Lituhayu, Lituhayu, Lituhayu. Kenapa nama itu terus mengiang di telingaku. Amarah yang sudah menghilang, kenapa harus muncul lagi dengan nama itu.
Apa aku bisa hidup dengannya nanti? Apa aku bisa menjadi suami yang layak untuknya. Apa dia bisa mengerti aku yang samapai sekarang tidak mau menikah. Apa aku bisa menahan semua?
Keesokan harinya aku bergegas menuju bandara untuk terbang ke Bali. Melepas sejenak bebanku. Mungkin aku memang butuh santai. Mungkin waktu satu minggu akan cukup untuk menjernihkan pikiranku.
Tapi semua rencanaku tidak tepat waktu. Aku malah begitu menikmati kegiatan di Bali. Berkenjung ke kebun kopi. Kopi kintamani khas Bali. Menikamati kopi tubruk Kintamani yang di sediakan oleh temannku yang sedang membujukku untuk segera membuka cabang 'O' Cafe di Bali.
Tidak hanya itu, dia berusaha agar aku mau membantu temannya untuk membeli ruko yang lokasinya cukup strategis itu. Membuatku sedikit berpikir untuk mempertimbangkan cabang 'O' Cafe.
Aku hirup sejenak aroma kopi tubruk ini. Karakter rasa kopi bali kintamani yang unik adalah rasa asam segar seperti buah jeruk tanpa meninggalkan aftertaste di mulut. Body-nya medium dan aroma yang dihasilkan sangat kuat dan manis. Tidak ada rasa rempah (spice) seperti pada kebanyakan kopi di Indonesia. Kopi ini sangat cocok bagi orang orang yang tidak menyukai rasa yang pahit. Kopi yang cocok untuk para pemula yang ingin mencicip rasa kopi yang tidak pahit.
"Baikalah, aku akan membuka cabang di sini. Aku akan membeli ruko yang kau tawarkan." Ucapku pada Jo.
"Bagus. Besok aku akan menghubungi temanku." Ucapnya senang.
Temanku ini bernama Made. Aku sudah lama mengenalnya. Aku memang memiliki banyak teman, seperti yang Eyang minta. Aku berteman dengan siapa saja. Mulai dari anak jalanan samapai anak anak pejabat negara.
Setelah satu bulan di Bali, aku memutuskan kembali ke kota asalku. Baru juga seminggu di rumah sahabatku malah minta tolong soal mantan pacarnya yang berusaha meneror istrinya.
Hampir berbulan bulan lamanya aku harus menemaninya. Sampai sampai aku lupa jika aku juga harus mengahadapi perjodohanku.
Kalau diingat ingat lagi, saat Jati di rumah bersama istrinya dia begitu senang. Bahkan saat dia berusaha melindungi istrinya dari teror mantannya juha terlihat keren. Berbeda dengan Pria brengsek yang ada di rumah.
"Banyu, kamu besok ketemu sama Garin ya." Ucap Mama tiba tiba.
Sepertinya aku memang terlalu lama menghindar. Bahkan sudah berbulan bulan lamanya aku dan Mama tidak membicarakannya.
"Ma, kasih aku alasan kenapa harus dia? Bahkan namanya kenapa harus sama dengan ular betina itu?"
"Banyu. Mama tahu apa yang kamu butuhkan. Kamu satu satunya anak Mama. Mama dan Papa juga ga akan menemani kamu terus." Mulai ada buliran kristal bening di sudut matanya.
"Banyu. Lituhayu itu bukanlah sebuah marga. Jangan samakan orang hanya karena namanya. Dia anak yang baik. Dia sayang sama Mama. Mama juga sayang sama dia."
"Ma, apa Mama ga curiga kalau dia baik ada maunya?"
"Banyu, dia baik tidak hanya pada Mama. Dia baik ke semua orang. Dia itu anak yang ceria, mudah bergaul, santun. Cocok buat kamu yang punya teman banyak." Bela Mama kala itu.
"Ma, ini pernikahan lo, bukan main main. Aku ga mau kalau sampai ada yang tersakiti kaya Mama dulu." Ucapku berusaha menolak.
Mama malah bergeming. Dia hanya berbalik dan menuju pintu kamarnya. Dia masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku merasa bersalah pada Mama. Sepertinya aku mengorek lagi luka Mama.
'Maafin aku Ma. Aku hanya belum siap. Andai saja masih ada Eyang, pasti Eyang akan membantuku untuk berbicara pada Mama.' Ucapku dalam hati kala itu.
"Banyu. Jika kamu menikah dengan Garin, Mama akan bahagia. Mama sudah tua dan sakit sakitan. Mama hanya ingin punya menantu yang sayang dengan keluarga ini. Terutama kamu. Tapi kenapa belum menikah kamu sudah berencana menyakitinya?"
Aku hanya diam saat itu. Aku tidak berani berbicara. Mama sudah menangis saat mengatakannya. Aku tidak tega jika Mama harus menangis. Sakit rasanya saat melihat air mata itu terus berjatuhan.
Dari kecil aku memang selalu melihat Mama menangis walaupun itu terus Mama sembunyikan. Saat Mama tahu aku di hukum si pria brengsek, beliau juga menangis. Merasa bersalah karena tidak bisa melindungi anaknya. Banyak air matanya yang keluar karena aku. Banyak pengorbanan untukku.
"Ma..."
"Banyu. Kamu jangan menyakiti Garin. Tapi jika kalian menikah dan memang Garin yang akan memutuskan untuk pisah, maka akan Mama relakan." Ucap Mama yang memotong pembicaraanku.
"Baiklah, aku akan menikahi Garin. Tapi jika Garin tidak mau atau tidak setuju dengan pernikahan ini Mama jangan kecewa. Jika di rumah tangga kami ada masalah dan dia ingin berpisah, Mama jangan kecewa." Tantangku.
"Ok. Mama setuju. Kamu janji untuk tidak menceraikannya walaupun kamu Mama paksa untuk menikah."
"Iya Ma." Aku melihat ada senyum manis yang terbit dari bibir tuanya.
Hanya menikahinya kan. Aku tidak harus mencintainya. Bukankah itu yang Mama mau. Hanya menikah. Toh kalau Garin bosan kapan pun dia meminta perceraian aku akan siap. Lebih cepat lebih baik.
Setelah pembicaraan dengan Mama, aku bertemu Garin dan menanyakan soal perjodohan ini. Yang aku tidak habis pikir dia malah mengiyakan begitu saja.
Wajahnya memang cantik, sopan. Orangnya simpel sih kalau di lihat. Pantas saja Mama ingin segera aku menikah dengan dia.
Tapi, biar bagaimana pun aku juga harus tetap waspada sama dia. Jangan jangan dia baik cuma pas belum menikah doang. Gimana kalau pas nikah dia malah ga perhatiam sama Mama.
"Ya sudah, kalau kamu setuju sama perjodohan ini, kamu tinggal hubungi keluarga kamu untuk acara lamaran dan pernikahan. Pokoknya aku mau nikahnya di sini aja. Biar Mama yang tentukan." Ucapku dingin.
Aku tidak mencintinya. Bahakan aku berusaha tidak bersahabat atau akrab dengan dia agar dia membatalkannya. Aku ingin ini semua cepat berakhir saja.
"Iya Mas. Besok saya hubungi keluarga saya."
"Kita belum nikah. Jangan panggil saya Mas. Panggi Pak Banyu saja." Tolakku kala itu.
"Ba baik Pak." Ucapnya gugup.
Mungkin cara ini bisa berhasil. Mungkin ini cara yang tepat agar dia tidak mau berlama lama menjadi istriku.
Setelah pertemuan dua keluarga, sebulan kemudian aku menikahinya. Aku mengucapkan akad nikah dengan sedikit grogi.
Mungkin karena nama Lituhayu yang menjadi penghalangnya. Membuatku teringat pada si ular betiana penghancur.
Saat prosesi akad nikah aku berusaha menarik napasku dalam dalam agar tidak merasakan gugup dan cemas yang berkepanjangan. Dan ternyata itu berhasil. Aku bisa mengucapkan kalimat akad nikah dengan sempurna.