"Nyonya, Evano ma ma mau di bawa kemana?"
"Tes DNA." Ucapan Eyang tegas tanpa basa basi.
"Untuk apa nyonya?" Tanya Elina gugup.
"Kenapa kau takut? Aku hanya memerlukan data yang akurat. Evano di lahirkan di luar pernikahan jadi dia tidak mendapat hak waris. Namun, jika terbukti dia cucuku maka aku akan memberikan harta untuknya aku juga menyediakan modal."
"Tapi nyonya... Kenapa harus DNA test? Apakah anda tidak percaya? Evano sudah menjadi bagian dari kalian. Ini tidak adil nyonya. Tolong lihatlah Evano juga."
"Iya, aku memang tidak mudah percaya. Aku memang tua tapi aku tidak bodoh. Aku butuh semua data yang akurat. Ini juga bisa sebagai landasan hukum di keluarga kita. Jika dia terbukti anak Agung, aku pasti mengakuinya. Jika bukan, kalian harus meninggalkan kami dan jangan sampai ada berita buruk tentang hal ini." Tegas Eyang.
"Berbicara soal adil, memangnya apa kalian sudah adil dengan mengorbankan hati menantu dan cucuku? Apa kalian sudah adil dalam melakukan tugas kalian? Dia menantuku, bukan pembantu. Bahkan kalian sering memperlakukan seakan dia pembantu di rumah ini karena dia tidak bekerja di luar. Kalian sering meremehkannya hanya karena dia bisa memasak. Bahkan kau juga pernah berencana untuk melenyapkan nyawanya. Aku bukan orang tua yang bodoh. Pikiran busuk orang seperti kalian mudah untuk di tebak. Pikiran bodoh kalian sangat mudah aku koyak."
Baru kali ini aku melihat sifat tegas Eyang. Tidak seperti biasanya ketika dengan kami. kedua Eyangku memang terkenal disiplin. Hanya anak semata wayang mereka saja yang sedikit gesrek.
Jika di film film atau drama drama pemerannya akan mengganti test atau membayar dokter agar hasilnya akurat, tapi aku yakin Eyang jauh lebih cerdas dari pada Elina.
Aku yakin Eyang tidak akan melepaskan Elina dengan mudah. Eyang pasti sudah memiliki rencana yang matang.
Sudah hampir tiga jam lamanya kami menunggu kedatangan Evano dan Pria brengsek itu.
"Assalamu'alaikum." Ucap Eyang kakung yang di ikuti oleh anak dan cucunya.
"Waalaikumsalam." Jawab kami bersamaan.
"Bagaimana Pak?" Tanya Eyang putri pada Eyang kakung.
"Hasilnya baru keluar sekitar dua minggu ke depan." Jawab Eyang kakung.
Aku melihat ada sedikit senyum yang terbit dari bibir Elina. Sepertinya dia merencanakan sesuatu. Atau mungkin dia berencana untuk merayau pria brengsek itu dan bertanya lab atau rumah sakit mana yang mereka datangi. Agar di bisa melakukan sesuatu seperti di adegan sinetron sinetron. Geli dan bodoh rasanya ketika membayangkan hal itu.
"Jadi selama dua minggu kedapan. Kau dan anakmu harus tinggal di rumah kami. Tidak di izinkan keluar atau bekerja sampai hasil tes keluar." Eyang memerintah Elina untuk tinggal dengan mereka.
'Mampus' itulah kata yang selalu keluar dalam hatiku. Entah mengapa rasanya aku puas sekali.
Aku melihat Elina bingung sendiri. Seperti menelan pil pahitnya dengan susah payah. Dia mulai berusaha menahan tangisnya. Dalam hatiku aku memiliki senyum yang begitu lebar. Bahkan mungkin sudah tertawa dengan sengat puas.
Dia mulai menggigit gigit jarinya, sepertinya dia benar benar takut dan tidak memiliki alasan yang pas saat ini. Aku geli saja membayangkan apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Dia menundukkan kepalanya lemas.
Dia semakin gusar. Melamun. Menatap kembali ke arah anaknya. Memandang lekat ke arah anak laki lakinya. Sepertinya mereka akan tamat. Jika saja si bodoh itu dulu tidak sering menggangguku, bisa saja aku membelanya.
Aku menatap kearah Mama. Ibuku. Surgaku. Wanita terkuatku. Aku melihatnya sedang memandang wajah kecemasan ke arah lelaki brengsek itu. Kadang juga melihat ke arah Evano dengan wajah iba.
Aku terus saja membayangkan semua keadaan tanpa mereka. Membayangkan semua kenyamanan saat mereka tidak ada lagi.
Sepertinya ini bisa jadi hadiah menjelang ulang tahunku. Elina akan tersiksa selama dua minggu lamanya.
Akhirnya akan ada hari tenang tanpa dia. Entah sudah berapa lama aku dan Mama harus tersiksa dengan keberadaanya. Sepertinya mentari akan bersinar sebentar lagi. Tapi jika pria brengsek itu membuang Mama aku juga tidak akan takut. Bukan karena aku punya segalanya sekarang. Aku juga memutuskan untuk tidak mungkin mengelola semua bisnis. Aku hanya ingin cafeku.
Aku yakin jika semu akan baik baik saja. Aku yakin aku bisa menjaga Mama dari pada pria brengsek itu. Aku tidak memerlukan harta yang bergelimang. Aku hanya butuh ketenangan.Aku ingin Mama tetap bahagia. Aku tidak perlu melihat pria brengsek itu.
"Siapkan semua barang barang kalian sekarang. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi." Eyang memerintah Elina dan Evano agar segera pergi mengambil barang barang mereka untuk pindah sementara di rumah Eyang.
"Iya Nyonya." Ucap Elina pasrah. Sedangkan pria brengsek itu duduk diam tidak berkutik.
"Eyang. Kenapa baru sekarang?" Tanyaku lirih karena masih ada kedua orang tuaku.
"Selama ini Eyang menunggu waktu yang tepat. Eyang menunggu kamu benar benar siap. Melihat kamu sudah handal mengelola cafe, sepertinya memang kamu memiliki bakat berbisnis. Jika Eyang muncul saat kamu masih kecil, bagaiman kamu akan membantu Mama kamu. Eyang berusaha menjadi orang sesehat mungkin agar bisa menjaga kalian dari ular betina seperti dia. Kita harus berpikir lebih cerdas dari dia. Setiap orang memiliki strateginya masing masing dalam menghadapi kehidupan ini. Kamu harus memiliki strategi sendiri setiap menghadapi lawanmu. Lawan seperti ular betina itu tidak bisa di lawan dengan emosi yang meledak ledak saja. Kita harus bisa menjatuhkannya dengan sifatnya. Seperti senjata makan tuan."
Aku bertepuk tangan dengan semua tindakan Eyang. Ternyata diamnya Eyang selama ini untuk menyusun strategi yang membahayakan lawannya.
'Good job Eyang.' Aku memujinya dan membanggakannya terus menerus.
"Kamu sebagai pemimpin Wicaksono kelak harus bisa memiliki strategimu sendiri. Menjadi Raja sekaligus Panglima perang dalam keluarga." Nasehat Eyang yang lirih begitu dahsyat menghantam jiwa mudaku kala itu.
"Iya Eyang. Tapi bagaimana jika Evano benar benar cucu Eyang?" Tanyaku sangat lirih.
Aku tidak mementingkan harta saat itu. Aku hanya membutuhkan Eyang saja. Aku membutuhkan orang orang seperti Eyang. Aku butuh Mama yang sabar. Aku butuh orang yang tangguh. Aku butuh orang orang cerdas.
Aku mengingat lagi ucapan Eyang bahwa aku harus bisa menjadi Raja sekaligus panglima perang untuk diriku sendiri.
"Tenang, kamu tetap cucu terbaik Eyang. Aku tahu Banyu, kamu tidak mempermasalahkan soal gono gini. Yang kamu permasalahkan hanya tentang hati kan!" Eyang memang selalu mengerti apa yang aku butuhkan.
"Agung! Aku beri kamu waktu dua minggu untuk memilih. Antara wanita ular itu atau menantuku." Tegas Eyang dengan menunujuknya.
"Iya bu. Aku juga harus menunggu hasil tes. Terimakasih sudah membantuku." Mengapa pria brengsek ini berkata seperti itu.
"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa dia malah berterima kasih pada Eyang?" Tanyaku belum mengerti.
"Baiklah Eyang akan memberi tahu kamu yang sebenarnya. Tapu kamu harus janji untuk tidak membalas dendam ke mereka." Ucap Eyang berusaha menahan emosiku.
"Ada apa sebenarnya, Eyang?"
"Papa kamu beberapa bulan lalu sudah mengaku pada Eyang soal Elina. Lalu Eyang memberikan pilihan antara kedua wanita itu. Yang membuat Eyang terkejut dengan tegas Papa kamu memilih Mama kamu. Dia bilang jika sangat mencintai Mama kamu. Hanya saja mungkin itu terlambat. Jika di tinggal Elina dia merasa biasa saja. Jika Mama kamu yang tidak di rumah rasanya dia seperti kosong."
"Lalu satu bulan sebelum kejadian ini Papa kamu datang lagi untuk meminta Eyang mengurus tes DNA untuk Evano. Itu karena Eliana pernah menerima telepon dan mengatakan jika dia sudah tidak butuh lelaki seperti ayah kandung Evano. Evano sudah memiliki Ayah yang menyayanginya. Bahkan lebih menyayangi Evano dari pada anak kandungnya sendiri dan itu kamu. Papa kamu semakin marah. Dia bingung bagaimana mengusir wanita ular itu. Dia juga bingung Evano kadang juga memiliki sifat dan kegemaran yang sama dengan dia. Evano juga memiliki gambaran fisik yang sama dengan dia. Evano juga anak yang penurut di depan papa kamu."
"Emangnya pas hamil dulu tidak diperhitungkan?" Tanyaku polos
"Hush... kamu ini. Biar bagaimana pun jika di tarik kebelakang pasti akan semakin rumit. Jangan kita menyelesaikan masalah yang sudah berlalu atau yang tidak begitu perlu di selesaikan. Kita harus lihat masalah mana yang lebih penting untuk di eksekusi."
"Wow... Eyang hebat. Aku harus belajar banyak cara mengahadapi masalah dengan Eyang. Eyang kakung sangat beruntung berjodoh dengam Eyang." Ucapku bangga.
"Eyang kakung yang mengajari Eyang untuk menjadi nyonya Wicaksono yang kuat. Jika mama kamu tidak bisa berpikir cerdas seperti Eyang, jangan kamu salahkan. Karena Mama kamu memiliki hati yang luas dan sabar. Dia memiliku kekuatannya sendiri."
"Kalian hebat. Kalian Eyangku yang super. Mungkin melindungi tidak harus menggunakan tenaga. Tidak harus menggunakan otot yang besar. Melindungi dengan pikiran yang cerdas juga sangat di perlukan. Melindungi dengan cara kita masing masing. Terima kasih Eyang sudah mengajari banyak hal. Sudah mendidik tanpa terlihat selama ini." Aku memeluk hangat tubuhnya yang sudah tidak muda.
Aku masih memandang ke arah wajah tuanya. Sepertinya aku tidak ingin kehilangan orang orang seperti kalian.
"Eyang, dulu mengapa Eyang menjodohkan Mama dengan anak Eyang itu?" Ucapku sepertinya tidak sopan.
"Kerena orang tua itu tahu apa yang anak mereka butuhkan bukan apa yang mereka inginkan."
"Eyaaang... Terimakasih sudah menjadi malaikat untuk aku dan Mama." Aku sudah tidak menghambur ke pelukan Eyang lagi.
Aku tidak mempedulikan sekelilingku. Aku juga tidak peduli apa yang dipikirkan pria brengsek itu. Aku sudah terlanjur membencinya. Aku tidak akan memaafkannya.
Elina keluar dengan membawa koper koper besarnya. Diikuti Evano yang juga membawa beberapa barang dan buku bukunya.
Aku melempar senyum puasku kearah mereka berdua. Wajah mereka memerah seakan marah dan muak kepada aku. Tapi aku tidak peduli. Aku bukan orang yang salah di rumah ini. Mereka sendiri yang berani mengusil teritori Eyang dan Mama.
Eyang segera memerintah sopirnya untuk memasukkan semua barang barang Elina ke dalam mobil.
Jika aku yang di suruh tinggal dengan Eyang, maka dengan senang hati aku berangkat. Namun Elina dan Evano seperti orang yang akan tinggal di penjara.