Seberapa suka kalian pada kopi?
Aku sangat menyukai kopi sejak Eyang kakung memperkenalkan kopi kepadaku. Aku ingat sekali ketika itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tepatnya kelas tiga SMP. Eyang memperkenalkan aku pada beberapa jenis kopi di Indonesia.
Kala itu Eyang membuatkan aku kopi arabika Java Ijen, arabika Toraja dan arabika kintamani Bali. Dimulai dari tiga cangkir kopi yang memiliki rasa berbeda beda, aroma yang berbeda dan kekentalan yang berbeda. Semua itu membuatku semakin ingin mengetahui banyak hal lagi tentang kopi.
Saat itu aku diajari mulai dari menghirup setiap aroma dari tiga cangkir yang berbeda itu. Lalu aku di minta untuk menyeruputnya. Eyang bilang cara menikmati kopi paling enak seperti itu. Hal hal itu berhasil membuatku jatuh cinta dengan kopi. Sampai aku berpikir bahwa kopi adalah duniaku.
Tahukah kalian, dari kopi ini lah aku bisa melawan depresiku karena tingkah pria tak tahu diri itu. Beberapa peneliti dari Harvard School of Public Health menyatakan seseorang yang mengonsumsi hingga tiga cangkir kopi dalam sehari, maka risiko depresi yang dialami lima belas persen lebih rendah. Secara tidak langsung Eyang menerapiku lewat kopi.
Berawal dari semua itu membuatku terjun ke dalam bisnis penjualan kopi. Aku adalah pemilik 'O' Cafe. Cafe yang tumbuh dan berkembang pesat ini aku dirikan bersama Eyang kakungku sejak usiaku sembilan belas tahun. Ya, saat itu aku memang terbilang sangat muda dan terlalu nekat untuk membuka bisnis pertamaku ini. Selain bisnis Cafe, sebenarnya aku juga memiliki bisnis yang lain bersama sahabatku.
Aku berani mendirikan bisnis ini karena arahan dari Eyang kakung. Eyang bilang bahwa kopi itu tidak ada matinya. Penikmatnya tidak memandang dari kalangan mana kalian.Tapi hampir semua kalangan menyukainya. Mulai dari yang muda sampai yang tua. Mulai dari pria sampai wanita. Kopi juga sangat di nikmati oleh orang orang di seluruh dunia.
Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia juga penghasil kopi yang besar di dunia. Apa lagi kita memiliki kopi luwak yang cukup bernilai. Kopi luwak juga di sebut sebut sebagai kopi termahal di dunia. Tak perlu di ragukan lagi rasa kopi luwak Indonesia ini. Aku semakin tergila gila dengan kopi. Membuka bisnis kopi semakin mantap aku geluti.
Aku pun mulai terjun di dunia kopi dengan modal dari Eyang kakung. Beliau membelikan aku semua peralatan untuk pembuatan kopi (coffee maker), menyewa tempat yang strategis, membeli biji kopi yang paling nikmat.
Dari hal kecil itu, aku mulai berjualan kopiku sendiri. Kali ini aku sudah sangat mengembangkan bisnis ini. Bahkan peralatan coffee maker yang paling bagus juga bisa kita beli dengan mudah.
Mengapa kita butuh coffee maker yang bagus, karena semakin canggih mesin kopi, semakin kuat pula penekanan pada biji biji kopi. Bila kopi dalam tekanan tinggi, maka akan menghasilkan crema dalam espresso yang lebih kuat lagi. Para penggila kopi sangat menyukai crema dalam espresso tiga puluh detik pertama. Crema itu begitu istimewa dan seru saat dinikmati. Karena setelah tiga puluh detik kemudian crema itu akan berubah, yang awalnya coklat akan menjadi menghitam atau pekat. Segila itulah aku dengan kopi. Segila itulah aku menekuni bisnis ini.
Dalam bisnis kopi ini aku memiliki banyak orang yang mendukung, aku sudah tidak membutuhkan lagi dukungan dari pria keparat itu. Tidak hanya Eyang dan Mama yang mendukungku, sahabat sahabatku juga sangat mendukung bisnis yang memang menjadi hobiku sebelumnya.
***
Selain terapi kopi dari Eyang kakung, Eyang putri juga sengaja mengirimku ke sekolah elit. Agar aku bisa disibukkan dengan kegiatan sekolah. Agar aku juga bisa jauh dari teman teman lamaku yang mempengaruhi aku untuk hal hal yang buruk. Di sekolah ini aku harus menguras tenaga serta pikiran untuk bersaing menjadi yang terbaik.
Sejak aku masuk sekolah tingkat menengah atas, aku mulai bertemu dengan kawan kawan baikku. Dari sini aku mulai berubah. Dulu yang aku suka memberontak dan kasar karena masalah keluarga, tapi sekarang bisa terbilang santai.
Pertama aku berteman dengan Jati, aku dulu penasaran saja karena dia memiliki wajah bule tapi namanya Indonesia sekali. Padahal dia sendiri juga tidak bisa berbahasa Indonesia.
Jati tipe orang yang dingin dan juga kutu buku. Tapi dia bukanlah orang yang terlihat cupu seperti sinetron sinetron di TV. Jati juga bukan orang yang bisa di bully. Dari situlah aku tertarik untuk berteman dengan dia.
Berawal dari Jati, lalu aku berteman dengan Rizal dan kemudian Rendra. Kami sering pergi berempat. Semua memiliki keunggulannya masing masing.
***
"Pagi Ma, kok kayanya bingung gitu?" Tanyaku pada Mama pagi itu.
"Banyu, apa Mama mimpi?" Mama malah balik tanya padaku.
"Memangnya ada apa Ma?"
"Beberapa hari ini Papa mulai perhatian ke Mama. Hari ini Papa tidur di kamar Mama. Tadi pagi juga Papa nyapa Mama hangat banget. Kaya kita baru nikah. Padahal kita udah lama nikah, umur kamu aja juga udah sembilan belas tahun."
"Udahlah Ma, mungkin dia ada maunya." Ucapku yang malas membahas hal itu.
"Banyu. Biar bagaimana pun dia adalah Papa kamu. Ayah kandung kamu. Dia memang tidak melahirkan kamu, tapi dari kamu lahir dia yang berjuang mencari nafkah. Saat kamu sakit saja Papa juga ikut panik dan segera mengantar kamu ke rumah sakit. Dia menyayangi kamu Banyu. Kamu jangan terlalu dendam dengannya. Masalah Papa dan tante Elina, nanti pasti akan ada jalannya." Nasehat Mama kali ini sama sekali tidak pernah aku lakukan sampai sekarang.
"Pagi sayang. Kamu masak apa pagi ini?" Sapanya tiba tiba hangat pada Mama. "Banyu, bagaimana cafe kamu, ramai?" Tanyanya padaku yang sama sekali tidak aku gubris.
"Ma, aku langsung ke cafe aja. Males makan di rumah." Aku segera pergi setelah mengambil sepotong roti tawar yang tergeletak di atas meja.
"Banyu... Banyu... tunggu!" Aku sudah tidak mau mendengar lagi pria tidak tahu diri itu.
Sejak aku masuk sekolah menengah atas, aku sudah tidak lagi menerima uang dari pria tidak tahu diri itu. Bukan karena aku tidak di beri uang jajan lagi, tapi aku sendiri yang menolaknya. Aku memilih untuk mencari uang dengan caraku sendiri. Aku sering membantu Eyang saat malam hari. Aku juga pernah jadi suoir untuk catering Mama. Jadi kurir makanan saat Mama tidak bisa ikut mengantar. Walau aku niat membantu tapi mereka tetap memberiku upah.
"Ma, aku kan cuma mau bantu Mama. Kenapa di kasih uang? Aku bisa cari uang sendiri Ma!" Ucapku kala Mama memberi amlop putih.
"Kamu memang anak Mama. Tapi bisnis tetap bisnis. Kamu sudah keluar tenaga dan waktu Banyu. Keringat dan tenaga harus tetap di bayar. Bayaran kamu dengan kurir juga sama. Tidak ada yang Mama bedakan. Mama mau kamu belajar berbisnis dari sekarang." Jelas Mama saat itu.
"Terimakasih Ma. Aku akan belajar berbisnis seperti yang Mama dan Eyang mau."
"Jadilah dirimu sendiri Banyu. Ikuti semua kata hati kamu. Jika menurut kamu itu baik maka jalankan. Mama tidak bisa terus terusan mengontrol kamu. Hanya kamu yang bisa mengontrol dirimu sendiri."
Aku mulai mencari uangku sendiri. Aku mulai tidak bergantung pada pria tidak tahu diri itu. Aku mulai mencetak Banyu Aron seperti yang aku mau. Jadi sejak saat itu aku sudah memilih untuk tidak berbicara lagi dengan dia. Toh anaknya bukan hanya aku. Evano pasti lebih bisa diandalkannya dari pada aku. Apa lagi Evano adalah anak kesayangan.