Ada sedikit keributan yang terjadi ketika Yose berada di parkiran. Dia dipaksa untuk memindahkan mobilnya oleh karyawan restoran milik istrinya, Reina.
Reina yang melihat dari dalam kemudian gegas keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan dia cukup kesal ketika Yose tidak mau mengatakan kalau ia adaah suami dari pemilik restoran tersebut.
"Dia adalah suamiku, kenapa kamu memperlakukannya seperti itu," ujar Reina. Dan karyawannya tersebut langsung meminta maaf pada Yose.
"Maafkan saya, saya tidak mengenalinya."
Reina hanya diam kemudian dengan matanya dia menyuruh karyawannya tersebut untuk masuk ke dalam restoran.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu adalah suamiku?" tanya Reina.
"Aku sudah mengatakannya tapi dia tidak percaya padaku, dia mengira kalau aku adalah supir pribadimu."
Reina menghela napasnya. Kemudian ia melirik ke arah Yose yang saat itu memang penampilannya terlewat biasa saja. Berbanding terbalik dengan Reina yang memang selalu mengenakan baju yang wow dengan merk terkenal yang selalu melekat pada tubuhnya.
"Sudah berapa lama kamu tidak membeli baju?" tanya Reina.
"Heh? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu padaku."
"Sudah jawab saja, sudah berapa lama kamu tidak membeli baju."
"Kapan ya?" Yose tampak berpikir. "Mungkin enam bulan yang lalu, atau mungkin—"
"Sudah masuk. Kita beli baju sekarang," suruh Reina.
"Tidak perlu, aku tidak butuh baju baru."
"Kamu memang tidak butuh, tapi aku butuh agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti tadi."
Reina masuk ke dalam mobil, kemudian disusul oleh Yose. Yose menurut saja ketika Reina memintanya untuk mengantarkannya ke butik langganannya,
Wanita itu tak mau kalau ada yang salah paham lagi. Dan lagipula jika Yose berpenampilan terlalu biasa pasti banyak orang yang tak hanya menghina lelaki itu tetapi juga menghina Reina di belakangnya.
"Apa semuanya sudah selesai?" tanya Yose.
"Hmm sudah—kenapa?"
"Tak apa-apa, aku hanya penasaran."
Lalu hening lagi, memang tak ada percakapan di antara mereka berdua yang tampak asik dan menyenangkan. Lain halnya ketika Yose mengobrol dengan Lara, semuanya tampak sangat alami dan menyenangkan.
Bagaimana ya? Pikir Yose, mungkin Reina ibaratnya adalah seekor harimau yang baru saja masuk ke dalam penangkaran. Sementara Lara adalah seekor anak kucing yang lucu dan menggemaskan, yang hanya bisa mengeong dan memperlihatkan tingkah lucunya.
"Pekerjaanmu bagaimana di sekolah?" Kali ini Reina yang bertanya. Sedikit penasaran juga dengan apa yang dikerjakan oleh suami bayarannya itu.
"Baik, tapi aku tidak tahu setelah ini. Karena ini adalah hari pertamaku dan aku sudah harus izin seperti tadi."
"Kamu takut dipecat?"
"Tentu saja," jawab Yose pelan.
Ia tak ingin terlalu menggantungkan hidupnya pada Reina. Dia ingin memiliki uang sendiri untuk dirinya dan juga neneknya. Karena kontrak dengan Reina hanya lima tahun dan pekerjaannya bisa bertahan sampai beberapa puluh tahun lagi.
"Apa kamu mau bekerja di perusahaan ayahku?" tanya Reina.
Yose diam. Ragu karena tawaran Reina tersebut.
"Tak perlu sungkan, zaman sekarang banyak kan yang mengandalkan orang tua atau mertua mereka?"
"Sepertinya aku tak mau menjadi salah satu orang itu. Aku ingin menjalani pekerjaanku ini karena ini sudah menjadi keputusanku."
Reina diam, entah mengapa kali ini dia tak ingin membalas kalimat dari Yose. Jujur dia senang mendengar Yose yang terlihat mandiri, tidak seperti kebanyakan orang yang pasti akan memanfaatkan kekayaannya.
"Di depan itu." Reina menunjuk sebuah butik megah yang ada di pinggir jalan. Dengan bangunan bertingkat tiga, Reina sering membeli baju di sana.
"Ayo masuk." Reina keluar dari mobil tanpa menunggu Yose. Sementara lelaki itu hanya bisa menghela napasnya karena dia tak bisa menolak tawaran dari Reina.
"Pasti sangat mahal," gumam Yose murung.
Ia belum pernah membeli baju di butik, paling mahal dia hanya mampu membeli baju di mall, itupun yang sudah dikenai diskon sampai 90 persen. Dan sisanya dia membeli baju-bajunya di pasar dengan sahabatnya Gavin.
Reina yang baru saja masuk disambut baik oleh karyawan yang sudah hafal dengan wanita tersebut. Ia kemudian diantarkan menuju deretan pakaian wanita yang mengeluarkan keluaran terbaru.
"Aku ingin membeli beberapa baju untuk suami saya." Reina menunjuk Yose yang sedang memandang kagum baju-baju tersebut dengan matanya.
"Baik Nyonya," sahut karyawan itu dengan ramah.
"Ini mahal sekali, lebih baik untuk makan," desis Yose.
"Kamu bisa memilih, atau biarkan karyawan yang memilihkannya karena aku yakin kalau seleramu itu pasti jelek." Reina datang menghampiri dengan kalimat pedasnya lalu duduk di sebuah kursi.
Baru kali ini dia tidak tertarik dengan pakaian yang ada di sana. Dia sedang tertarik untuk mengubah lelaki itu agar menjadi orang yang baru dan penuh karisma.
Yose masuk ke dalam ruang ganti dan mengganti bajunya berkali-kali atas suruhan Reina. Hingga akhirnya Yose mendapatkan sepuluh pakaian dan tujuh celana formal.
"Apa—kamu yakin akan membelikanku semua ini?" tanya Yose ketika Reina menyerahkan kartu kredit pada kasir.
"Iya memangnya kenapa? Kamu harus mengenakan pakaian yang pantas jika denganku. Dan—oh ya. Kamu juga harus mengenakan pakaian ini di sekolah."
Meski ragu, Yose mengiyakan juga. Selera Reina ia akui memang bagus. Mungkin karena dia terlahir dari keluarga kaya jadi dia tahu pakaian mana yang cocok untuk kelasnya.
**
Di tempat lain seorang wanita masuk ke dalam rumah dengan ruangan yang berantakan. Bahkan ada beberapa pecahan piring di mana-mana. Dan Lara sudah bisa menebak jika itu adalah perbuatan dari Adrian, suaminya.
Lara tidak heran bahkan terkejut melihat tingkah suaminya yang mirip seperti anak kecil itu.
"Kenapa baru pulang?" tanya Adrian dengan wajah yang menggelap. Dia baru saja dipecat oleh perusahaannya beberapa minggu yang lalu dan membuatnya menjadi sensitif.
"Ini jam empat, dan aku biasa pulang jam empat, kenapa kamu masih bertanya lagi?" Lara sedikit membungkuk sambil memunguti pecahan piring-piring itu.
Suaminya baru saja mabuk, dilihat bagaimana botol alkohol yang tergeletak di atas meja di dapur.
"Sebaiknya—kamu keluar saja dari sekolah. Biar aku yang bekerja," ucap Adrian tiba-tiba.
"Kenapa? Kenapa kamu menyuruhku keluar? Kamu saja saat ini tidak memiliki pekerjaan kan?"
Lara sudah cukup jengah pada Adrian, lelaki yang baru saja ia nikahi beberapa bulan yang lalu.
Dulu Adrian tidak seperti ini, bahkan dia tidak terlihat seperti lelaki yang suka memukul dan kasar. Namun, Lara baru merasakannya ketika pernikahan mereka baru berjalan empat bulan.
Ya, empat bulan. Waktu yang terlalu singkat untuk menunjukkan keburukan dari dirinya.
Bahkan Adrian sangat posesif, dia selalu menaruh cemburu pada setiap lelaki yang berteman dengan Lara termasuk guru yang mengajar di sekolah istrinya itu.
"Aku tidak suka kamu menjadi guru, di sana terlalu banyak lelaki yang menyukaimu."
Lara memutar bola matanya. "Kamu sudah terlalu sering mengatakan ini, Yan. Dan aku tak mau membahasnya lagi."
Dengan wajah yang menggelap, Adrian menghampiri Lara kemudian mencengkeram pergelangan tangan istrinya dengan kuat sampai wanita itu mengaduh kesakitan.
"Kenapa? Apa karena aku menganggur, jadi kamu menjadi seperti ini?"
"Bukankah sebelum menikah, kamu mau menerima pekerjaanku? Kamu tidak mempermasalahkannya, bukan? Tapi kenapa kamu sekarang seperti ini?!"
"Pasti ada seseorang yang kamu suka saat ini," desis Adrian kemudian membanting tangan Lara sampai menyentuh sudut meja.
"Kamu selalu berpikiran seperti ini, dan aku anggap aku tak pernah mendengarnya. Oke." Lara masuk dengan tangan yang sakit akibat benturan pada sudut meja tadi.
"Sebaiknya kamu jangan terus menuduhku, atau aku benar-benar akan melakukannya," desis Lara.