan dong, Mas. Saya beneran minta maaf. Saya cuma mahasiswi kere, kalau dilaporin ke polisi kasian emak bapak saya yang pengin lihat anaknya lulus pake toga."
Drama sedikit. Aku nggak salah, pernah ikut kegiatan teater. Di situasi seperti ini sangat berguna.
"Pak, maafkan teman saya. Dia memang agak sedikit ceroboh." Nana ikut membantuku meminta maaf.
"Sudahlah, Sat. Maafkan mereka." wanita cantik itu menengahi.
"Tapi dia membuat saya malu, Mbak."
"Dia kan nggak sengaja. Dan sudah meminta maaf juga."
Aku mengangguk-ngangguk, memasang tampang sememelas mungkin.
Sepertinya dia agak jinak pada wanita itu. Tampang seramnya perlahan menurun. Mukanya tidak setegang dan semerah tadi.
"Kalian cepat pergi dari sini, sebelum saya berubah pikiran!"
Aku senang bukan kepalang.
"Tapi bukan berarti saya memaafkan perbuatan kamu ya!" Dia menudingku penuh kebencian.
Bodo amat! Aku nggak peduli. Toh dia hanya orang asing yang nggak bakalan aku temui lagi. Yang penting sekarang adalah aku bebas dari ancamannya yang ingin melaporkan perbuatanku pada polisi.
"Cepat kalian pergi!"
Tanpa pikir panjang lagi, aku dan Nana ambil langkah seribu. Kami lari terbirit-birit dari restoran.
Setelah agak jauh berlari, aku berhenti. Aku membungkuk seraya memegang kedua lutut. Napasku masih tersengal. Gila! Kenapa aku bisa sebodoh ini?