Yose tengah menatap wanita yang saat ini sedang berdandan dan mematutkan pakaiannya di depan cermin.
Sejak tadi dia sibuk memilih baju untuk ia gunakan pergi entah ke mana.
"Kamu mau ke mana?" tanya Yose pada Reina, wanita yang baru saja ia nikahi satu minggu yang lalu.
"Main sama teman," jawabnya cuek, dia menatap cermin dan memoles wajahnya dengan make-up tebal seperti biasanya.
"Tapi kamu kan lagi hamil." Yose berusaha untuk melarang Reina pergi, tapi larangannya sama sekali tidak digubris oleh wanita itu.
"Makanya mumpung masih hamil muda dan belum terlalu merepotkan, aku mau pergi dengan teman-temanku," sahutnya masih menatap cermin di depannya.Â
"Tetap saja kan kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya."
Reina meletakkan bedaknya dengan kasar. Yose sempat tersentak dan memundurkan tubuhnya.
Istrinya itu lantas melotot ke arah Yose dari kaca yang ada di depannya. Ia sangat tidak suka jika suami sewaannya itu terlalu mengatur hidupnya.
Ia memutar tubuhnya lalu menghadap ke arah Yose yang sedang duduk di tepian kasur. "Dengar, Yose! Aku menikahimu bukan atas dasar cinta, tapi karena aku butuh kamu untuk menutupi kehamilanku di luar nikahini. Aku memberikanmu banyak uang jadi jangan mencoba berlagak seperti suami."
Yose diam, tak bisa menjawab apa-apa. Ia membiarkan wanita itu pergi ketika membahas masalah uang lagi.
Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk yang bahkan terasa sangat menyakitkan baginya. Pernikahan yang ia jalani tidak seperti yang ia bayangkan. Bahagia dan sempurna? Itu hanyalah omong kosong.
Pertemuannya dengan Reina bisa dikatakan sebuah malapetaka yang berkedok sebuah keberuntungan.
Jika saja dia tahu akan berakhir seperti ini, mungkin Yose tidak akan mau menerima tawarannya untuk menikahi Reina.
Dia tidak pernah menyentuh wanita itu apalagi berbuat lebih layaknya suami pada umumnya.Â
Yose mendesah kesal, tapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain menerima pernikahan palsu ini.
Satu bulan yang lalu.
Seorang wanita dengan dandanan yang mencolok, masuk ke dalam toko kue milik neneknya. Tanpa tedeng aling-aling dia langsung menawari Yose sebuah pekerjaan yang bisa membuatnya mendapatkan uang dalam sehari.
"Ini—Bukan bisnis MLM kan?" tanya Yose ragu.
"Bukan, memangnya aku mirip seperti itu?" decaknya kesal, ia menatap Yose dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
"Tapi sebelumnya kamu tahu darimana kalau aku membutuhkan uang banyak?" tanya Yose penasaran. Wanita itu datang dan tiba-tiba ingin menemuinya. Bukankah itu sangat aneh, terlebilh dia tahu alamat rumahnya dan nama lengkapnya.
"Dari temanmu Gavin, dia memberitahuku kalau kamu sedang kesulitan masalah uang."
Yose menelan ludahnya sendiri. "Sialan kamu, Gavin," rutuknya dalam hati.
"Jadi bagaimana?" tanya Reina mengulangi.
Tak langsung menjawab, tentu saja Yose harus berpikir berulang kali dengan tawaran aneh tersebut. Namun di sisi lain, Yose juga membutuhkan uang dalam waktu dekat ini.
"Tunggu dulu—menikah? Aku takut kalau nenekku akan curiga padaku."
"Kamu lebih peduli pada kecurigaan nenekmu atau toko ini?"
Yah, Yose memang membutuhkan banyak uang saat ini untuk membeli toko neneknya. Pemiliknya yang asli sudah tidak mau menyewakan padanya lagi dan ingin menjual bangunan tua itu pada orang lain jika neneknya tidak mampu membelinya dalam waktu satu bulan.
Uang yang dibutuhkan Yose adalah lima ratus juta, mungkin terdengar tidak seberapa bagi Reina, tapi bagi Yose? Dia harus bekerja siang malam di restoran dan minimarket untuk mengumpulkan uang itu, dan itupun tidak cukup hanya satu bulan, mungkin akan membutuhkan waktu selama bertahun-tahun.
Bahu Yose merosot jika mengingat nominal uang yang dikatakan oleh si pemilik.
"Ini, kalian minum dulu." Neneknya datang memberikan teh hangat untuk mereka berdua. Melihat tubuhnya yang sudah bungkuk dan rapuh, mana mungkin Yose akan membiarkannya hidup menderita seperti itu.
"Hei nenek!" teriak si pemilik toko dengan lantang. Dia tidak datang sendiri melainkan dengan seorang wanita paruh baya di sampingnya.
"Aku datang dengan calon pembeli toko ini, karena aku yakin kalian berdua tidak akan mampu membayar gedung ini bukan?"
Yose melihat neneknya yang mengemis meminta mohon tidak tega langsung menghampirinya.
"Beri kami kesempatan, kami sudah ada di sini bahkan sebelum cucuku lahir, aku harus jualan kue di mana lagi kalau bukan di sini," ucap nenek Yose memelas.
"Itu urusan kalian ya, bisnis adalah bisnis, jangan bersikap menyedihkan seperti ini. Aku tidak akan terpengaruh."
"Jangan berkata kasar pada nenekku." Yose menarik neneknya menuju sisinya. Ia melihat wajah tua yang lelah itu dari samping. Batinnya menangis tiap kali melihat wajah keriputnya, yang seharusnya sudah bisa hidup enak di rumah, bukan seperti ini.
"Setidaknya kamu harus membayarku kalau bisa mengatakan hal seperti itu padaku." Senyum liciknya benar-benar terlihat jelas dari bibi tua itu.
Yose tidak ada pilihan lain.
"Apa Nenek benar-benar mau mempertahankan toko ini?" tanya Yose setelah pemilik pergi.
Wajah neneknya memandang Yose putus asa. "Haruskah kita menyerah?"
Ia kemudian masuk ke dalam untuk melanjutkan membuat kue lagi.
Mau bagaimanapun, toko tersebut adalah toko berharga bagi neneknya. Dari hasil jualannya dia bisa menyekolahkan Yose, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Jadi mana mungkin dia akan menyerah?
Yose menatap Reina yang tengah menyesap tehnya di kursinya. Ia mengangkat kedua alisnya dan meminta jawaban dari Yose.
"Aku benar-benar wanita sibuk, jadi katakan padaku. Kamu mau apa tidak?"
"Hanya menikah denganmu kan?"
"Iya, menikahiku. Hanya menikahiku sampai anak ini berusia lima tahun. Setelah itu kita akan bercerai."
Yose tidak memiliki kekasih, jadi tak akan ada yang patah hati atau kehilangannya. Paling hanya neneknya saja yang akan merasa kesepian setelah kepergian Yose.
"Tapi—setelah menikah aku masih bisa mengunjungi dan membantu nenekku kan?"
"Terserah kamu, aku butuh kamu hanya untuk menutupi kehamilanku."
"Oke, aku setuju." Tak ada pilihan dan jalan lain selain menerimanya. Toh Yose memang membutuhkan uang itu secepatnya.
Reina tersenyum kemudian pergi meninggalkan Yose. "Sampaikan salamku pada nenekmu."
Wanita kasar dan tidak sopan, Yose tidak menyangka jika akan berakhir dengan Reina wanita yang baru dikenalnya itu.
"Bagaimana? Kamu menerimanya kan?" Gavin langsung menghubungi Yose sesaat setelah Reina pergi.
"Kamu ada di mana sekarang!" Yose tak jadi memaki temanya itu, ia hanya mengacak rambut coklatnya dengan kesal.
"Terima kasih," ucapnya kemudian. Setidaknya temannya itu membantunya.
Suara pintu terbuka. Bayangan familiar muncul dari sana dengan senyum kotaknya.
"Jadi kamu menerimanya kan?" tanya Gavin, ia mencomot sisa kue yang ada di depan meja.
Yose mengangguk lemah. "Tapi aku sama sekali tidak mengenal wanita itu."
"Dia sangat kaya."
"Bukan seperti itu maksudku."
"Dia sangat sombong dan egois. Tapi sepertinya kamu tidak memerlukan perasaan untuk menikahinya karena yang kamu butuhkan adalah uang."
Yose memiringkan tubuhnya, memandang jendela kamarnya dan kembali ke masa sekarang. Sudah cukup baginya kembali ke masa lalu yang membawanya pada kehidupan yang sama sekali tidak pernah ia impikan.
"Keputusanku sudah benar kan?" gumamnya terus, ia kemudian memejamkan matanya.
"Sudahlah jangan berlagak kalau aku ini istri yang jahat," ujar Reina ia menyambar tasnya. "Aku akan pulang malam jadi jangan tunggu aku."