Chereads / An Ice Cube Man / Chapter 18 - BAB 18

Chapter 18 - BAB 18

Aku menghirup udara yang sangat segar lagi pagi ini. Aku tahu bahwa semua akan berlalu. Walaupun belum pasti keadaannya. Tapi setidaknya Mama sudah bernapas lega.

Sejak Elina di bawa Eyang dua minggu yang lalu, sepertinya sudah lebih, Mama jadi mulai sering jalan jalan dan menghabiskan waktu dengan memasak dan jalan jalan berdua dengan pria brengsek. Bahkan cateringnya juga semakin ramai.

Ada hal yang membuatku senang dan kecewa juga marah secara bersamaan, pria brengsek itu juga semakin intim dengan Mama. Sepertinya dia mulai melupakan Elina yang selama ini dia puji puji. Melupakan sang penggoda, menyadari siapa ratu di rumah ini yang sebenarnya.

Hari hariku, aku lewati dengan berbisnis. Aku senang cafeku semakin maju dan berkembang. Aku juga sudah mulai membayar karyawan. Aku berhasil membuat lapangan pekerjaan untuk orang orang sekitarku.

Selama dua minggu kami seperti keluarga pada umumnya. Makan bersama, jalan jalan bersama. Mengisi waktu yang beberapa tahun lalu terabaikan. Ya, walaupun aku masih saja membenci pria brengsek dan tidak tahu diri itu. Sepertinya rasa benci ini sudah tidak bisa hialng lagi.

"Banyu. Eyang suruh kita ke rumahnya sekarang. Nanti kita makan siang bersama di rumah Eyang. Kamu siap siap. Mama dan Papa tunggu di mobil." Ucap Mama tegang.

"Iya Ma." Aku mengangguk sambil melempar senyum kearah Mama.

Aku ingin menenangkan perasaan Mama. Aku tahu mungkin ini hal yang dia tunggu. Dimana si pria brengsek akan memutuskan. Walaupun aku sudah tahu jawabannya.

Pagi ini tepatnya jam sepuluh kami di minta untuk datang ke rumah Eyang. Melihat lagi wajah Elina yang pasti tersiksa batinnya.

Aku segera mengambil dompet dan ponselku. Aku buru buru masuk ke kursi penumpang di depan. Mereka sering menggunakan supir jika pergi. Berbeda dengan aku yang lebih suka sendiri.

Tak lama di perjalanan kami sudah mulai memasuki istana Eyang. Eyang kakung sudah menunggu kami di depan pintu. Senyum hangatnya menyambut kedatangan kami.

Kami segera turun dari mobil dan memasuki rumah. Satu persatu mencium dan memeluk Eyang kakung.

"Kalian ke ruang tengah saja. Eyang putri sudah ada di sana." Ucap Eyang kakung yang ternyata dari tadi sedang menikmati kopi di teras.

"Wah, kopi Ijen ya Yang?" Tanyaku saat menghirup aromanya.

"Iya. Sudah sudah ayo kita masuk. Nanti kalau masalah sudah selesai kita ngobrol di gazebo." Ajak Eyang semangat.

Aku mengikuti Eyang kakung yang berjalan menuju ruang tengah. Ruangan yang biasa aku tempati untuk nonton TV sambil makan camilan.

"Ini semua hasil tes DNA. Aku juga tidak tahu kenapa harus molor." Ucap Eyang putri.

"Boleh aku buka sekarang?" Pria brengsek itu sudah tidak sabar.

"Kamu tunggu. Biar aku panggil mereka."

Eyang segera membuka pintu kamar yang di tempati Elina da Evano. Mereka memang tidak di kunci. Hanya ada penjagaan yang sedikit lebih ketat saja.

Elina dan Evano segera bergabung dan duduk di sebelah pria brengsek itu. Elina merangkul dan menyandarkan kepalanya di bahu si pria brengsek. Seperti seseorang yang sangat merindukan cintanya.

"Sebelum kamu buka dan kamu baca hasilnya, ibu akan bertanya. Siapa yang kamu pilih?"

"Mamanya Banyu." Pria brengsek itu menjawab tanpa ragu dan begitu mantab.

Aku melihat wajah kecewa Elina saat itu. Dia memukul dan menampar Pria brengsek itu. Bukannya aku marah, tapi aku malah merasa senang dan puas sekali. Ini adalah hasil yang mereka tanam.

"Kamu buka saja sekarang. Karena kamu memilih hal yang tepat." Ucap Eyang kakung saat itu.

"Elina, jadi Evano ini anak siapa?" Tanya pria brengsek itu penuh amarah saat mengetahui hasilnya tidak cocok.

"Pa, tolong maafin Mami." Ucap Evano berusaha membela ibunya.

"Evano. Kamu sekarang sudah tahu sendiri kan. Kamu bukan anak Papa. Tapi aku tidak menyalahkan kamu. Papa sudah ikhlas membesarkan dan memberikan semua fasilitas untuk kamu. Tapi jangan pernah kamu membelanya di depanku." Ucap pria brengsek itu.

"Maaf Pa. Tapi bisakah kita tetap menjadi keluarga. Aku ingin Papa jadi Papaku. Kita seperti dulu ya Pa."

"Tidak bisa Evano. Kamu bukan anak Papa. Kalau saja Mami kamu berbicara dan tidak berbohong pada Papa mungkin Papa masih bisa menerima kamu."

"Mas... Jangan. Aku mohon. Evano anak kamu." Ular betian itu berusaha memohon dengan air mata yang menganak sungai.

"Lalu kenapa hasilnya tidak cocok? hah? Kenapa kamu merencanakan ini? Dasar wanita tidak tahu diri. Jangan lagi kamu datang kepadaku."

"Arrhhh... ini semua salah kamu. Kamu merusak semuanya." Ular betina itu malah menunjukkan jarinya ke arah Mama.

"Heh! Kau yang busuk kenapa menyalahkan orang lain. Kau akan berusan dengan aku jika berani menyentuh ibuku." Ucapku sambil menahan tangannya.

"Jika tidak ada wanita sialan ini, Mas Agung tetap mencintaiku. Dia sendiri yang bilang jika tidak ingin dijodohkan dengan ibumu yang jelek itu. Ibu jelekmu itu hanya membuat malu. Tanyakan saja pada dia. Sudah berapa kali dia berencana untuk menyelakai ibu kesayanganmu."

"Dia yanh ingin menyelakai atau dia yang terhasut oleh omongan kamu yang manis agar dia mau menyelakai?" Tanya Eyang kakung marah.

Jika di bandingkan Eyang putri, amarah Eyang kakung jauh lebih menakutkan. Entah aura apa yang dia miliki.

"Mas, kenapa kamu sekarang memilih dia? Apa kau lupa, apa yang kau katakan saat kau meniduriku? Kau bilang aku yang paling sempurna." Ucapnya semakin kesal.

"Mungkin saat itu dia masih buta." Ucapku santai.

"Aku akan membalas semua ini."

"Apa kau ingat. Jika kau terus bertahan dengan dia. Kau juga tidak akan mendapat apa pun. Jadi orang yanh masuk akal saja. Jangan jadi orang gila. Gila harta, gila popularitas, gila laki laki. Kau hanya wanita gila." Ucapku semakin memanas saat dia mulai berani mendekati Mama untuk melampiaskan amarahnya.

Saat itu tidak henti hentinya Elina menyalahkan Mama karena kebodohannya sendiri. Dia merasa bahwa dia yang paling tepat untuk menjadi nyonya Wicaksono selama ini. Selain harta dia juga memburu popularitas.

***

Pagi ini aku di kabarkan bahwa aku di jodohkan dengan seorang perempuan. Usiaku memang sudah dua puluh sembilan tahun.

"Dia ini namanya Garin Lituhayu." Ucap Mama saat memperlihatkan foto seorang gadis cantik di hadapanku.

"Ma, kenapa? Aku belum ingin menikah." Ucapku tegas.

"Banyu. Mama sudah semakin tua. Kamu perlu pendamping nak. Eyang sudah tidak ada. Semua sudah berubah Banyu. Kamu memerlukan istri untuk hidup bersama kamu."

"Boleh aku menolaknya?"

"Tidak." Jawab Mama singkat.

"Mungkin ini yang dulu Eyang rasakan kepada Mama. Jujur saja, Mama sayang dengan dia. Mama ingin dia menjadi menantu Mama. Dia memang asisten Mama. Tapi dia yang paling memahami Mama. Banyu, Mama tahu apa yang anak Mama butuhkan."

Mengapa dari sekian banyak wanita harus nama Lituhayu?

Tak lama berselang dari ucapan Mama, aku mendapat telepon dari temanku yang berada di Bali. Dia bilang jika ada temannya yang memiliki ruko. Ruko itu terpaksa di jual untuk membayar hutang.

Hal itu membuatku memiliki alasan untuk kabur sejenak ke pulau seribu pura itu. Melepaskan sejenak beban tentanh perjodohan. Saat itu sebenarnya aku juga mendapat undangan pernikahan dari Jati, sahabatku. Tapi aku tidak ingin datang. Tidak ingin melihat sahabatku hanya tertawa karena terpakasa oleh pejodohan.

Lituhayu, Lituhayu. Kenapa nama itu terus mengiang di telingaku. Amarah yang sudah menghilang, kenapa harus muncul lagi dengan nama itu.