"Emmh gimana ya, aku kan baru nikah, jadi belum sampe segitunya. Kamu belum hamil?" Tanyaku menyelidik.
"Kak Garin, aku boleh minta nomornya ya? Aku butuh teman buat curhat, mau curhat ke dua sahabatku, tapi mereka belum nikah. Mau cerita ke ibu, malah tambah ga enak kak." Dia malah mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Sini aku tulis nomorku." Aku segera mengambil ponsel yang dia sodorkan.
"Thanks kak." Ucapnya sambil mengirim WA kenomorku.
"Udah aku simpen. Jadi gimana jawabannya?" Tanyaku masih penasaran.
"Aku keguguran kak. Mas Jati sempet negative thingking juga ke aku. Baru beberapa hari ini baru mulai cair suasana kita."
Deg.
Rasanya ga percaya aja Pasangan yang kelihatan super romantis ini juga pernah bermasalah dan saling salah paham. Memang sepertinya aku harus banyak belajar juga dari mereka.
"Negative thingking gimana maksudnya?" Entan kenapa kekepoanku jadi tingkat dewa.
"Jadi dulu aku emang belum siap buat hamil. Pokoknya ada aja kak alasanku. Aku mikirnya kalau ibu hamil itu ga boleh ngapa ngapain. Sedangkan design rumah kami belum selesai. Aku pengennya begitu ada anak, ya paling gak pengerjaan rumah udah sekitar lima puluh persen lebih. Tapi ternyata malah begini. Aku udah mau program lagi. Dokter bilang harus ada jeda waktu dulu. Sekarang Mas Jati malah jadi ekstra ketat. Kadang aku jadi tambah bingung harus gimana."
"Ya, mungkin Jati udah jadi bucin (budak cinta) kalau sama kamu. Kamu hati hati aja. Jaga kesehatan dan makan. Aku pernah dengar kalau orang hamil itu ga boleh stress juga." Ucapku berusaha menghiburnya.
"Emang Mas Jati udah bucin dari dulu. Hehe" Dia malah tertawa lebar. Seakan ada rasa bahagia saat menceritakan suaminya.
"Kak, aku biasanya ga nyaman cerita ke orang yang baru kenal. Tapi entah lah kenapa aku mau aja cerita ke kak Garin."
"Ya udah, kamu kalau butuh cerita hubungi aku aja. Kalau aku bisa bantu pasti aku bantu."
"Ok. Oh ya. Tapi kak Garin jangan kasih tahu Mas Banyu. Nanti dia cerita ke Mas Jati lagi." Oh Tuhan. Andai kamu tahu Heswa aku ini seperti apa.
"Tenang. Rahasia aman." Gimana ga aman, bertukar cerita sama suami aja ga pernah. Iri rasanya jika mendengar cerita Heswa. Haruskah aku bertanya kepada Jati, bagaimana cara dia untuk bisa memperjuangkan cintanya selama ini.
Topik pembicaraan kami mulai berganti. Kami kembali berbincang mengenai kesibukan kami. Tidak ada lagi membahas rumah tangga. Mungkin hanya sekedar bertanya basa basi soal liburan atau tempat yang sedang ingin di kunjungi.
Begitu hari sudah mulai sore, kami semua berpamitan untuk pulang. Karena sepertinya pembahasan mereka juga sudah selesai. Sebenarnya aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya mereka bahas.
***
"Kamu naik taxi online aja ya!" Ya Tuhan, kenapa dia memintaku untuk turun di sini. Memang kita sudah jauh dari kediaman Jati.
Apa dia sibuk di cafe, atau tidak mau melihatku, atau malah takut ketahuan cewe itu kalau udah punya istri? Ya Tuhan kenapa aku terus berprasangka buruk. Apa aku tidak layak untuk dicintai?
"Iya." Jawabku tanpa membantah. Aku tidak mau merepotkannya, aku harus bisa mandiri.
Tiba tiba saja ponselku berbunyi nyaring sekali. Begitu mengetahui kalau Mama yang menelepon segera saja ponsel itu ku tempel di telingaku dengan cepat.
"Halo Ma!" Ucapku sedikit khawatir.
"Garin, kamu kenapa panik?"
"Ga kok Ma, cuma kaget aja Mama telepon pas lagi keluar sama Papa. Kenapa Ma?"
"Kamu udah pernah ke resto F belum?"
"Belum Ma, kenapa?"
"Makanannya enak enak. Biasanya kamu paling peka soal bumbu bumbunya. Padahal tadi Mama mau tanya kamu."
"Hehehe. Belum pernah coba."
"Sayang banget tadi ga Mama beliin buat kamu. Malu sama kolega Papa kamu. Kita udah di jalan. Ya udah nanti Mama ceritain lagi ya pas di rumah."
"Iya Ma." Aku menghempaskan napas kasarku. Mama baik banget, tapi anaknya dingin banget.
"Mama?" Tanya Mas Banyu yang ternyata ikut mendengarkan.
"Iya Mas." Sepertinya ada sedikit rasa khawatir dalam benaknya.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya bingung karena aku melepaskan sabuk pengamanku.
"Kan mau naik Taxi Mas. Bukannya di depan itu yang boleh berhenti?" Tanyaku ikut bingung.
"Ga jadi, aku anterin aja. Aku mau ketemu Mama dulu baru ke cafe."
"Owh. Ya udah." Ingin sekali aku membalas perlakuan dinginnya.
Entah mengapa aku tidak bisa membalasnya. Ingin rasanya aku katakan kalau aku juga manusia. Aku ingin dia tahu kalau aku ini istrinya yang terbakar api cemburu.
Tapi aku kembali mengurungkannya. Aku harus bisa berjuang. Aku pasti juga bisa seperti Mama maupun Heswa.
***
Kita sudah memasuki garasi rumah. Aku lihat mobil Papa sudah ada di rumah.
"Kalian dari mana?" Papa bertanya dengan senyum hangat.
"Tadi ada undangan makan siang Pa." Aku tahu pasti Mas Banyu ga mau jawab pertanyaan Papa.
Ya begitulah suamiku. Dia tidak pernah mau berurusan dengan Papanya sendiri. Tapi kalau di depan Mama, Mas Banyu selalu tersenyum dan perhatian.
Kadang aku juga berpikir. Apa Mas Banyu itu mau membalaskan dendamnya pada Papa ke aku. Padahal aku juga ga pernah tahu apa yang mereka alami sebelumnya.
Benar seperti prasangkaku. Mas Banyu langsung saja masuk ke rumah tanpa menyapa Papa. Wajah kesedihan Papa memang tidak bisa ditutupi. Papa memang sudah berusaha menjalin kedekatan dengan Mas Banyu. Namun manusia es satu ini sangat susah untuk mencair.
"Bagaimana meetingnya Pa? Lancar kan?" Tanyaku berusaha menghibur Papa. Mungkin ini pertanyaan sepele tapi kadang justru bisa melukiskan senyum bahagia di bibir Papa.
"Lancat Rin. Nanti kalau untungnya udah kelihatan Papa traktir kalian deh. Mau jalan jalan ke Eropa juga oke aja." Kata Papa senang.
"Wah Asik tuh Pa. Kalau aku sih, asal Mama sama Papa sehat aja udah seneng banget. Mending Mama sama Papa aja yang bulan madu. hehe" Ledekku.
"Kenapa ga kamu aja sama Banyu. Nanti Papa deh yang bayarin. Tapi bilang ke Banyu kalau itu dari Mama."
Andai saja kalau kita pasangan yang harmonis dan saling mencintai pasti langsung aku iyakan. Rasanya hatiku ini seperti teriris sembilu jika terus teringat bagaimana ucapanya saat malam pertama kami.
"Kalau itu aku ga berani Pa. Papa masuk dulu. Udah sore nih. Mending ngobrol di dalam. Aku buatin lemon tea hangat kesukaan Papa deh."
"Kamu itu memang anak Papa. Selalu tahu apa yang Papa mau."
Perhatian kecilku selalu berhasil membuat Papa merasa terobati saat hatinya sakit ketika anak semata wayangnya tidak menganggapnya.
Andai saja Mas Banyu tahu bagaimana rasanya jika tidak pernah dianggap. Andai dia berada di posisi kami yang selalu tidak terlihat di matanya.
"Ma!" Aku berusaha menyapa Mama yang sedang asik ngobrol dengan anak kesayangannya.
"Garin mau ke mana?" Tanya Mama bingung karena aku tidak langsung duduk di dekatnya.
"Mau buat lemon tea buat Papa. Aku ambilin air putih hangat sekalian buat Mama." Ucapku penuh perhatian.
Andai sikapku ini bisa meluluhkan hati suamiku. Sepertinya itu masih tidak mungkin. Apa aku harus mempelajari tentang kopi kopi favoritnya agar kita bisa memiliki obrolan yang sama dan seimbang.
Mas Banyu, kapan kamu mau menerimaku. Kapan kita bisa melakukan ibadah pernikahan yang sebenarnya. Bagaimana caranya agar kamu mau melihatku.